Minggu, 14 Desember 2008

KALIMANTAN BARAT DI MASA PEMERINTAHAN
PENDUDUKAN MILITER JEPANG

PEMERINTAHAN PENDUDUKAN
Setelah berhasil menaklukkan dan mengamankan wilayah Indonesia, Jepang melakukan reorganisasi di bawah pemerintahan pendudukannya di Asia Tenggara. Indonesia ditempatkan di bawah komando Tentara Wilayah Selatan pimpinan Marsekal Terauchi Hisaichi yang bermarkas di Dalat, Vietnam. Indonesia sendiri kemudian dibagi ke dalam tiga wilayah pendudukan, di mana dua di antaranya dikuasai oleh Rikugun (Angkatan Darat Jepang) yang berada di bawah komando Tentara Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura, sedangkan satu lainnya di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut: Pulau Jawa dan Madura di bawah Osamu Shudan (Tentara ke-16), yang bermarkas di Jakarta. Pulau Sumatra di bawah Tomi Shudan (Tentara ke-25). Pada mulanya, pusat administrasinya berada di Singapura dan pemerintahannya juga meliputi Singapura dan Semenanjung Malaya. Namun pada 1943 Jepang menjadikan Sumatra sebagai zona pemerintahan sendiri di bawah Tentara ke-25, yang kemudian memindahkan pusat administrasinya ke Bukittinggi di Sumatra Barat. Sedangkan Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Dai Ni Nankenkantai (Armada Selatan ke-2) yang bermarkas besa di Makassar.

Pada mulanya, tidak ada kebijakan yang seragam di kalangan pemimpin militer Jepang megenai masa depan Indonesia. Angkatan Laut Jepang bermaksud untuk memasukkan wilayah yang dikuasainya sebagai bagian tetap dari kekaisaran Jepang. Di wilayah di luar Jawa, tak terkecuali di seluruh Kalimantan Barat sekarang, pemerintahan militer Jepang cenderung bersifat sangat menindas.

Sementara itu, Jepang mengaktifkan kembali pemerintahan sipil dengan panglima militer Jepang sebagai pucuk pimpinannya. Pucuk pimpinan pemerintahan militer itu disebut sebagai Gunsereikan atau Saiko Sikikan dan berkedudukan di Saigon. Kekuasaan tertinggi di setiap wilayah pendudukan dipegang oleh masing-masing panglima tentara atau armada, sementara pemerintahan daerah militer dipimpin oleh kepala staf tentara sebagai seorang gubernur militer (gunseikan) kantornya disebut Gunseikanbu.

Wilayah Indonesia Timur yang dikuasai oleh Angkatan Laut diperintah oleh Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil) yang berpusat di Makassar. Kepala pemerintahannya disebut sebagai sokan (inspektur jenderal). Di bawah minseifu terdapat tiga minseibu, yaitu Kalimantan (pusat pemerintahan di Banjarmasin), Sulawesi (pusat pemerintahan di Makassar) dan Sunda Kecil (pusat pemerintahan di Singaraja). Daerah-daerah minseibu ini kemudian dibagi lagi menjadi shu, ken, bunken, gun, dan son.

Di bawah pemerintahan Belanda, keamanan dan ketertiban berarti bahwa bangsa Indonesia harus bersikap pasif, namun Jepang mengartikannya sebagai usaha untuk memobilisasi seluruh bangsa Indonesia bagi tujuan-tujuan perangnya. (Iesna Dino)



KEBIJAKAN INDONESIANISASI
Selama masa pendudukannya, Jepang memberikan peluang luas bagi orang-orang Indionesia untuk duduk dalam struktur pemerintahan. Hal ini terutama dikarenakan banyaknya jabatan yang lowong akibat ditinggalkan oleh para pejabat Belanda serta demi kepentingan propagandanya sendiri sebagai pembebas bangsa Indonesia.

Pada awalnya, Jepang berusaha untuk menyingkirkan kaum feodal lokal dari struktur pemerintahannya. Bahkan pada hari-hari pertama penyerbuan mereka, orang Jepang mendorong kelompok-kelompok radikal untuk menyerang para bangsawan yang didentikannya dengan kaki tangan Belanda. Namun akhirnya Jepang harus realistis dalam mengendalikan pemerintahannya. Sekalipun para atau para mantan guru loyalitasnya dinilai cukup tinggi daripada para bangsawan, namun umumnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam birokrasi pemerintahan. Akibatnya, Jepang terpaksa merekrut kembali para ambtenaar dari masa kolonial Belanda untuk menduduki jabatan lamanya.

Dalam upayanya untuk membangkitkan dan mengobarkan perasaan anti-Barat di kalangan bangsa Indonesia, Jepang memopulerkan lagu-lagu yang syairnya membakar semangat anti-Sekutu. Ungkapan “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika” menjadi ungkapan pembangkit semangat. Sementara itu simbol-simbol kekuasaan penjajah Belanda yang dibenci disingkirkan.

Sekalipun pemerintah pendudukan mempropagandakan pesan mengenai kepemimpinan Jepang di Asia, mereka tidak berusaha mengembangkan secara paksa kebudayaan Jepang dalam skala besar. Usaha untuk menjepangkan kehidupan sehari-hari penduduk Indonesia sendiri terbatas pada pengubahan waktu Jawa menjadi waktu Tokyo, yang berbeda satu setengah jam, pengubahan tahun kalender Masehi menjadi tahun kalender Showa, 1942 menjadi 2602, menetapkan hari raya Jepang untuk diperingati, seperti Tencho setsu—hari lahir Tenno Haika pada 29 April, upacara bendera wajib, yang terdiri atas penghormatan terhadap bendera Hinomaru dan saikerei, dan menetapkan bahasa Jepang sebagai bahasa utama.

Kelihatannya, Jepang memercayai bahwa orang Indonesia, sebagai sesama orang Asia, pada dasarnya sama dengan diri mereka sendiri namun telah tercemar akibat penjajahan Barat selama tiga abad lebih. Bagi Jepang, apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah suntikan seishin (semangat) gaya Jepang. (Iesna Dino)


MILITERISASI BANGSA INDONESIA
* KEBIJAKAN PERLAWANAN SEMESTA
Sejak awal masa pendudukannya di Asia Tenggara, Jepang telah merencanakan pembentukan satuan tentara cadangan dari penduduk pribumi yang berada di bawah kekuasaannya. Kebijakan tersebut tercantum dalam rencana induk yang dikeluarkan oleh Markas Besar Tertinggi Angkatan Darat di Tokyo. Instruksi tersebut kemudian dipertegas oleh Kementerian Angkatan Darat Jepang sekitar April 1942. Pada 29 Juni 1942, Markas Besar Tertinggi Angkatan Darat Jepang menyampaikan sebuah instruksi kepada Markas Besar Umum Tentara Wilayah Selatan Jepang yang berada di Saigon untuk mengatur sebuah organisasi militer cadangan yang beranggotakan penduduk pribumi untuk membantu pasukan Jepang di wilayah tersebut. Akan tetapi, pada mulanya perintah tersebut tidak segera dilaksanakan karena angkatan perang Jepang masih terus menerus meraih kemenangan sehingga mereka menganggap belum perlu mendapatkan dukungan militer dari penduduk lokal.

Keadaan berubah secara drastis ketika perang Jepang melawan Sekutu mengalami kemunduran sejak awal 1943. ketika Sekutu mulai melancarkan serangan balasan dan Jepang terpaksa mengerahkan semakin banyak pasukannya ke garis depan sehingga mengancam posisinya sendiri di daerah-daerah pendudukan, perekrutan penduduk pribumi menjadi kekuatan cadangan tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Staf Tentara Jepang di Wilayah Selatan Letnan Jenderal Inada Masazumi, setelah dia memeriksa kekuatan militer Jepang yang semakin melemah di Asia Tenggara, tak terkecuali Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Saran Inada tersebut disetujui oleh Jenderal Tojo dan Kepala Urusan Militer Kementerian Angkatan Darat Jepang, jenderal Kenryo Soto.

Pada 29 April 1943, bertepatan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang, penguasa Jepang di Jakarta mengumumkan pembentukan sistem perlawanan semesta dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil dengan memasukkan disiplin militer ke dalamnya. Bagian terdepan dari sistem pertahanan semesta Jepang ini adalah Tonarigumi. Kelompok yang terdiri atau 10 sampai 15 keluarga ini merupakan cikal bakal dari rukun tetangga yang dikenal sekarang. Lima atau enam tonarigumi kemudian digabungkan ke dalam Chokai (rukun kampung). Dengan sistem ini, Jepang dapat mengontrol keadaan setiap kampung serta memobilisasi sumber daya alam dan manusianya untuk kepentingan perang mereka, termasuk memobilisasi para pemuda dan pemudi Indonesia ke dalam berbagai formasi semimiliter dan militer bentukannya.

Pada 29 April tersebut, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Keibodan (Korps Kewaspadaan), yang bertugas sebagai barisan pembantu polisi. Barisan ini ditugaskan untuk pengamanan desa, pengaturan lalu lintas, dan berbagai pekerjaan polisi lainnya. Pada mulanya, anggota Keibodan diharuskan berusia antara 20 hingga 35 tahun. Akan tetapi, ketika orang-orang yang lebih muda dan fit semakin dibutuhkan untuk tugas-tugas di garis depan, usia minimal anggota Keibodan dinaikkan menjadi 26 tahun. (Din Osman)

BARISAN SEMI-MILITER
Selain di Jawa, keibodan dibentuk pula di Kalimantan disebut sebagai Borneo Konan Hokokudan. Tidak seperti di Jawa, zona pendudukan Jepang ini tidak terdapat suatu markas besar terpusat bagi barisan ini. Sebaliknya, setiap syu memimpin langsung organisasi lokalnya. Bersamaan dengan pembentukan Keibodan, Jepang mengumpulkan para pemuda yang berusia 14 hingga 29 tahun ke dalam Seinendan (Barisan Pemuda). Barisan ini secara langsung berada di bawah pimpinan Gunseikan sebagai dancho (komandan). Di bawahnya, struktur kepemimpinan barisan ini adalah fuku dancho (wakil komandan), komon (penasehat), sanyo (anggota dewan pertimbangan), dan kanji (administrator).

Sekalipun mendapatkan pelatihan dasar-dasar kemiliteran, namun anggota Seinendan tidak menggunakan senjata yang sebenarnya. Tugasnya adalah sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Seindendan memiliki canag di setiap tingkatan wilayah administratif, yaitu dari tingkat Si hingga Shu. Selain itu, di pabrik-pabrik dibentuk pula Seinendan Kojo, sementara di daerah perkebunan dibentuk Seindendan Jigyogo. Seinendan juga memiliki cabang yang beranggotakan kaum wanita yang disebut Josyi Seindendan (Seindendan Putri).

Untuk melatih para kader pemimpin Seinendan, dibentuklah sebuah Seinen Kunresho (Pusat Pelatihan Korps Pemuda Pusat) di jakarta. Pusat ini berada di bawah pengawasan langsung Gunseikanbu. Kebijakan militerisasi Jepang juga mencakup para pelajar, di mana setiap sekolah lanjutan dibentuk Gakkutotai (Barisan Pelajar). Berkaitan dengan hal ini, setiap sekolah lanjutan dijadikan sebagai markas chutai (kompi) sementara tiap kelas merupakan shotai (seksi). Setiap shotai kemudian dibagi lagi menjadi butai (regu).

Para pelajar putra mendapatkan pelatihan dasar militer agar dapat menjadi bibit-bibit bagi berbagai barisan militer buatan Jepang. Setiap murid pria dilengkapi dengan bedil kayu yang dinamakan mokuju, sedangkan wakil kelas atau pimpinan regu membawa pedang dari kayu jati yang disebut katana. Guna menanamkan dan mempertebal semangat keprajuritan, latihan sering kali diadakan secara mendadak. Biasanya pada saat-saat para siswa bersiap-siap untuk pulang. Sedang lapar-laparnya di terik panas matahari para siswa dilatih berbaris, berlari-lari dan berguling-guling di lapangan rumput di halaman sekolah atau di antara semak-semak belukar yang berduri di luar sekolah.

Mereka diajari cara merayap (hofuku) sambil menenteng senapan kayu menembus belukar, melompat dan berlari maju sambil menusuk-nusukkan bedil kayu seolah-olah ada bayonetnya, maju mundur ke depan seolah-olah membunuh musuh sambil berteriak. Dengan sendirinya tidak jarang hatuh korban yang pingsan karena keletihan akibata latihan yang dinamakan kyoren tersebut. (Din Osman)

BARISAN MILITER
Ketika Jepang semakin terdesak, mereka juga mendorong para pemuda Indonesia untuk mengikuti teladan mengorbankan nyawanya untuk Kaisar seperti yang dilakukan para saudara tuanya dari Negeri Matahari terbit itu. Hal ini menyebabkan pendirian Jibakutai (Barisan Berani Mati), yang dibentuk 8 Desember 1944. barisan ini didirikan dengan mengikuti contoh para penerbang kamikaze Jepang. Sekalipun terdapat permusuhan di antara bangsa Jepang dengan bangsa Cina, beberapa petinggi Jepang mendukung pembentukan kelompok-kelompok semi-militer di kalangan orang Cina. Sebuah barisan semacam keibodan juga dibentuk di kalangan masyarakat Cina dengan nama Kakyo Keibotai.

Ketika perang Jepang melawan Sekutu mulai terdesak, Jepang mulai memobilisasi para pemuda Indonesia untuk membantuknya secara militer. Pada 22 April 1943, Komando tertinggi Wilayah Militer di Saigon mengumumkan dibukanya kesempatan bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi heiho (pembantu tentara). Sendenbu mempropagandakan kedudukan heiho sebagai suatu kesempatan untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa.

Banyak pemuda Indonesia yang mendaftarkan diri untuk menjadi heiho. Setelah mendapat latihan militer beberapa bulan secara efektif, ribuan heiho diberangkatkan ke berbagai medan perang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Tempat-tempat yang menjadi medan pertempuran antara lain adalah front Burma, Rabaul, Morotai, Balikpapan, dan sebagainya. Menurut kepala seksi operasi Tentara ke-16, secara militer heiho lebih baik dan lebih terlatih daripada Peta dan mempunyai kemampuan bertempur menggantikan prajurit Jepang. Anggota heiho terutama bertugas di unit-unit penangkis serangan udara, artileri lapangan, tank, mortir dan transportasi.
Ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu dan kehilangan banyak prajurit, mereka semakin giat merekrut heiho. Sendenbu tidak henti-hentinya mempropagandakan kepahlawanan para heiho untuk menarik para pemuda agar mau bergabung dengan barisan itu. Di antara propaganda itu terdapat kisah rekaan tentang “Heiho Amat” yang berjibaku (melancarkan serangan bunuh diri) ke kubu musuh dengan menjinjing bom. Bom itu meledak di kubu musuh dan tubuh Amat pun hancur.

Perekrutan heiho untuk unit-unit Angkatan Darat jepang kemudian diikuti oleh perekrutan kempeiho bagi Kempeitai maupun Kaigun heiho bagi Angkatan Laut Jepang. Pasukan heiho tidak memiliki komandan bangsa Indonesia sendiri, namun berada di bawah komando tentara Jepang. Jepang tidak memberikan latihan teori maupun organisasi kepada para sukarelawan. Latihan utama ditekankan pada stamini fisik dan seishin (semangat), sama seperti yang telah ditekankan oleh Jepang dalam pelatihan yang mereka berikan di berbagai pusat pelatihan, sekolah, dan barisan pembantu yang didirikannya. Dalam hal ini, para sukarelawan dilatih untuk memiliki keberanian besar sehingga tidak mempedulikan rasa sakit ataupun kematian sekalipun.

Namun usaha Jepang untuk melatih unit-unit semimiliter dan militer pribumi sebagai usaha terakhir untuk menunjang kemampuan pertahanan Indonesia dari ancaman serangan Sekutu menunjukkan kerapuhan ketika mereka semakin terdesak di berbagai front. Seperti juga di kalangan penduduk Indonesia biasa, di sejumlah unit militer Indonesia yang dilatih jepang muncul kegelisahan yang semakin meningkat akibat tiga setengah tahun pendudukan Jepang yang sewenang-wenang. Pada akhirnya, kegelisahan ini melahirkan reaksi perlawanan terhadap Saudara Tua mereka. (Din Osman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar