Minggu, 28 Desember 2008

KONGSI LANFANG: REPUBLIK SELINGKUH TIONGHOA—BELANDA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

KONGSI TIKO JENGUT
Sebuah naskah berbahasa Tionghoa yang berasal dari abad ke 19 terkait erat dengan sejarah pembentukan Kongsi Lanfang di Mandor. Pendirinya, Lo Fong Pak (Mandarin: Luo Fangbo) yang sebelumnya bergabung dengan Lanfanghui, kongsi pertanian yang pernah bentrok dengan Monterado, datang bersama para pengikutnyanya di Borneo pada 1771 dari Meixian, yang ketika itu dikenal dengan nama Jiayingzhou, di Guangdong. Jurnal kongsi menyebutkan 100 keluarga, tetapi barangkali para imigran tersebut adalah laki-laki bujang. Pada 1772, setahun sesudah pembentukan Fosjoen, Lo Fong Pak mendirikan sebuah kongsi pertambangan yang baru di Mandor, di wilayah Panembahan Mempawah, tidak jauh dari Sungai Kapuas. Penggunaan nama Lanfang oleh Lo adalah untuk mengasosiasikan dirinya dan kelompoknya dengan usaha pertanian Lanfang yang terkalahkan dekat Monterado. Sejarah Lanfang yang diterjemahkan de Groot memberikan kesan bahwa Lo Fong Pak datang langsung dari Tiongkok ke Pontianak, namun Schaank meragukan versi ini. Menurut dia Lo tiba 1772 dan mendirikan kongsi lima tahun kemudian.

Lanfang didirikan pada masa yang tidak lama setelah kelahiran Kota Pontianak 1771. menurut sumber-sumber kearsipan, pertumbuhan awal dari kongsi ini terkait dangat erat dengan kegiatan kesultanan yang baru, dan Abdurrahman pendiri Pontianak segera menyatakan kekuasaannya atas wilayah kongsi yang pada awalnya sebenarnya merupakan bagian dari kekuasaan Mempawah. Pada 1787, keseluruhan wilayah Mandor seutuhnya jatuh di bawah kekuasaan Pontianak. Sepanjang masa tersebut, seorang perwakilan Belanda sudah ditempatkan di Pontianak. Sengketa mencakup perselisihan antara Sambas dan Mempawah, dan intervensi Pontianak, dikarenakan Mempawah tidak sanggup melunasi sejumlah utang kepadanya, Sultan Abdurrahman dapat mengangkat putranya ke atas singgasana Mempawah, namun kemudian garis kekuasaan Mempawah dipulihkan lagi oleh Belanda.

Kini Lanfang menjalin hubungan ekonomi dengan kota Pontianak. Para pekerja Tionghoa yang datang ke pertambangan masuk melalui pelabuhan Pontianak, selain Mempawah, dan sultan mengambil keuntungan atas kedatangan dan kepergian mereka. Kampung Baru, di seberang sungai dari istana sultan, berkembang sebagai pemukiman yang berada di bawah kongsi. Bagaimanapun, Lanfang yang bertahan sebagai kongsi hingga 1884, tidak pernah sekuat Thaikong.

Versi lain dari pendirian Lanfang berasal dari sumber berbahasa Melayu yang menyebutkan bahwa dalam 1788 sebuah perkumpulan dari kongsi-kongsi kecil lahir di daerah Mandor dan Tiko Jengut, nama alias dari sang pendiri Lo Fong Pak yang menyatukan organisasi-organisasi tersebut membentuk Kongsi Lanfang yang dia pimpin secara berturut-turut hingga 1795. tiko berasal dari kata dage, saudara tua, dalam hal ini boss dari suatu kongsi atau perkumpulan rahasia, dan jengut adalah bahasa Melayu dari janggut. Lukisan Lo Fong Pak terdapat di kelenteng Sungai Purun, tentu saja menggambarkan seorang laki-laki dengan janggut lebat. Ketua Lo mengusir kongsi-kongsi yang lebih lemah ke Karangan, sehingga hanya ada Lanfang di Mandor. Dari tempat ini Kongsi Lanfang memperluas wilayahnya hingga ke Landak pada abad ke 19.

Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengalir ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis, dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18. terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana, dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. Burn berpikir bahwa di tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.

Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas, namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter Sultan Pontianak yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali terslut pada 1840-an.

Pengharapan yang salah dari pihak Belanda merupakan salah satu sumber pertikaian, namun terdapat persoalan-persoalan lain pada batas-batas wilayah orang Borneo. Sejak dekade awal abad ke 19, pertambangan seringkali mengalami masalah dan persmusuhan seringkali terjadi. Di antara 21 konflik paling besar yang terjadi di Borneo Barat antara 1770 sampai 1854, hanya 6 peristiwa yang merupakan perang terbuka antara para penambang Tionghoa melawan pemerintah kolonial, dari 15 peristiwa lainnya, 6 peristiwa adalah pertikaian di antara kongsi-kongsi itu sendiri, sedangkan sisanya adalah antara kongsi dengan penduduk setempat. Di sisi lain, sebuah sumber pada masa itu menekankan bahwa orang Tionghoa di Monterado telah menentang pemerintah klolonial dalam delapan kejadian sebelum 1850. memang, banyak pertikaian lainnya yang tidak tercatat.

Barangkali, terkurasnya kandungan emas di wilayah mereka merupakan penyebab utama dari pertikaian antar kongsi. Atmosfir kekerasan yang merebak karena ketiadaan pemerintahan yang kuat tidak berbeda halnya seperti keadaan di berbagai tempat di sebelah tenggara daratan Tiongkok, saat kelahiran antar marga dan antar kampung (Mandarin: xiedou) sudah menjadi hal biasa pada abad ke 19. selain itu, meskipun bberapa konflik juga disebabkan perbedaan daerah asal dari para penambang tersebut di Tiongkok dan persaingan yang terbangun oleh perbedaan etnis atau perbedaan wilayah geografi, ternyata lawan yang paling keras bersaing, para penambang dari Samtiakioe dan dari Thaikong, keduanya sama-sama berasal dari wilayah yang disebut panshanhok. Orang Thaikong yang menyerang Samtiaokioe pada 1850 ternyata berasal dari suku yang sama dengan orang yang diserang. Terlihat bahwa permasalahan mendasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan sumber daya, lokasi emas dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka. Seperti dicatat secara pesimis oleh Komisioner Tobias di awal 1822, Thaikong sebagai tulang punggung Fasjoen hanya tinggal memiliki empat tambang besar saja.

Semakin sedikit jung bermuatan pendatang sebagai pekerja tambang yang datang ke Borneo menyebabkan penurunan jumlah penduduk dan emas yang dihasilkan tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para penambang yang masih ada, khususnya di Mandor dan sebagian wilayah Monterado. Monterado terlihat sudah kehilangan para penambangnya dan menghasilkan terlalu sedikit emas untuk mencukupi pembayaran sisa penambangnya. Pada 1831, Mandor sudah mendapat sedikit keuntungan. Namun, tambang di Lara dan Lumar memiliki emas berkualitas tinggi dan menghasilkan keuntungan yang layak, seperti juga penambangan di Sepang, Seminis dan Buduk, kedua tambang dari yang pertama disebut milik Samtiaokioe. Mereka diperkirakan menghailkan f2.500.000 pertahun, dalam satu perhitungan. Satu-satunya alternatif bagi kongsi adalah memperluas wilayah mereka, namun alternatif ini mengakibatkan ketegangan dengan kongsi-kongsi lainnya atau dengan orang Dayak dan Melayu yang mengerjakan lokas-lokasi tambang yang lebih jauh di pedalaman.

Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, juga menghadapi penurunan produksi emas pada 1830-an, apalagi para penambang lain sudah memasuki wilayah mereka untuk mencari emas. Pada 1842, saat bersamaan dengan perselisihan antara Thaikong dan Lara, orang Kongsi Lanfang beruaya untuk masuk ke Landak, terutama ke daerah Perigi, tapi Panembahan Landak mengorganisasikan perlawanan orang Melayu dan Dayak. Karena lokasi pertambangan Landak begitu menjanjikan, maka para penambang dari Lanfang maupun tempat-tempat lain selalu mencoba untuk menyusup ke wilayah tersebut. Pertempuran mulai terjadi lagi pada 1846, namun Sultan Pontianak dapat memperundingkan pemecahannya.

Pemerintah kolonial menganggap keberadaan pemukim orang Tionghoa di Landak sangat merusak bagi kesjahteraan suku Dayak dan mendukung panembahan utnuk menghalangi pemukiman Tionghoa di wilayahnyarancangan tak bertanda tangan, kelihatannya sebuah pembenaran kebijakannya oleh bekas Residen Willer. Willer dibuat berang oleh perlakuan orang Tionghoa terhadap orang Dayak. Kekacauan selalu menjadi alasan untuk campur tangan. Hubungan Belanda dengan Landak sering berada dalam ketegangan, namun penguasa biasanya mendukung upayanya untuk menghindari pemukiman orang Tionghoa atau untuk membatasinya ke ibukota Ngabang. Baru pada 1851 kepala Kongsi Lanfang dapat mendapatkan ijin penguasa Landak bagi orang Tionghoa untuk membuka beberapa pertambangan dan untuk menetap di ibukota Landak, Ngabang. Pemerintah Belanda sekarang mulai melakukan penggarapan wilayah secara sistematis dan memutuskan untuk berhubungan lebih tegas dengan kongsi-kongsi orang Tionghoa maupun dengan para penduduk pribumi yang belum tunduk.

Setelah bertahun-tahun mempraktekkan kebijakan penanaman uang dan pasukan yang sekecil mungkin saja di Borneo Barat, pada 1849, Gubernur Jenderal JJ Rochussen (1846-1851) menerapkan satu kebijakan untuk lebih jauh ikut campur. Pada tahun berikut, ia membagi Borneo menjadi dua keresidenan, Borneo Barat dan Borneo Bagian Selatan dan Timur, suatu pembagian wilayah administrasi yang bertahan hingga menjelang berakhirnya masa kolonial. Pada Februari 1850, residen baru, TJ Willer tiba di Borneo Barat. Willer sebnelumnya bertugas di antar orang Batak Mandailing di Sumatera. Pada 1850, Pembantu Residen RC van Prehn ditugaskan di Sambas. Namun, pemerintah kolonial Belanda ibarat singa ompong, pada pertengahan abad ke 19, keseluruhan pasukan yang ditempatkan di Sambas dan Pontianak tidak lebih dari 200 tentara, kebanyakan tidak siap tempur. Pasukan cadangan tidak tersedia, dan Belanda tidak yakin apakah para penguasa setempat yang menyatakan diri sebagai sekutu mereka, akan memberikan dukungan dalam peperangan melawan kongsi-kongsi.

LANFANG SEBUAH RIWAYAT SELINGKUH
Satu kongsi besar, bukan yang terbesar dan tentu saja bukan yang paling demokratis bertahan hidup. Orang Tionghoa Mandor dari kongsi Lanfang telah membuat perdamaian dengan Belanda pada 1823, hubungan tersebut tetap bertahan meskipun Mandor tidaklah benar-benar bersikap netral pada masa Belanda berperang untuk mengalahkan Thaikong. Pada masa ketika kongsi didirikan pada 1777, jalur transportasi ke Mandor mengikuti Sungai Peniti melalui wilayah Mempawah, sebuah jalan setapak menghubungkan sungai itu dengan Mandor. Ketika Pontianak berkembang semakin penting, Laanfang menjadi semakin tergantung pada pelabuhan tersebut, dengan mempergunakan Sungai Terap dan Landak dan Sungai Kapuas dalam kebanyakan kegiatan perhubungannya. Para kuli baru mendarat di Pontianak atau menaiki jung-jung Tionghoa yang berlabuh di sana untuk berangkat kembali ke Tiongkok. Kongsi ini juga segera menjalin hubungan dengan kesultanan yang baru berdiri tersebut. Baru pada 1787 pusat wilayah Mandor diakui oleh Belanda sebagai bagian dari Pontianak, bukan Mempawah, namun demikian hal ini tidak menjadi halangan bagi hubungan-hubungan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa orang Tionghoa dari Kongsi Lanfang masih berdiam di wilayah Mempawah.

Ketika Mandor menjadi lebih terintegrasi dengan Pontianak, namun kurang berhubungan dengan Mempawah, Mandor juga menjalin hubungan dengan pemukiman-pemukiman pesisir yang berada di bawah naungan kongsi. Kebijakan kongsi tersebut yang saling memahami dengan Belanda atau nampak berbuat demikian, secara signifikan memungkinkan kongsi Lanfang tetap bertahan selama tiga dekade setelah kekuasaan kolonial menyapu bersih semua organisasi lain yang sejenisnya, atau kongsi-kongsi itu telah mati karena sebab-sebab lainnya.

Setelah mengalami beberapa perselisihan awal, kongsi Lanfang dan pemerintah kolonial menjalin suatu hubungan khusus (baca: perselingkuhan!). kepala kongsi disebut sebagai kapthai, menggantikan pangkat yang biasa dipergunakan bagi kepala kongsi yaitu tiko atau thaiko (Mandarin: dage, saudara tua atau boss). Pemerintah kolonial menyatakan memiliki hak untuk mengesahkan pilihan kongsi terhadap jabatan ini, sebuah sistem yang gagal mereka terapkan pada Thaikong tiga puluh tahun kemudian. Pada 1824, residen Pontianak bahkan menyetujui pemberian pinjaman sebesar f20.000 bagi Lanfang untuk memperluas pertambangannya.

Secara administratif, Kampung Baru, terletak di seberang Sungai Kapuas dari Pontianak, seperti juga kota-kota kongsi lainnya, merupakan bagian dari kongsi Mandor. Orang Hakka yang tinggal di sana, merayakan hari raya peringatan kongsi, terutama peringatan terhadap sang pendiri Lo Fong Pak. Kongsi Lanfang juga memiliki pangkalan di Kota Pontianak, di pasar di mana didirikan sebuah aula, Lanfang Futhang (Mandarin: futing, aula tambahan), mungkin pada awal 1820. pada 1851, dikarenakan pergolakan dengan Thaikong dan karena kecurigaan pemerintah kolonial terhadap segala sesuatu yang terlihat seperti suatu perkumpulan rahasia, semua perayaan publik tersebut dilarang. Pada 1856 toapekong dipindahkan dari gedung itu. Pada 1859 perayaan-perayaan kembali diselenggarakan di aula ini, yang diperbarui berkat inisiatif dari Kapthai Lioe A Sin dan kawan sekolah serta ipar laki-lakinya, Then Sioe Lin, kapitan orang Hakka di Pontianak daro 1853 sampai 1877. Pada masa itu, terdapat kapitan untuk kelompok-kelompok bahasa utama di Pontianak. Beberapa sumber menyebut Then Sioe Lin sebagai ayah mertua dari Lioe, namun kebanyakan menyatakan sebagai kakak ipar.

Setelah pembubaran bebrbagai kongsi lainnya 1854, hari-hari terakhir Lanfang sudah dapat dihitung, meskipun pemerintah masih menganggap Kapthai Lioe sebagai seorang sekutu terpercaya. Lioe adalah, salah satunya, seorang pengelola pacht candu baik untuk kongsinya maupun untuk sebagian wilayah Borneo Barat, bersama dengan Kapitan Then Sioe Lin, dan keduanya pada 1853 juga ikut serta sebagai salah satu pachter candu di bekas wilayah kongsi di Monterado.

Pada 1857, pemerintah kolonial mulai membatasi kemerdekaan kongsi, meskipun mereka tidak lagi berupaya menghabisinya seperti yang mereka lakukan terhadap Thaikong. Mereka menarik kembali pacht candu milik Lanfang, memberlakukan kembali pajak kepala atas semua laki-laki dewasa, memastikan bahwa semua anggota kongsi wajib membayar pajak tertentu kepada para penguasa Melayu dan sekali lagi melarang kongsi memperkuat pengaruhnya atas orang Dayak. Beberapa bulan kemudian, anggota kongsi yang kecewa mengobarkan sebuah pemberontakan melawan Kapthai Lioe. Orang yang kecewa ini membentuk sebuah perkumpulan rahasia, bersekongkol untuk menyingkirkannya, namun Lioe tetap berkuasa, memindahkan hampir semua pemberontak yang tertangkap ke tangan pemerintah kolonial. Lioe mengirim tiga puluh tiga orang yang diduga sebagai konspirator ke tangan Belanda dan menyatakan bahwa dua orang lainnya telah dibunuh. Tidak jelas, apakah para konspirator tadi melakukan protes menentang kerja sama yang dilakukan Lioe dengan Belanda atau menentangnya sebagai pemimpin. Penduduk Lanfang nyatanya memang membayar pajak lebih kecil jika mereka pindah ke wilayah Belanda, sebagaimana banyak dilakukan orang. Hal ini meyakinkan Belanda bahwa Lioe tidak boleh dilepaskan.

Pada 1874, orang Tionghoa Lanfang yang bertempat tinggal di wilayah Mempawah membentuk sebuah perkumpulan untuk melawan pembayaran pajak kepada penguasa setempat, namun persoalan ini berakhir ketika Kapthai Lioe turun tangan. Dua tahun kemudian, Lioe mengundurkan diri demi puteranya, Lioe Liong Kwon memegang jabatan, namun pada 1880 putranya tersebut meninggal dunia dan sang ayah kembali memangku jabatan kepemimpinan atas kongsi yang sekarang ini secara keuangan sudah bangkrut. Lokasi-lokasi penambangan emas sudah terkuras persediaan emasnya, banyak orang Tionghoa yang telah beralih menjadi petani atau pedagang atau berpindah tempat tinggal. Lioe dalam kondisi kesehatan yang kurang bagus, menjaga kongsi tetap berlayar dengan sebagian memakai uang dari sakunya sendiri. Pada 1873, sang kapthai sudah terjerat hutang kepada seorang Melayu pemberi pinjaman uang, sehingga dia kehilangan kekuasaan atas pacht candu di Borneo Barat dan harus bergabung dalam kemitraan dengan pemberi hutangnya itu. Tiga tahun kemudian, pemerintah menawarkan Lioe sejumlah pinjaman tanpa bunga sebesar f100.000 untuk membangkitkan Lanfang. Penuturan dalam de Waal, pada Koloniaal Verslag (1876), menyebutkan bahwa pinjaman tersebut ditolak (onze Indische financien).

Turunnya jumlah penduduk mencerminkan kondisi material yang ada. Mandor memiliki lebih dari 4000 penghuni pada akhir 1860-an. Pada 1871, hanya dua puluh tujuh penambang yang bekerja bagi kongsi, dari sekitar dua ribu orang laki-laki dewasa, sementara hampir enam ratus orang sebagai petani. Dua belas tahun kemudian, pada 1883, Lioe menghitung 2.725 laki-laki dewasa tersebar di seluruh wilayah kongsi, sekitar 1.200 dari jumlah tersebut membayar pajak kepala. Pemukiman kongsi pesisir di Sungai Pinyuh sudah menjadi lebih padat penduduknya dibandingkan dengan kota Mandor. Anehnya, sebuah sumber berbahasa Belanda, mengabaikan kondisi keuangan kongsi, menyatakan bahwa Mandor selalu dikenal sebagai satu-satunya daerah yang tertata secara baik di seluruh keresidenan, membandingkannya dengan daerah-daerah kerajaan Melayu. Kongsi mungkin saja memiliki administrasi yang lebih baik dari kerajaan-kerajaan pribumi, namun demikian kongsi hampir menjelang ajalnya.

Pada 1880, Lioe secara resmi menyetujui pembubaran kongsi jika dia menemui ajalnya, sebuah jalan keluar yang diharapkan para pejabat kolonial sejak penghapusan Thaikong. Sebuah Peraturan pemerintah (besluit) 3 Agustus 1889 Nomor 14 memastikan pengaturan ini. Wilayah di mana orang Lanfang bertempat tinggal, bertani dan bertambang akan dikembalikan kepada penguasa pribumi di Mempawah, Pontianak dan Landak. Para penduduk Tionghoa, seperti orang Tionghoa lainnya di propinsi ini, akan diperintah secara langsung Belanda atau oleh pejabat yang ditunjuk Belanda.

Para pejabat Belanda, Tionghoa dan Melayu bahkan para tamu dari Jawa hadir dalam pesta ulang tahun Kapthai Lioe yang ke tujuh puluh satu pada Desember 1883. kurang dari satu tahun kemudian, pada 22 September 1884, dia wafat di kediamannya di aula Lo Fong Pak di Pontianak. Lioe lahir 1812 di Jiayongzhou . meski terdapat fakta bahwa dia memiliki riwayat kesehatan yang buruk, namun kematiannya merupakan hal yang tak terduga. Di Mandor timbul gosip bahwa dia diracun atau meracuni dirinya sendiri karena putus asa mengenai keadaan kongsi, namun kematiannya terlihat dikarenakan faktor alamiah.

Residen Cornelis Kater, seorang dengan pengalaman lebih dari tiga dekade di Borneo, mengantar jenasahnya ke Mandor untuk memberikannya pemakaman dengan upacara kehormatan pada 1 Oktober, menunjukkan penghormatannya bagi Lioe, meskipun peti mati Lioe tidak disemayamkan di kantor pusat kongsi sebagaimana layaknya seorang ketua dalam pandangan kaum Tionghoa. Dengan menolak permohonan dari janda kapthai dan para pemuka orang Tionghoa di kota tersebut agar putra Lioe, En Kwon, yang pada waktu itu masih di bawah umur, diangkat menjadi kapthai yang baru, Kater bersikukuh bahwa kongsi sudah tidak ada lagi berdasarkan perjanjian 1880. semua benda yang berhubungan dengan Lanfang termasuk papan roh dari sang pendiri Lo Fong Pak harus disingkirkan dari kantor pusat atau thang.

Kater mengangkat seorang controleur dengan sejumlah polisi pribumi di kantor pusat kongsi, kelompok ini menjadi pemerintahan kolonial di Mandor. Pemerintah juga mengangkat sejumlah opsir Tionghoa untuk mengawasi bekas wilayah Lanfang, banyak dari mereka adalah bekas pegawai kongsi. Papan Lo Fong Pak dan arca sang pelindung kongsi Guan Di disemayamkan, setelah melalui upacara basa-basi, di perumahan sementara pada 6 Oktober, simbol-simbol kongsi lainnya disita. Dua hari kemudian, Residen Kater dengan meninggalkan sejumlah uang untuk membangun kelenteng yang baru sebagai tempat kediaman arca-arca keagamaan, kembali ke Pontianak. Sementara itu, para penduduk kota memberi penghormatan bagi para dewa di rumah sementaranya tersebut

Kater mungkin telah berpikir bahwa dia telah dapat mengatasi situasi tersebut secara cepat dan murah hati, namun hal ini dikarenakan dia tidak sepenuhnya memahami peranan signifikan dari ritual keagamaan dalam urusan kongsi. Dia mengabaikan kualitas gaib dari balai tersebut, dia menganggapnya semata-mata hanya sebagai tempat kediaman mendiang kapthai dan gedung administrasi belaka. Menempatkan seorang controleur ke dalam gedung tersebut dan memindahkan para dewa dipandang oleh para penduduk Lanfang sebagai tindakan penodaan agama, namun Kater yakin bahwa dia telah memaklumatkan supremasi politik Negara Belanda melalui tindakan tersebut. Walalupun sudah mempunyai pengalaman yang lama di pesisir barat, Kater bergabung dengan jajaran para pejabat kolonial yang tidak memahami adat istiadat orang Tionghoa, sehingga menyebabkan bencana. Tidak mengejutkan, sebuah pemberontakan segera saja terjadi.

PEMBERONTAKAN “PERANG KONGSI”
Tanpa peringatan terlebih dahulu, di pagi hari 23 Oktober, segerombolan orang Tionghoa yang menyatakan diri mereka sebagai perwakilan dari kongsi yang tidak lagi berfungsi muncul di pasar Mandor, menyusup ke dalam bekas kantor pusat kongsi tersebut dan membunuh sang controleur dan tiga polisi. Mereka memasang kembali arca dari Guan Di dan papan Lo Fong Pak. Pemberontakan kemudian menyebar, dan kabar beritanya segera sampai ke Pontianak. Pada 3 Nopember 1884, sekitar 150-200 orang penyerang Tionghoa dipikul mundur dari bengkayang. Bengkayang merupakan lokasi strategis dalam jalur menuju Sarawak.

Beberapa orang Tionghoa dari kota-kota pesisir dengan diam-diam mengirimkan keluarga mereka ke Sarawak dan Singapura dan para penduduk Monterado mengungsi, Pontianak hampir dilanda kepanikan. Isu yang beredar bahwa perkumpulan rahasia yang menyeramkan Sam Tiam Fui (Mandarin: Sandianhui, yang berkait dengan Perkumpulan Langit dan Bumi, Tiandihui) berada di balik pemberontakan ini. Kater khawatir bahwa seluruh wilayah Distrik Tionghoa, yang merupakan sebutan bagi daerah yang dulunya wilayah Monterado, akan bangkit melawan orang Eropa.

Para pemberontak dipimpin Liong Lioe Njioe (atau Ngie), mungkin nama tersebut berarti Lioe si Naga Kedua, mengacu pada sang pemimpin pemberontak Thaikong Liao Njie Liong, yang kata orang sudah kembali dari Sarawak. Tentu saja, seorang tua dengan janggut putih tampak terlihat di Mandor. Sesungguhnya, yang menjadi pemimpin pemberontak adalah Lioe Pang Liong, seorang bekas juru tulis di kongsi Lanfang, nama itu sendiri dapat membingungkan karena bersesuaian dengan nama alias dari pemberontak tiga puluh tahun sebelumnya. Sementara itu, para pemberontak yang mempergunakan cap kelompok Ngee Hin (Mandarin: Yixing), sebuah persaudaraan yang berpengaruh di Singapura, memblokade jalur sungai dari Mandor ke Pontianak.

Sebuah perayaan tradisi orang Tionghoa di Pontianak pada 25-30 Desember hampir dilarang oleh penguasa, yang takut timbulnya keributan. Dalam kenyataannya, perayaan ini berlangsung tenang. Perayaan tersebut disebut tjatjau atau tatjau, mungkin itu sebuah perayaan kelenteng atau yang disebut juga ulang tahun dewa pelindungnya. Ijin dibutuhkan karena Residen Kater melarang penyalaan petasan, wayang dan perjudian terbuka sejak Oktober, ketika kericuhan pecah di Mandor. Pemakaian cap persaudaraan Ngee Hin menimbulkan dugaan para pemberontak memiliki kontak dengan Singapura, namun seorang informan kemudian memberitahu Belanda bahwa simbol-simbol Ngee Hin yang dipergunakan adalah tipuan belaka.

Residen Kater mengirim kawat ke Batavia, melalui Singapura karena tidak ada jalur langsung, untuk meminta bala bantuan pasukan dari Jawa. Pada 7 Nopember, dua kompi tentara tiba dari Jawa, akan tetapi pasukan ini dibutuhkan untuk mengamankan pemukiman Tionghoa di pedalaman seperti Monterado dan Bengkayang, sehingga Kate4r meminta tambahan sejumlah dua ratus orang pasukan. Pada 11 Nopember, beberapa ratus pemberontak kembali menyerang Bengkayang dengan menderita kerugian yang sangat besar. Pada akhirnya pasukan Belanda dapat membersihkan daerah Bengkayang dari para pemberontak, yang juga meninggalkan wilayah Monterado dan tak pernah kembali lagi. Orang Tionghoa Monterado sendiri tidak pernah turut serta dalam pemberontakan ini.

Pusat daerah permusuhan sekarang berpindah ke daerah perbatasan antara bekas wilayah Thaikong dan Lanfang, di sepanjang Sungai Mempawah. Pada awal Nopember, para pemberontak menguasai Mentidung dan membentengi Air Mati, memblokade jalur masuk ke Mandor dari arah Mempawah. Pada akhir Nopember, para tentara mendapati mentidung sudah ditinggalkan dan mereka kembali mendudukinya, dibantu oleh pasukan tambahan yang disediakan oleh Panembahan Mempawah dan oleh duku Dayak Sanking dan Sembaya. Anjungan tampaknya bebas dari para pemberontak. Pemukiman kongsi Lanfang di daerah pesisir seperti Sungai Pinyuh tetap tenang, meskipun beberapa orang pemuda dari tempat itu diisukan telah bergabung dalam pemberontakan. Para pejabat denan berani menyatakan bahwa banyak orang Tionghoa yang mendukung para pemberontak tersebut dikarenakan rasa takut, bukan karena bersimpati. Para pejabat kolonial seringkali mengulangi penjelasan ini, namun dalam kasus ini, mungkin intimidasi merupakan penyebab sesungguhnya.

Pada 26 Nopember 1884, pasukan kolonial memasuki Mandor tanpa menemui perlawanan dan menduduki kembali kantor pusat kongsi. Pemerintahan sipil melanjutkan kembali penyelidikan terhadap pembunuhan yang terjadi. Pada Desember sebagian pasukan kembali ke Jawa. Pada 11 Desember, benda-benda keagamaan kembali disingkirkan dari thang. Pada 5 Februari tahun berikutnya, 1885, bala bantuan dari Jawa kembali datang, sebagian besar diarahkan menuju ke Mandor. Satu detasemen juga menduduki kelenteng di kota Lanfang lainnya, Sungai Purun. Kater bersikukuh bahwa mereka ditempatkan di sana untuk mencegah penyelundupan dan untuk menenangkan penduduk di sepanjang pesisir.

AKHIR KISAH PANJANG
Lelah oleh perselisihan internal tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengangkat seorang pejabat militer yang berfungsi ganda sebagai komandan dan residen. Overste Haga Kepala Staf Umum menduduki jabatan tersebut pada pertengahan Maret 1885. kater yang hampir seluruh karirnya dihabiskan di Borneo Barat dan ditugaskan sebagai Residen sejak 1867, yang hanya diselangi oleh cuti mudik, akhirnya pensiun. Kater diberhentikan dengan hromat sebagai pegawai kolonial karena masa pengabdiannya sudah selesai. Penggantinya yang segera tiba adalah Overste Haga yang menjadi gubernur sipil dan militer. Vetter tetap bertugas di Borneo, namun bukan lagi sebagai komandan.

Perdamaian segera dicapai. Banyak pemberontak yang menyadari bahwa kehidupan di hutansangat tidak tertanggungkan, akhirnya menyerah. Lioe Pang Liong, seorang mantan juru tulis kongsi dan penggagas awal dari pemberontakan, tertangkap pada awal 1885. pemberontak yang bukan pimpinan diampuni ketika menyerah, sementara yang lainnya dipenjarakan atau dihukum mati. Bekas pemukiman-pemukiman pertanian kongsi Lanfang yang berada di lembah subur terbengkalai dan ditinggalkan. Namun pada April 1885, sebagian penduduk sudah kembali berdatangan untuk memanen tanaman mereka dan akhirnya membangun kembali rumah-rumah mereka. Pada Juni 1885, para informan memberikan kepada Belanda sebuah laporan terperinci mengenai suatu pertemuan penting untuk memulai pemberontakan, tidak hanya nama-nama dan jabatan orang-orang yang hadir, namun juga menjabarkan upacara pengukuhan itu sendiri. Secara keseluruhan, delapan pemberontak dihukum mati, empat orang di Mandor. Lioe Pang Liong dihukum mati pada Juni 1885 tersebut.

Pada September 1885, kekuasaan sipil sudah ditegakkan kembali, dan Letnan Kolonel vetter diangkat kembali sebagai komandan militer Borneo Barat, pasukan bantuan dipulangkan ke Jawa. Satu garnizun tentara yang terdiri dari 100 orang tetap berada di Mandor hingga Desember 1888. residen yang baru, Kroesen adalah seorang militer dengan pangkat mayor, namun dia bukanlah klomandan militer. Meski banyak pemberontak yang tertangkap, sebagian kecil kemungkinan menyingkir ke Sarawak, setidaknya satu orang pemberontak diekstradisi ke wilayah Belanda pada 1889.

Di Mandor, Belanda menyediakan dana untuk membangun sebuah kelenteng yang baru, membayar sebesar f3.000 kepada orang Tionghoa di Mandor sebagai ganti gedung kantor pusat lama yang akan dihancurkan dan menambahkan pembayaran sebesar 200 gulden untuk rumah penjaga di Kopiang yang mereka sita. Pemerintah membayar sejumlah total f3.278,75 untuk menutupi biaya pembangunan. Kelenteng yang baru tersebut akan menjadi tempat kediaman untuk menghormati patung-patung dan papan-papan sembahyang dari Kwan Ya (Mandarin: Guan Di), Lo Fong Pak dan Thay Pak Kong (toapekong, Mandarin: dabogong), dan juga semua papan dari para kapthai dari kongsi terdahulu. Pada Oktober 1885, semua benad-benda tersebut diarak dalam prosesi yang khidmat menuju kelenteng yang baru itu, dan sekitar tiga ratus orang Tionghoa, sangat sedikit sekali dibandingkan pada zaman kongsi dahulu, menghadiri sebuah hidangan perayaan di pasar. Pada malam harinya sebuah pertunjukan wayang dan perjudian, keduanya merupakan hiburan utama pada hari raya keagamaan, menggenapi perayaan tersebut.

Pada 12 Agustus 1885, empat pemimpin pemberontak dihukum mati di Mandor. Lioe Pang Liong meminta dengan sia-sia untuk berbicara kepada Kolonel Haga, meninggalkan sebuah pesan penghabisan: … sekarang karena saya harus matio, saya ingin menyatakan kepadanya [Haga] bahwa penyebabdari pemberontakan hanyalah akibat dari pembongkaran Kwan Ya dan Lo Thay Pak … Saya bukanlah musuh pemerintah, namun saya akan mati demi Kongsi Lanfang.

Di Pontianak, sebuah poster muncul dengan sebuah puisi Tionghoa yang menjanjikan pembalasan bagi Lanfang dalam waktu delapan belas tahun. Namun, 1903 berlalu tanpa terjadi sebuah peristiwa. Pada akhirnya, sebagai satu bentuk ucapan terima kasih, para opsir Tionghoa Mandor yang baru ditunjuk pemerintah mempersembahkan empat piringan emas bertulisan kepada empat pejabat penting kolonial di keresidenan. Haga dengan segera mengembalikan pemberian itu dengan catatan bahwa para penduduk yang sudah menderita harus memelihara kekayaan kecil yang telah mereka miliki. Sebuah tulisan terbaca, … Terima kasih atas kebajikan anda yang begitu besar sehingga tanah ini kembali tersatukan dan terikat bersama seperti seikat rumput. Anda telah melindungi para penduduk tanah ini, oleh karena itu kami mempersembahkan padamu piringan emas tipis ini, tanpa bermaksud menjadikannya sebagai imbalan atas kebaikanmu. Untuk Komandan Militer dan Sipil Borneo Barat. Dengan salam hormat, Kapitan Mandor [Lo Thong] atas nama seluruh penduduk …

Bekas wilayah kekuasaan kongsi Lanfang sekarang dibagikan kepada kesultanan pribumi Pontianak, Mempawah dan Landak. Kampung Baru, kemudian Siantan, menjadi bagian kota Pontianak, sementara pemukiman Pakoktin yang sebelumnya adalah bagian dari Mandor bergabung dengan kota Mempawah. Kampung Baru dan Pakoktin memiliki Letnan Tionghoa, karena keduanya adalah pemukiman yang cukup besar. Pakoktin tampaknya adalah nama lain dari Kuala Mempawah. Orang Tionghoa meskipun berada di bawah kekuasaan pemerintah secara langsung, juga diwajibkan membayar sejumlah pajak, terutama untuk penggunaan tanah, kepada para penguasa pribumi.

Perang kongsi akhirnya berakhir. Dari persekutuan etnis dan politik yang kompleks ini, sangatlah tiidak akurat untuk menggolongkan perselisihan yang disebut Perang Kongsi ini sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Bahkan beberapa orang dari kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kekuasaan kolonial, memohon damai atau meminta bantuan kepada Belanda. Namun demikian, tidak ada satupun kongsi yang sepenuh hati bersekutu dengan Belanda. Pembantu Residen van Prehn mengalami satu perselisihan yang menjijikkan dengan para anggota Samtiaokioe di Sambas pada 1851. lanfang memainkan taktik menunggu kesempatan dan barangkali telah memberikan kesempatan kepada sang pemberontak Liao Njie Liong untuk melarikan diri ke Sarawak. Bahkan Kapthai Lioe A Sin yang dianggap Belanda sebagai seorang pendukung yang terpercaya untuk kepentingan mereka, telah melakukan tindakan intrik melawan mereka.

Sementara itu, penduduk Lanfang yang diperkirakan sekitar 7.500 jiwa pada paruh pertama abad ke 19, pada akhir abad telah menurun menjadi 1.060 jiwa. Mandor sendiri sudah mulai lesu, menurut para saksi, bahkan jalan raya yang dibangun oleh Vetter dengan biaya sangat besar ternyata sejak 1900 tidak bisa lagi dipergunakan. Kapthai Lioe telah menghabiskan hampir semua kekayaannya selama Perang Monterado, menghabiskan f120.000 untuk mempersenjatai orangnya dan sejumlah besar dana lainnya dalam bentuk emas untuk mengembangkan pemukiman Tionghoa di Landak. Setelah penambangan turun, Lioe berupaya mengusahakan perkebunan, namun juga tidak berhasil, membuatnya penuh hutang. Bahwan kongsi Lanfang sudah pasti akan mati, sudah diperkirakan orang jauh hari sebelum Kapthai Lioe wafat. Pada akhirnya Lanfang harus pergi, karena bangkrut.

Lanfang tak lagi bisa memperoleh pendapatan yang mencukupi dari pertambangan untuk menutupi pengeluarannya. Lioe A Sin menjaga agar perkumpulan tetap berjalan dengan cara menyuntik dana dari sakunya sendiri, dana yang diperolehnya mungkin dari pacht candu. Setelah pendapatan dari penjualan candu menurun drastis pada 1850, Lanfang tidak pernah dapat dipulihkan, begitu pula Lioe.

Lanfang terlihat memiliki satu pimpinan pusat yang kuat sejak awal pendiriannya dan juga setelah 1823. kemudian hubungan dengan Belanda mengubah peran dari kapthai, memingkatkan kewenangannya menjadi kepala kongsi. Lanfang juga terlihat kurang demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lainnya, karena kurang sering melakukan pemilihan. Jika Monterado secara rutin memilih ketuanya yang hanya menduduki jabatan selama 4 bulan, Lanfang memiliki institusi yang lebih otokrasi. Pada 1851, van Prehn mencatat bahwa kapthai mengijinkan buku diperiksa oleh dewan sesepuh sekali atau dua kali pertahun, selebihnya dia bebas dari pengawasan. Para pejabat Lanfang dipilih secara permanen dan hanya diganti atas permohonan mereka sendiri atau karena berperilaku buruk.

Perbedaan organisasi memungkinannya lebih cepat dan lebih bertahan lama berhubungan dengan Belanda, yang sebagai imbalannya memperkuat otokrasi Lanfang. Pemimpin Lanfang menjabat seumur hidupnya atau hingga dia mengundurkan diri atau meninggalkan wilayah. Sebagai akibatnya, Belanda dapat memastikan orang yang menjabat dan memiliki jaminan, dalam masa normal, bahwa mereka dapat berhubungan dengannya bertahun-tahun. Kapthai adalah orang yang mewakili kongsi berhadapan dengan pemerintah. Dia bertanggung jawab kepada kongsi, dan dalam saat yang bersamaan, juga dapat berharap atas dukungan pemerintah, sebagaimana dilakukan oleh Lioe A Sin. Dia tidak perlu berkonsultasi dengan para penduduk.

Di samping itu, dia tergantung pada Belanda dan juga mewakili Belanda. Ketergantungan ini semakin nyata setelah 1857, pada saat Belanda mengakui keberadaan Lanfang dan Lioe sebagai kepalanya. Model terdahulu yaitu model republik yang ketat dari pemerintahan kongsi di mana kapthai hanya memiliki kewenangan yang sangat sedikit dan harus berkonsultasi dengan para ketua pada semua persoalan, telah digantikan dengan model yang menjadikan kapthai sebagai wakil tunggal dari kongsi dalam berhadapan dengan pemerintah. Sebuah model yang membuat Lanfang tidak lagi menjadi sebuah republik, namun lebih menjadi sebuah monarki, dengan kekuasaan yang bersifat paternalisme otokrasi. Lioe terkadang berkonsultasi dengan para ketua, namun tidak pernah, sejauh diketahui, berkonsultasi dengan seluruh pekerja penambangan apalagi dengan penduduk dewasa lainnya. Sebuah pertemuan umum seperti yang diselenggarakan di Thaikong dalam 1852-1853 seakan tidak pernah terpikirkan di Lanfang.

Lama kelamaan, kongsi dapat dikatakan sebagai milik Lioe pribadi. Nama kongsi tetap hidup, namun dalam kenyataannya administrasi kongsi saat ini tidak lebih hanya sebagai pelayan sang kapthai belaka, dan Lioe menjadi seperti penguasa pribumi yang kekuasaannya hanya dibatasi oleh kekuasaan kolonioal saja. Kejatuhan kongsi sepanjang periode yang disebutkan di sini, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pemakaian hasil sumber daya mereka untuk kebutuhan kongsi dan juga akibat tekanan dari para pejabat Hindia Timur Belanda. Sangat aneh, jika Belanda menyesal atas kerugian ini. Bagi Batavia, organisasi yang kuat ini yang mempraktekkan begitu banyak fungsi negara modern, sangat jauh berbeda dengan kerajaan lokal. Mereka adalah pesaing bagi negara kolonial itu sendiri. Kongsi harus lenyap, karena hanya ada satu negara, yaitu negara kolonial, yang boleh ada di Hindia Belanda.

Orang belanda akhirnya menyaksikan akhir dari kongsi …

*) Penulis adalah peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber (koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar