Minggu, 28 Desember 2008

TIONGHOA HAKKA DI LANDAK: RIWAYAT MIGRASI DI PEDALAMAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Bermukimnya orang Tionghoa di Borneo Barat dalam jumlah yang besar dimulai dengan pencarian emas pada abad ke 18. sebelum itu, pedagang-pedagang datang dari Tiongkok menuju pantai barat, dan sebagian menetap di sana, tetapi jumlah mereka tidaklah besar, dan sedikit laporan mengenai kedatangan dan menetapnya mereka. Para penambang emas datang dalam jumlah puluhan ribu orang, dan meskipun sebagian besar mati muda atau kembali ke Tiongkok, tidak lama kemudian mereka menjadi cukup penting, menetap dan, di bawah pimpinan kongsi-kongsi, mendirikan komunitas-komunitas semula berpemerintahan sendiri.

Sejarah pemukiman Tionghoa di Kalimantan Barat, terjadi lebih dari dua setengah abad. Pada saat yang bersamaan, penerimaan kebudayaan Tionghia dan etnis Tionghoa itu sendiri telah meluas seperti dinyatakan oleh masyarakat setempat bahwa orang Tionghoa adalah salah satu dari tiga suku atau tiga pilar penyangga Kalimantan Barat. Tidak hanya karena mereka telah lama bermukim sehingga memungkinkan menempatkan mereka di dalam komunitas lokal. Telah diakui secara luas, bahwa orang Tionghoa adalah kaya, tetapi juga miskin, pengusaha tetapi juga petani dan nelayan. Jumlah mereka juga menyeimbangkan kekuatan antara orang Dayak di satu sisi, dan orang Melayu serta kelompok Islam lainnya di sisi yang lain. Namun demikian, ungkapan Tiga Suku mengacu pada semua unsur masyarakat Borneo.

Jika orang Tionghoa menemukan kembali ketionghoaan mereka dan menikmati kesempatan untuk mempertontonkan tarian naga, merayakan kemeriahan acara Tionghoa, atau belajar bahasa Mandarin secara terbuka, mereka sesungguhnya juga sadar akan akar mereka di dalam masyarakat setempat. Orang Tionghoa sudah menetap selama empat, lima dan enam generasi di muara Sungai Kapuas. Ketika orang Tionghoa pertama kali datang ke daerah ini, mereka hanya kawin dengan anak-anak perempuan orang Dayak. Tetapi kemudian, saat populasi mereka bertambah, mulailah terjadi perkawinan di antara mereka sendiri dan mereka jarang mengambil perempuan Dayak sebagai isteri mereka. Kisah ini dari 1820-an, atau lebih awal lagi.

Dua kelompok atau sub-etnis terbesar di Borneo Barat adalah Teochiu (Chaozhou) dan hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong, di sekitar pelabuhan Swatow (Shantou). Sedangkan orang Hakka, kebanyakan bermigrasi dari daerah Guangdong yang lebih pedalaman yang berbukit-bukit atau daerah miskin di dataran rendah propinsi ini, tempat mereka seringkali tinggal di antara kelompok-kelompok yang berbeda bahasa. Orang Hakka juga tinggal di propinsi Fujian bagian pedalaman (Tingzhou). Tapi hanya sedikit saja orang Hakka dari Fujian yang bermigrasi ke Borneo Barat.

Seperti juga orang Teochiu, orang Hakka adalah orang Tionghoa etnis Han dan menggunakan bahasa Tionghoa daerah selatan. Mereka bercocok tanam di daerah yang tidak terlalu subur, dan selalu siap bermigrasi ke daerah baru. Karena itulah mereka disebut Hakka (Kejia) yang artinya Orang Tamu. Sama halnya di Borneo Barat, orang Hakka adalah perintis. Orang Hakka awal sejarahnya di Borneo Barat bekerja di pertambangan dan pertanian, kemudian mereka menjadi pedagang kecil mulanya di daerah pedalaman. Sensus 1930 seperti dkutip WL Cator menjelaskan kelompok sub-etnis atau bahasa Hakka dari antara orang Tionghoa di Borneo Barat berjumlah 38.313, sementara Teochiu (yang dalam dokumen masa kolonial sering disebut Hoklo atau Fulao) berjumlah 21.699, Kantor 2.961, Hakkien 2.570 dan Lainnya 1.257 orang.

Walaupun sebagian pedagang Tionghoa telah mengunjungi Brunei dan kerajaan Borneo lainnya selama berabad-abad, orang Tionghoa pertama yang tiba di Borneo Barat dalam jumlah besar baru datang di pertengahan abad ke 18 untuk menambang emas. Sebagai penambang, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak, yang telah mengerjakan tambang sebelum mereka. Tapi, metode orang Tionghoa lebih efisien untuk mengerjakan semuanya, kecuali kandungan tambang yang lebih kecil dan di daerah jauh di dalam, seperti Landak.

Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengaliur ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa feodal lokal ini tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18.

Terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana. Dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. J Burn dalam manuskrip tentang Pontianak (1811) berpikir bahwa tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn. Laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.

Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka/ pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali tersulur pada 1840-an.

Sub-distrik Landak yang berbatasan dengan Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, dan yang dikenal sebagai penghasil intan dan juga emas, menggambarkan pergeseran geografi dan ekonomi yang dibuat oleh orang Tionghoa dalam pencarian mereka akan kemakmuran. Kongsi Lanfang dibubarkan pada 1884, adalah kongsi terakhir yang menghilang. Hanya sedikit orang Tionghoa yang menambang emas di Landak pada awal abad ke 19, namun mereka sudah segera pindah jika para bangsawan setempat kemungkinan para pemegang hak upeti menjadi lebih agresif dan tidak bersahabat. Pada 1840-an, Kongsi Lanfang berperang dengan Landak, sebagai akibatnya, wilayah ini menjadi semacam penyangga antara wilayah kongsi dengan daerah pedalaman yang didominasi pribumi.

Pada 1850, di Landak terdapat 500 orang Melayu dan 9000 keluarga Dayak yang tinggal di dalam wilayahnya. Orang Dayak hidup dalam lingkungan yang miskin. Meskipun penguasa Landak masih mencoba untuk melawan penetrasi orang Tionghoa, diperkirakan atau perkiraan yang dilebih-lebihkan, ada ribuan penambang Tionghoa bekerja di tiga kongsi yang terletak dekat perbatasan antara wilayah Landak dan Lanfang, misalnya di Perigi. Kemarahan yang timbul akibat perang 1840-an dengan Landak dan permusuhan orang Dayak memaksakan para penambang Lanfang untuk mencari keselamatan dengan cara memperbesar jumlahnya, meskipun demikian angka tadi barangkali memang terlalu tinggi. Pada 1854 sebuah survei menemukan hanya 75 orang laki-laki Tionghoa yang bertempat tinggal di Landak dengan istri dan anak-anak mereka. Sekitar 40 orang dari antara mereka bekerja di pertambangan milik Kapthai Mandor, perkiraan ini baranhkali terlalu rendah. Dari sebuah survei pertambangan yang dilakukan Everwijn dalam Koloniaal Verslag 1854, yang mungkin mengitung beberapa ratus penambang Perigi sebagai bagian dari Mandor. Ini hanya sebagian paparan mengenai pertentangan.

Setelah penghapusan kongsi pada 1850-an, semakin banyak orang Tionghoa yang merembes masuk ke Landak, melalui darat atau sungai, meskipun pembatasan masih diberlakukan oleh elit Melayu. Banyak di antara mereka yang menemukan jalan ke pedalaman, meskipun hidup di daerah tapal batas ini masih sangat berbahaya, beberapa orang Tionghoa yang hidup di tempat terpencil terbunuh, seringkali oleh para pencuri.

Landak bukanlah salah satu daerah terbesar untuk hasil hutan, namun Landak mengekspor sejumlah tengkawang. Para pendatang Tionghoa seringkali mencoba untuk menyingkirkan orang Melayu keluar dari perdagangan hasil hutan. Di Landak, mereka memusatkan tekanan kepada para bangsawan, namun kaum bangsawan Landak telah menikmati posisi yang relatif kuat dalam berhubungan dengan rejim kolonial, mungkin karena sejarah mereka dalam menguasai pertambangan intan. Setidak-tidaknya hingga 1915, penguasa Melayu masih memonopoli perdagangan tengkawang. Seorang pengusaha Tionghoa di Singkawang, Lim Moi Lioek (Mandarin: Lin Meiliu), mengirim beberapa agen ke wilayah itu untuk mengambil alih perdagangan tersebut untuk dirinya, namun hal ini benar-benar tidak berhasil. Fakta bahwa para agennya adalah orang-orang Jepang semakin memperumit situasi, karena beberapa orang Melayu menuduh mereka adalah mata-mata dan meminta agar mereka ditahan oleh militer setempat. Orang Jepang memiliki status sebagai orang Eropa, Lim boleh jadi mencoba memanfaatkan kebebasan mereka untuk bergerak, sebuah kebebasan yang orang Tionghoa tidak miliki tentunya. Permasalahan ini kemudian menjadi insiden internasional, dan pada akhirnya, Lim gagal mengamankan jejak kakinya di Landak. Ini benar, karena bertahun-tahun kemudian, pada 1925, seorang pejabat setempat melaporkan bahwa hanya orang Melayu, bukan Tionghoa, yang berdagang dengan orang Dayak di Landak.

Namun demikian, pada 1919 terdapat 2009 orang Tionghoa di Landak, termasuk seorang kapitan Tionghoa yang bermukim di pemukiman utama di Ngabang. Terdapat tujuh orang opsir Tionghoa dengan pangkat yang lebih rendah yang mengurus pemukiman-pemukiman yang lebih kecil. Umumnya, imigran Tionghoa tinggal di pemukiman yang terletak lebih di hilir sungai ketimbang orang Melayu, karena orang Melayu takut tercemar dengan babi yang dipelihara orang Tionghoa. Pada masa itu, kebanyakan pemukiman ini terpusatkan di daerah yang memiliki batas-batas wilayah kongsi Lanfang. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang Tionghoa adalah pedagang perkotaan dan tukang, petani dan kemungkinan penambang, yang tidak melakukan perdagangan di edesaan. Pada 1920-an terlihat bahwa orang Tionghoa mempergunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan hak atas tanah pertanian, sehingga megarahkan banyak orang Melayu ke dalam kemiskinan. GL Uljee dalam Handboek voor de Residentie Westerafdeeling van Borneo (1925) merasa bahwa orang Tionghoa harus diijinkan membuka wilayah, sementara orang Melayu yang kehilangan tanah dapat dengan mudah membuka lahan tanah lagui sendiri.

Pada 1934, orang Tionghoa Landak telah menjadi petani menetap dan pedagang mapan. Meskipun mereka membentuk kurang dari 5 persen dari jumlah populasi, jumlah mereka meningkat hingga di atas 3.100, bukan hanya akibat imigrasi namun juga karena kenaikan alamiah. Jumlah perempuan yang substansial per seribu laki-laki (849,5) mengindikasikan bahwa orang Tionghoa di wilayah ini telah menjadi populasi tetap pada 1930-an. Hanya terdapat empat orang opsir yang mengatur pemukiman di Landak, namun pasar-pasar yang lebih kecil mempunyai ketua pasar, banyak orang Tionghoa yang tinggal di pertanian, memelihara bebek, ayam, babib, sayur mayur, buah-buahan, dan beras untuk konsumsi rumah tangga atau untuk dijual. Karet dan lada merupakan tanaman niaga yang penting, para petani Tionghoa memusatkan perhatian bertanam karet, lada-gambir atau menanam padi. Banyak orang Tionghoa yang berdagang komoditas ini, namun biasanya dengan modal kecil. Para pedagang berskala besar atau perusahaan yang sanggup menyediakan kredit yang cukup besar berlokasi di Pontianak dan Singapura. Kemungkinan besar, Ngabang adalah pusat perdagangan utama Landak. Ngabang memiliki pasar yang bagus dan karena berlokasi di batas hulu jalaur kapal uap pada sungai utama, maka dia menjadi pusat tulang punggung jalur pedagangan sungai di sub-distrik ini.

Seperti kebanyakan orang Tionghoa di pedalaman, orang Tionghoa di Landak hampir semuanya orang Hakka. Mereka pekerja keras di bidang pertanian, namun tidak tampak bahwa kerja pertanian mengasingkan mereka atau emisahkan mereka dari penduduk lain. Pada 1930-an dilaporkan bahwa mereka dengan sangat mudah bergaul dengan orang Dayak. Pada masa itu, mereka juga berdagang dengan orang Dayak. Adat perkawinan dan kewarisan mengikuti tradisi Tionghoa, anak-anak yang lahir dari orang tua campuran dibesarkan dengan cara Tionghoa dan berbahasa Tionghoa. Kemungkinan, keberadaan mereka dalam suatu komunitas kecil Tionghoa membantu mereka yang berdarah campuran untuk berintegrasi. Meskipun hampir semua orang Tionghoa bercakap-cakap bahasa Hakka, orang Tionghoa kelahiran setempat biasanya juga fasih berbicara dalam bahasa Melayu. Para imigran Tionghoa yang bergerak dalam perdagangan domestik, sebagaimana dilaporkan dalam Memorandum Penyerahan Jabatan WJ ten Haaft di Landak 1934 menyebutkan seringkali bisa berbahasa Dayak.

Landak mencerminkan migrasi orang Tionghoa ke pedalaman. Migrasi lain dari orang Tionghoa ke daerah pesisir berhubungan dengan suatu peralihan ke pertanian tanaman niaga …

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber: koleksi penulis dokumen dan arsip tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar