Minggu, 28 Desember 2008

KONGSI LANFANG: REPUBLIK SELINGKUH TIONGHOA—BELANDA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

KONGSI TIKO JENGUT
Sebuah naskah berbahasa Tionghoa yang berasal dari abad ke 19 terkait erat dengan sejarah pembentukan Kongsi Lanfang di Mandor. Pendirinya, Lo Fong Pak (Mandarin: Luo Fangbo) yang sebelumnya bergabung dengan Lanfanghui, kongsi pertanian yang pernah bentrok dengan Monterado, datang bersama para pengikutnyanya di Borneo pada 1771 dari Meixian, yang ketika itu dikenal dengan nama Jiayingzhou, di Guangdong. Jurnal kongsi menyebutkan 100 keluarga, tetapi barangkali para imigran tersebut adalah laki-laki bujang. Pada 1772, setahun sesudah pembentukan Fosjoen, Lo Fong Pak mendirikan sebuah kongsi pertambangan yang baru di Mandor, di wilayah Panembahan Mempawah, tidak jauh dari Sungai Kapuas. Penggunaan nama Lanfang oleh Lo adalah untuk mengasosiasikan dirinya dan kelompoknya dengan usaha pertanian Lanfang yang terkalahkan dekat Monterado. Sejarah Lanfang yang diterjemahkan de Groot memberikan kesan bahwa Lo Fong Pak datang langsung dari Tiongkok ke Pontianak, namun Schaank meragukan versi ini. Menurut dia Lo tiba 1772 dan mendirikan kongsi lima tahun kemudian.

Lanfang didirikan pada masa yang tidak lama setelah kelahiran Kota Pontianak 1771. menurut sumber-sumber kearsipan, pertumbuhan awal dari kongsi ini terkait dangat erat dengan kegiatan kesultanan yang baru, dan Abdurrahman pendiri Pontianak segera menyatakan kekuasaannya atas wilayah kongsi yang pada awalnya sebenarnya merupakan bagian dari kekuasaan Mempawah. Pada 1787, keseluruhan wilayah Mandor seutuhnya jatuh di bawah kekuasaan Pontianak. Sepanjang masa tersebut, seorang perwakilan Belanda sudah ditempatkan di Pontianak. Sengketa mencakup perselisihan antara Sambas dan Mempawah, dan intervensi Pontianak, dikarenakan Mempawah tidak sanggup melunasi sejumlah utang kepadanya, Sultan Abdurrahman dapat mengangkat putranya ke atas singgasana Mempawah, namun kemudian garis kekuasaan Mempawah dipulihkan lagi oleh Belanda.

Kini Lanfang menjalin hubungan ekonomi dengan kota Pontianak. Para pekerja Tionghoa yang datang ke pertambangan masuk melalui pelabuhan Pontianak, selain Mempawah, dan sultan mengambil keuntungan atas kedatangan dan kepergian mereka. Kampung Baru, di seberang sungai dari istana sultan, berkembang sebagai pemukiman yang berada di bawah kongsi. Bagaimanapun, Lanfang yang bertahan sebagai kongsi hingga 1884, tidak pernah sekuat Thaikong.

Versi lain dari pendirian Lanfang berasal dari sumber berbahasa Melayu yang menyebutkan bahwa dalam 1788 sebuah perkumpulan dari kongsi-kongsi kecil lahir di daerah Mandor dan Tiko Jengut, nama alias dari sang pendiri Lo Fong Pak yang menyatukan organisasi-organisasi tersebut membentuk Kongsi Lanfang yang dia pimpin secara berturut-turut hingga 1795. tiko berasal dari kata dage, saudara tua, dalam hal ini boss dari suatu kongsi atau perkumpulan rahasia, dan jengut adalah bahasa Melayu dari janggut. Lukisan Lo Fong Pak terdapat di kelenteng Sungai Purun, tentu saja menggambarkan seorang laki-laki dengan janggut lebat. Ketua Lo mengusir kongsi-kongsi yang lebih lemah ke Karangan, sehingga hanya ada Lanfang di Mandor. Dari tempat ini Kongsi Lanfang memperluas wilayahnya hingga ke Landak pada abad ke 19.

Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengalir ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis, dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18. terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana, dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. Burn berpikir bahwa di tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.

Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas, namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter Sultan Pontianak yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali terslut pada 1840-an.

Pengharapan yang salah dari pihak Belanda merupakan salah satu sumber pertikaian, namun terdapat persoalan-persoalan lain pada batas-batas wilayah orang Borneo. Sejak dekade awal abad ke 19, pertambangan seringkali mengalami masalah dan persmusuhan seringkali terjadi. Di antara 21 konflik paling besar yang terjadi di Borneo Barat antara 1770 sampai 1854, hanya 6 peristiwa yang merupakan perang terbuka antara para penambang Tionghoa melawan pemerintah kolonial, dari 15 peristiwa lainnya, 6 peristiwa adalah pertikaian di antara kongsi-kongsi itu sendiri, sedangkan sisanya adalah antara kongsi dengan penduduk setempat. Di sisi lain, sebuah sumber pada masa itu menekankan bahwa orang Tionghoa di Monterado telah menentang pemerintah klolonial dalam delapan kejadian sebelum 1850. memang, banyak pertikaian lainnya yang tidak tercatat.

Barangkali, terkurasnya kandungan emas di wilayah mereka merupakan penyebab utama dari pertikaian antar kongsi. Atmosfir kekerasan yang merebak karena ketiadaan pemerintahan yang kuat tidak berbeda halnya seperti keadaan di berbagai tempat di sebelah tenggara daratan Tiongkok, saat kelahiran antar marga dan antar kampung (Mandarin: xiedou) sudah menjadi hal biasa pada abad ke 19. selain itu, meskipun bberapa konflik juga disebabkan perbedaan daerah asal dari para penambang tersebut di Tiongkok dan persaingan yang terbangun oleh perbedaan etnis atau perbedaan wilayah geografi, ternyata lawan yang paling keras bersaing, para penambang dari Samtiakioe dan dari Thaikong, keduanya sama-sama berasal dari wilayah yang disebut panshanhok. Orang Thaikong yang menyerang Samtiaokioe pada 1850 ternyata berasal dari suku yang sama dengan orang yang diserang. Terlihat bahwa permasalahan mendasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan sumber daya, lokasi emas dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka. Seperti dicatat secara pesimis oleh Komisioner Tobias di awal 1822, Thaikong sebagai tulang punggung Fasjoen hanya tinggal memiliki empat tambang besar saja.

Semakin sedikit jung bermuatan pendatang sebagai pekerja tambang yang datang ke Borneo menyebabkan penurunan jumlah penduduk dan emas yang dihasilkan tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para penambang yang masih ada, khususnya di Mandor dan sebagian wilayah Monterado. Monterado terlihat sudah kehilangan para penambangnya dan menghasilkan terlalu sedikit emas untuk mencukupi pembayaran sisa penambangnya. Pada 1831, Mandor sudah mendapat sedikit keuntungan. Namun, tambang di Lara dan Lumar memiliki emas berkualitas tinggi dan menghasilkan keuntungan yang layak, seperti juga penambangan di Sepang, Seminis dan Buduk, kedua tambang dari yang pertama disebut milik Samtiaokioe. Mereka diperkirakan menghailkan f2.500.000 pertahun, dalam satu perhitungan. Satu-satunya alternatif bagi kongsi adalah memperluas wilayah mereka, namun alternatif ini mengakibatkan ketegangan dengan kongsi-kongsi lainnya atau dengan orang Dayak dan Melayu yang mengerjakan lokas-lokasi tambang yang lebih jauh di pedalaman.

Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, juga menghadapi penurunan produksi emas pada 1830-an, apalagi para penambang lain sudah memasuki wilayah mereka untuk mencari emas. Pada 1842, saat bersamaan dengan perselisihan antara Thaikong dan Lara, orang Kongsi Lanfang beruaya untuk masuk ke Landak, terutama ke daerah Perigi, tapi Panembahan Landak mengorganisasikan perlawanan orang Melayu dan Dayak. Karena lokasi pertambangan Landak begitu menjanjikan, maka para penambang dari Lanfang maupun tempat-tempat lain selalu mencoba untuk menyusup ke wilayah tersebut. Pertempuran mulai terjadi lagi pada 1846, namun Sultan Pontianak dapat memperundingkan pemecahannya.

Pemerintah kolonial menganggap keberadaan pemukim orang Tionghoa di Landak sangat merusak bagi kesjahteraan suku Dayak dan mendukung panembahan utnuk menghalangi pemukiman Tionghoa di wilayahnyarancangan tak bertanda tangan, kelihatannya sebuah pembenaran kebijakannya oleh bekas Residen Willer. Willer dibuat berang oleh perlakuan orang Tionghoa terhadap orang Dayak. Kekacauan selalu menjadi alasan untuk campur tangan. Hubungan Belanda dengan Landak sering berada dalam ketegangan, namun penguasa biasanya mendukung upayanya untuk menghindari pemukiman orang Tionghoa atau untuk membatasinya ke ibukota Ngabang. Baru pada 1851 kepala Kongsi Lanfang dapat mendapatkan ijin penguasa Landak bagi orang Tionghoa untuk membuka beberapa pertambangan dan untuk menetap di ibukota Landak, Ngabang. Pemerintah Belanda sekarang mulai melakukan penggarapan wilayah secara sistematis dan memutuskan untuk berhubungan lebih tegas dengan kongsi-kongsi orang Tionghoa maupun dengan para penduduk pribumi yang belum tunduk.

Setelah bertahun-tahun mempraktekkan kebijakan penanaman uang dan pasukan yang sekecil mungkin saja di Borneo Barat, pada 1849, Gubernur Jenderal JJ Rochussen (1846-1851) menerapkan satu kebijakan untuk lebih jauh ikut campur. Pada tahun berikut, ia membagi Borneo menjadi dua keresidenan, Borneo Barat dan Borneo Bagian Selatan dan Timur, suatu pembagian wilayah administrasi yang bertahan hingga menjelang berakhirnya masa kolonial. Pada Februari 1850, residen baru, TJ Willer tiba di Borneo Barat. Willer sebnelumnya bertugas di antar orang Batak Mandailing di Sumatera. Pada 1850, Pembantu Residen RC van Prehn ditugaskan di Sambas. Namun, pemerintah kolonial Belanda ibarat singa ompong, pada pertengahan abad ke 19, keseluruhan pasukan yang ditempatkan di Sambas dan Pontianak tidak lebih dari 200 tentara, kebanyakan tidak siap tempur. Pasukan cadangan tidak tersedia, dan Belanda tidak yakin apakah para penguasa setempat yang menyatakan diri sebagai sekutu mereka, akan memberikan dukungan dalam peperangan melawan kongsi-kongsi.

LANFANG SEBUAH RIWAYAT SELINGKUH
Satu kongsi besar, bukan yang terbesar dan tentu saja bukan yang paling demokratis bertahan hidup. Orang Tionghoa Mandor dari kongsi Lanfang telah membuat perdamaian dengan Belanda pada 1823, hubungan tersebut tetap bertahan meskipun Mandor tidaklah benar-benar bersikap netral pada masa Belanda berperang untuk mengalahkan Thaikong. Pada masa ketika kongsi didirikan pada 1777, jalur transportasi ke Mandor mengikuti Sungai Peniti melalui wilayah Mempawah, sebuah jalan setapak menghubungkan sungai itu dengan Mandor. Ketika Pontianak berkembang semakin penting, Laanfang menjadi semakin tergantung pada pelabuhan tersebut, dengan mempergunakan Sungai Terap dan Landak dan Sungai Kapuas dalam kebanyakan kegiatan perhubungannya. Para kuli baru mendarat di Pontianak atau menaiki jung-jung Tionghoa yang berlabuh di sana untuk berangkat kembali ke Tiongkok. Kongsi ini juga segera menjalin hubungan dengan kesultanan yang baru berdiri tersebut. Baru pada 1787 pusat wilayah Mandor diakui oleh Belanda sebagai bagian dari Pontianak, bukan Mempawah, namun demikian hal ini tidak menjadi halangan bagi hubungan-hubungan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa orang Tionghoa dari Kongsi Lanfang masih berdiam di wilayah Mempawah.

Ketika Mandor menjadi lebih terintegrasi dengan Pontianak, namun kurang berhubungan dengan Mempawah, Mandor juga menjalin hubungan dengan pemukiman-pemukiman pesisir yang berada di bawah naungan kongsi. Kebijakan kongsi tersebut yang saling memahami dengan Belanda atau nampak berbuat demikian, secara signifikan memungkinkan kongsi Lanfang tetap bertahan selama tiga dekade setelah kekuasaan kolonial menyapu bersih semua organisasi lain yang sejenisnya, atau kongsi-kongsi itu telah mati karena sebab-sebab lainnya.

Setelah mengalami beberapa perselisihan awal, kongsi Lanfang dan pemerintah kolonial menjalin suatu hubungan khusus (baca: perselingkuhan!). kepala kongsi disebut sebagai kapthai, menggantikan pangkat yang biasa dipergunakan bagi kepala kongsi yaitu tiko atau thaiko (Mandarin: dage, saudara tua atau boss). Pemerintah kolonial menyatakan memiliki hak untuk mengesahkan pilihan kongsi terhadap jabatan ini, sebuah sistem yang gagal mereka terapkan pada Thaikong tiga puluh tahun kemudian. Pada 1824, residen Pontianak bahkan menyetujui pemberian pinjaman sebesar f20.000 bagi Lanfang untuk memperluas pertambangannya.

Secara administratif, Kampung Baru, terletak di seberang Sungai Kapuas dari Pontianak, seperti juga kota-kota kongsi lainnya, merupakan bagian dari kongsi Mandor. Orang Hakka yang tinggal di sana, merayakan hari raya peringatan kongsi, terutama peringatan terhadap sang pendiri Lo Fong Pak. Kongsi Lanfang juga memiliki pangkalan di Kota Pontianak, di pasar di mana didirikan sebuah aula, Lanfang Futhang (Mandarin: futing, aula tambahan), mungkin pada awal 1820. pada 1851, dikarenakan pergolakan dengan Thaikong dan karena kecurigaan pemerintah kolonial terhadap segala sesuatu yang terlihat seperti suatu perkumpulan rahasia, semua perayaan publik tersebut dilarang. Pada 1856 toapekong dipindahkan dari gedung itu. Pada 1859 perayaan-perayaan kembali diselenggarakan di aula ini, yang diperbarui berkat inisiatif dari Kapthai Lioe A Sin dan kawan sekolah serta ipar laki-lakinya, Then Sioe Lin, kapitan orang Hakka di Pontianak daro 1853 sampai 1877. Pada masa itu, terdapat kapitan untuk kelompok-kelompok bahasa utama di Pontianak. Beberapa sumber menyebut Then Sioe Lin sebagai ayah mertua dari Lioe, namun kebanyakan menyatakan sebagai kakak ipar.

Setelah pembubaran bebrbagai kongsi lainnya 1854, hari-hari terakhir Lanfang sudah dapat dihitung, meskipun pemerintah masih menganggap Kapthai Lioe sebagai seorang sekutu terpercaya. Lioe adalah, salah satunya, seorang pengelola pacht candu baik untuk kongsinya maupun untuk sebagian wilayah Borneo Barat, bersama dengan Kapitan Then Sioe Lin, dan keduanya pada 1853 juga ikut serta sebagai salah satu pachter candu di bekas wilayah kongsi di Monterado.

Pada 1857, pemerintah kolonial mulai membatasi kemerdekaan kongsi, meskipun mereka tidak lagi berupaya menghabisinya seperti yang mereka lakukan terhadap Thaikong. Mereka menarik kembali pacht candu milik Lanfang, memberlakukan kembali pajak kepala atas semua laki-laki dewasa, memastikan bahwa semua anggota kongsi wajib membayar pajak tertentu kepada para penguasa Melayu dan sekali lagi melarang kongsi memperkuat pengaruhnya atas orang Dayak. Beberapa bulan kemudian, anggota kongsi yang kecewa mengobarkan sebuah pemberontakan melawan Kapthai Lioe. Orang yang kecewa ini membentuk sebuah perkumpulan rahasia, bersekongkol untuk menyingkirkannya, namun Lioe tetap berkuasa, memindahkan hampir semua pemberontak yang tertangkap ke tangan pemerintah kolonial. Lioe mengirim tiga puluh tiga orang yang diduga sebagai konspirator ke tangan Belanda dan menyatakan bahwa dua orang lainnya telah dibunuh. Tidak jelas, apakah para konspirator tadi melakukan protes menentang kerja sama yang dilakukan Lioe dengan Belanda atau menentangnya sebagai pemimpin. Penduduk Lanfang nyatanya memang membayar pajak lebih kecil jika mereka pindah ke wilayah Belanda, sebagaimana banyak dilakukan orang. Hal ini meyakinkan Belanda bahwa Lioe tidak boleh dilepaskan.

Pada 1874, orang Tionghoa Lanfang yang bertempat tinggal di wilayah Mempawah membentuk sebuah perkumpulan untuk melawan pembayaran pajak kepada penguasa setempat, namun persoalan ini berakhir ketika Kapthai Lioe turun tangan. Dua tahun kemudian, Lioe mengundurkan diri demi puteranya, Lioe Liong Kwon memegang jabatan, namun pada 1880 putranya tersebut meninggal dunia dan sang ayah kembali memangku jabatan kepemimpinan atas kongsi yang sekarang ini secara keuangan sudah bangkrut. Lokasi-lokasi penambangan emas sudah terkuras persediaan emasnya, banyak orang Tionghoa yang telah beralih menjadi petani atau pedagang atau berpindah tempat tinggal. Lioe dalam kondisi kesehatan yang kurang bagus, menjaga kongsi tetap berlayar dengan sebagian memakai uang dari sakunya sendiri. Pada 1873, sang kapthai sudah terjerat hutang kepada seorang Melayu pemberi pinjaman uang, sehingga dia kehilangan kekuasaan atas pacht candu di Borneo Barat dan harus bergabung dalam kemitraan dengan pemberi hutangnya itu. Tiga tahun kemudian, pemerintah menawarkan Lioe sejumlah pinjaman tanpa bunga sebesar f100.000 untuk membangkitkan Lanfang. Penuturan dalam de Waal, pada Koloniaal Verslag (1876), menyebutkan bahwa pinjaman tersebut ditolak (onze Indische financien).

Turunnya jumlah penduduk mencerminkan kondisi material yang ada. Mandor memiliki lebih dari 4000 penghuni pada akhir 1860-an. Pada 1871, hanya dua puluh tujuh penambang yang bekerja bagi kongsi, dari sekitar dua ribu orang laki-laki dewasa, sementara hampir enam ratus orang sebagai petani. Dua belas tahun kemudian, pada 1883, Lioe menghitung 2.725 laki-laki dewasa tersebar di seluruh wilayah kongsi, sekitar 1.200 dari jumlah tersebut membayar pajak kepala. Pemukiman kongsi pesisir di Sungai Pinyuh sudah menjadi lebih padat penduduknya dibandingkan dengan kota Mandor. Anehnya, sebuah sumber berbahasa Belanda, mengabaikan kondisi keuangan kongsi, menyatakan bahwa Mandor selalu dikenal sebagai satu-satunya daerah yang tertata secara baik di seluruh keresidenan, membandingkannya dengan daerah-daerah kerajaan Melayu. Kongsi mungkin saja memiliki administrasi yang lebih baik dari kerajaan-kerajaan pribumi, namun demikian kongsi hampir menjelang ajalnya.

Pada 1880, Lioe secara resmi menyetujui pembubaran kongsi jika dia menemui ajalnya, sebuah jalan keluar yang diharapkan para pejabat kolonial sejak penghapusan Thaikong. Sebuah Peraturan pemerintah (besluit) 3 Agustus 1889 Nomor 14 memastikan pengaturan ini. Wilayah di mana orang Lanfang bertempat tinggal, bertani dan bertambang akan dikembalikan kepada penguasa pribumi di Mempawah, Pontianak dan Landak. Para penduduk Tionghoa, seperti orang Tionghoa lainnya di propinsi ini, akan diperintah secara langsung Belanda atau oleh pejabat yang ditunjuk Belanda.

Para pejabat Belanda, Tionghoa dan Melayu bahkan para tamu dari Jawa hadir dalam pesta ulang tahun Kapthai Lioe yang ke tujuh puluh satu pada Desember 1883. kurang dari satu tahun kemudian, pada 22 September 1884, dia wafat di kediamannya di aula Lo Fong Pak di Pontianak. Lioe lahir 1812 di Jiayongzhou . meski terdapat fakta bahwa dia memiliki riwayat kesehatan yang buruk, namun kematiannya merupakan hal yang tak terduga. Di Mandor timbul gosip bahwa dia diracun atau meracuni dirinya sendiri karena putus asa mengenai keadaan kongsi, namun kematiannya terlihat dikarenakan faktor alamiah.

Residen Cornelis Kater, seorang dengan pengalaman lebih dari tiga dekade di Borneo, mengantar jenasahnya ke Mandor untuk memberikannya pemakaman dengan upacara kehormatan pada 1 Oktober, menunjukkan penghormatannya bagi Lioe, meskipun peti mati Lioe tidak disemayamkan di kantor pusat kongsi sebagaimana layaknya seorang ketua dalam pandangan kaum Tionghoa. Dengan menolak permohonan dari janda kapthai dan para pemuka orang Tionghoa di kota tersebut agar putra Lioe, En Kwon, yang pada waktu itu masih di bawah umur, diangkat menjadi kapthai yang baru, Kater bersikukuh bahwa kongsi sudah tidak ada lagi berdasarkan perjanjian 1880. semua benda yang berhubungan dengan Lanfang termasuk papan roh dari sang pendiri Lo Fong Pak harus disingkirkan dari kantor pusat atau thang.

Kater mengangkat seorang controleur dengan sejumlah polisi pribumi di kantor pusat kongsi, kelompok ini menjadi pemerintahan kolonial di Mandor. Pemerintah juga mengangkat sejumlah opsir Tionghoa untuk mengawasi bekas wilayah Lanfang, banyak dari mereka adalah bekas pegawai kongsi. Papan Lo Fong Pak dan arca sang pelindung kongsi Guan Di disemayamkan, setelah melalui upacara basa-basi, di perumahan sementara pada 6 Oktober, simbol-simbol kongsi lainnya disita. Dua hari kemudian, Residen Kater dengan meninggalkan sejumlah uang untuk membangun kelenteng yang baru sebagai tempat kediaman arca-arca keagamaan, kembali ke Pontianak. Sementara itu, para penduduk kota memberi penghormatan bagi para dewa di rumah sementaranya tersebut

Kater mungkin telah berpikir bahwa dia telah dapat mengatasi situasi tersebut secara cepat dan murah hati, namun hal ini dikarenakan dia tidak sepenuhnya memahami peranan signifikan dari ritual keagamaan dalam urusan kongsi. Dia mengabaikan kualitas gaib dari balai tersebut, dia menganggapnya semata-mata hanya sebagai tempat kediaman mendiang kapthai dan gedung administrasi belaka. Menempatkan seorang controleur ke dalam gedung tersebut dan memindahkan para dewa dipandang oleh para penduduk Lanfang sebagai tindakan penodaan agama, namun Kater yakin bahwa dia telah memaklumatkan supremasi politik Negara Belanda melalui tindakan tersebut. Walalupun sudah mempunyai pengalaman yang lama di pesisir barat, Kater bergabung dengan jajaran para pejabat kolonial yang tidak memahami adat istiadat orang Tionghoa, sehingga menyebabkan bencana. Tidak mengejutkan, sebuah pemberontakan segera saja terjadi.

PEMBERONTAKAN “PERANG KONGSI”
Tanpa peringatan terlebih dahulu, di pagi hari 23 Oktober, segerombolan orang Tionghoa yang menyatakan diri mereka sebagai perwakilan dari kongsi yang tidak lagi berfungsi muncul di pasar Mandor, menyusup ke dalam bekas kantor pusat kongsi tersebut dan membunuh sang controleur dan tiga polisi. Mereka memasang kembali arca dari Guan Di dan papan Lo Fong Pak. Pemberontakan kemudian menyebar, dan kabar beritanya segera sampai ke Pontianak. Pada 3 Nopember 1884, sekitar 150-200 orang penyerang Tionghoa dipikul mundur dari bengkayang. Bengkayang merupakan lokasi strategis dalam jalur menuju Sarawak.

Beberapa orang Tionghoa dari kota-kota pesisir dengan diam-diam mengirimkan keluarga mereka ke Sarawak dan Singapura dan para penduduk Monterado mengungsi, Pontianak hampir dilanda kepanikan. Isu yang beredar bahwa perkumpulan rahasia yang menyeramkan Sam Tiam Fui (Mandarin: Sandianhui, yang berkait dengan Perkumpulan Langit dan Bumi, Tiandihui) berada di balik pemberontakan ini. Kater khawatir bahwa seluruh wilayah Distrik Tionghoa, yang merupakan sebutan bagi daerah yang dulunya wilayah Monterado, akan bangkit melawan orang Eropa.

Para pemberontak dipimpin Liong Lioe Njioe (atau Ngie), mungkin nama tersebut berarti Lioe si Naga Kedua, mengacu pada sang pemimpin pemberontak Thaikong Liao Njie Liong, yang kata orang sudah kembali dari Sarawak. Tentu saja, seorang tua dengan janggut putih tampak terlihat di Mandor. Sesungguhnya, yang menjadi pemimpin pemberontak adalah Lioe Pang Liong, seorang bekas juru tulis di kongsi Lanfang, nama itu sendiri dapat membingungkan karena bersesuaian dengan nama alias dari pemberontak tiga puluh tahun sebelumnya. Sementara itu, para pemberontak yang mempergunakan cap kelompok Ngee Hin (Mandarin: Yixing), sebuah persaudaraan yang berpengaruh di Singapura, memblokade jalur sungai dari Mandor ke Pontianak.

Sebuah perayaan tradisi orang Tionghoa di Pontianak pada 25-30 Desember hampir dilarang oleh penguasa, yang takut timbulnya keributan. Dalam kenyataannya, perayaan ini berlangsung tenang. Perayaan tersebut disebut tjatjau atau tatjau, mungkin itu sebuah perayaan kelenteng atau yang disebut juga ulang tahun dewa pelindungnya. Ijin dibutuhkan karena Residen Kater melarang penyalaan petasan, wayang dan perjudian terbuka sejak Oktober, ketika kericuhan pecah di Mandor. Pemakaian cap persaudaraan Ngee Hin menimbulkan dugaan para pemberontak memiliki kontak dengan Singapura, namun seorang informan kemudian memberitahu Belanda bahwa simbol-simbol Ngee Hin yang dipergunakan adalah tipuan belaka.

Residen Kater mengirim kawat ke Batavia, melalui Singapura karena tidak ada jalur langsung, untuk meminta bala bantuan pasukan dari Jawa. Pada 7 Nopember, dua kompi tentara tiba dari Jawa, akan tetapi pasukan ini dibutuhkan untuk mengamankan pemukiman Tionghoa di pedalaman seperti Monterado dan Bengkayang, sehingga Kate4r meminta tambahan sejumlah dua ratus orang pasukan. Pada 11 Nopember, beberapa ratus pemberontak kembali menyerang Bengkayang dengan menderita kerugian yang sangat besar. Pada akhirnya pasukan Belanda dapat membersihkan daerah Bengkayang dari para pemberontak, yang juga meninggalkan wilayah Monterado dan tak pernah kembali lagi. Orang Tionghoa Monterado sendiri tidak pernah turut serta dalam pemberontakan ini.

Pusat daerah permusuhan sekarang berpindah ke daerah perbatasan antara bekas wilayah Thaikong dan Lanfang, di sepanjang Sungai Mempawah. Pada awal Nopember, para pemberontak menguasai Mentidung dan membentengi Air Mati, memblokade jalur masuk ke Mandor dari arah Mempawah. Pada akhir Nopember, para tentara mendapati mentidung sudah ditinggalkan dan mereka kembali mendudukinya, dibantu oleh pasukan tambahan yang disediakan oleh Panembahan Mempawah dan oleh duku Dayak Sanking dan Sembaya. Anjungan tampaknya bebas dari para pemberontak. Pemukiman kongsi Lanfang di daerah pesisir seperti Sungai Pinyuh tetap tenang, meskipun beberapa orang pemuda dari tempat itu diisukan telah bergabung dalam pemberontakan. Para pejabat denan berani menyatakan bahwa banyak orang Tionghoa yang mendukung para pemberontak tersebut dikarenakan rasa takut, bukan karena bersimpati. Para pejabat kolonial seringkali mengulangi penjelasan ini, namun dalam kasus ini, mungkin intimidasi merupakan penyebab sesungguhnya.

Pada 26 Nopember 1884, pasukan kolonial memasuki Mandor tanpa menemui perlawanan dan menduduki kembali kantor pusat kongsi. Pemerintahan sipil melanjutkan kembali penyelidikan terhadap pembunuhan yang terjadi. Pada Desember sebagian pasukan kembali ke Jawa. Pada 11 Desember, benda-benda keagamaan kembali disingkirkan dari thang. Pada 5 Februari tahun berikutnya, 1885, bala bantuan dari Jawa kembali datang, sebagian besar diarahkan menuju ke Mandor. Satu detasemen juga menduduki kelenteng di kota Lanfang lainnya, Sungai Purun. Kater bersikukuh bahwa mereka ditempatkan di sana untuk mencegah penyelundupan dan untuk menenangkan penduduk di sepanjang pesisir.

AKHIR KISAH PANJANG
Lelah oleh perselisihan internal tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengangkat seorang pejabat militer yang berfungsi ganda sebagai komandan dan residen. Overste Haga Kepala Staf Umum menduduki jabatan tersebut pada pertengahan Maret 1885. kater yang hampir seluruh karirnya dihabiskan di Borneo Barat dan ditugaskan sebagai Residen sejak 1867, yang hanya diselangi oleh cuti mudik, akhirnya pensiun. Kater diberhentikan dengan hromat sebagai pegawai kolonial karena masa pengabdiannya sudah selesai. Penggantinya yang segera tiba adalah Overste Haga yang menjadi gubernur sipil dan militer. Vetter tetap bertugas di Borneo, namun bukan lagi sebagai komandan.

Perdamaian segera dicapai. Banyak pemberontak yang menyadari bahwa kehidupan di hutansangat tidak tertanggungkan, akhirnya menyerah. Lioe Pang Liong, seorang mantan juru tulis kongsi dan penggagas awal dari pemberontakan, tertangkap pada awal 1885. pemberontak yang bukan pimpinan diampuni ketika menyerah, sementara yang lainnya dipenjarakan atau dihukum mati. Bekas pemukiman-pemukiman pertanian kongsi Lanfang yang berada di lembah subur terbengkalai dan ditinggalkan. Namun pada April 1885, sebagian penduduk sudah kembali berdatangan untuk memanen tanaman mereka dan akhirnya membangun kembali rumah-rumah mereka. Pada Juni 1885, para informan memberikan kepada Belanda sebuah laporan terperinci mengenai suatu pertemuan penting untuk memulai pemberontakan, tidak hanya nama-nama dan jabatan orang-orang yang hadir, namun juga menjabarkan upacara pengukuhan itu sendiri. Secara keseluruhan, delapan pemberontak dihukum mati, empat orang di Mandor. Lioe Pang Liong dihukum mati pada Juni 1885 tersebut.

Pada September 1885, kekuasaan sipil sudah ditegakkan kembali, dan Letnan Kolonel vetter diangkat kembali sebagai komandan militer Borneo Barat, pasukan bantuan dipulangkan ke Jawa. Satu garnizun tentara yang terdiri dari 100 orang tetap berada di Mandor hingga Desember 1888. residen yang baru, Kroesen adalah seorang militer dengan pangkat mayor, namun dia bukanlah klomandan militer. Meski banyak pemberontak yang tertangkap, sebagian kecil kemungkinan menyingkir ke Sarawak, setidaknya satu orang pemberontak diekstradisi ke wilayah Belanda pada 1889.

Di Mandor, Belanda menyediakan dana untuk membangun sebuah kelenteng yang baru, membayar sebesar f3.000 kepada orang Tionghoa di Mandor sebagai ganti gedung kantor pusat lama yang akan dihancurkan dan menambahkan pembayaran sebesar 200 gulden untuk rumah penjaga di Kopiang yang mereka sita. Pemerintah membayar sejumlah total f3.278,75 untuk menutupi biaya pembangunan. Kelenteng yang baru tersebut akan menjadi tempat kediaman untuk menghormati patung-patung dan papan-papan sembahyang dari Kwan Ya (Mandarin: Guan Di), Lo Fong Pak dan Thay Pak Kong (toapekong, Mandarin: dabogong), dan juga semua papan dari para kapthai dari kongsi terdahulu. Pada Oktober 1885, semua benad-benda tersebut diarak dalam prosesi yang khidmat menuju kelenteng yang baru itu, dan sekitar tiga ratus orang Tionghoa, sangat sedikit sekali dibandingkan pada zaman kongsi dahulu, menghadiri sebuah hidangan perayaan di pasar. Pada malam harinya sebuah pertunjukan wayang dan perjudian, keduanya merupakan hiburan utama pada hari raya keagamaan, menggenapi perayaan tersebut.

Pada 12 Agustus 1885, empat pemimpin pemberontak dihukum mati di Mandor. Lioe Pang Liong meminta dengan sia-sia untuk berbicara kepada Kolonel Haga, meninggalkan sebuah pesan penghabisan: … sekarang karena saya harus matio, saya ingin menyatakan kepadanya [Haga] bahwa penyebabdari pemberontakan hanyalah akibat dari pembongkaran Kwan Ya dan Lo Thay Pak … Saya bukanlah musuh pemerintah, namun saya akan mati demi Kongsi Lanfang.

Di Pontianak, sebuah poster muncul dengan sebuah puisi Tionghoa yang menjanjikan pembalasan bagi Lanfang dalam waktu delapan belas tahun. Namun, 1903 berlalu tanpa terjadi sebuah peristiwa. Pada akhirnya, sebagai satu bentuk ucapan terima kasih, para opsir Tionghoa Mandor yang baru ditunjuk pemerintah mempersembahkan empat piringan emas bertulisan kepada empat pejabat penting kolonial di keresidenan. Haga dengan segera mengembalikan pemberian itu dengan catatan bahwa para penduduk yang sudah menderita harus memelihara kekayaan kecil yang telah mereka miliki. Sebuah tulisan terbaca, … Terima kasih atas kebajikan anda yang begitu besar sehingga tanah ini kembali tersatukan dan terikat bersama seperti seikat rumput. Anda telah melindungi para penduduk tanah ini, oleh karena itu kami mempersembahkan padamu piringan emas tipis ini, tanpa bermaksud menjadikannya sebagai imbalan atas kebaikanmu. Untuk Komandan Militer dan Sipil Borneo Barat. Dengan salam hormat, Kapitan Mandor [Lo Thong] atas nama seluruh penduduk …

Bekas wilayah kekuasaan kongsi Lanfang sekarang dibagikan kepada kesultanan pribumi Pontianak, Mempawah dan Landak. Kampung Baru, kemudian Siantan, menjadi bagian kota Pontianak, sementara pemukiman Pakoktin yang sebelumnya adalah bagian dari Mandor bergabung dengan kota Mempawah. Kampung Baru dan Pakoktin memiliki Letnan Tionghoa, karena keduanya adalah pemukiman yang cukup besar. Pakoktin tampaknya adalah nama lain dari Kuala Mempawah. Orang Tionghoa meskipun berada di bawah kekuasaan pemerintah secara langsung, juga diwajibkan membayar sejumlah pajak, terutama untuk penggunaan tanah, kepada para penguasa pribumi.

Perang kongsi akhirnya berakhir. Dari persekutuan etnis dan politik yang kompleks ini, sangatlah tiidak akurat untuk menggolongkan perselisihan yang disebut Perang Kongsi ini sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Bahkan beberapa orang dari kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kekuasaan kolonial, memohon damai atau meminta bantuan kepada Belanda. Namun demikian, tidak ada satupun kongsi yang sepenuh hati bersekutu dengan Belanda. Pembantu Residen van Prehn mengalami satu perselisihan yang menjijikkan dengan para anggota Samtiaokioe di Sambas pada 1851. lanfang memainkan taktik menunggu kesempatan dan barangkali telah memberikan kesempatan kepada sang pemberontak Liao Njie Liong untuk melarikan diri ke Sarawak. Bahkan Kapthai Lioe A Sin yang dianggap Belanda sebagai seorang pendukung yang terpercaya untuk kepentingan mereka, telah melakukan tindakan intrik melawan mereka.

Sementara itu, penduduk Lanfang yang diperkirakan sekitar 7.500 jiwa pada paruh pertama abad ke 19, pada akhir abad telah menurun menjadi 1.060 jiwa. Mandor sendiri sudah mulai lesu, menurut para saksi, bahkan jalan raya yang dibangun oleh Vetter dengan biaya sangat besar ternyata sejak 1900 tidak bisa lagi dipergunakan. Kapthai Lioe telah menghabiskan hampir semua kekayaannya selama Perang Monterado, menghabiskan f120.000 untuk mempersenjatai orangnya dan sejumlah besar dana lainnya dalam bentuk emas untuk mengembangkan pemukiman Tionghoa di Landak. Setelah penambangan turun, Lioe berupaya mengusahakan perkebunan, namun juga tidak berhasil, membuatnya penuh hutang. Bahwan kongsi Lanfang sudah pasti akan mati, sudah diperkirakan orang jauh hari sebelum Kapthai Lioe wafat. Pada akhirnya Lanfang harus pergi, karena bangkrut.

Lanfang tak lagi bisa memperoleh pendapatan yang mencukupi dari pertambangan untuk menutupi pengeluarannya. Lioe A Sin menjaga agar perkumpulan tetap berjalan dengan cara menyuntik dana dari sakunya sendiri, dana yang diperolehnya mungkin dari pacht candu. Setelah pendapatan dari penjualan candu menurun drastis pada 1850, Lanfang tidak pernah dapat dipulihkan, begitu pula Lioe.

Lanfang terlihat memiliki satu pimpinan pusat yang kuat sejak awal pendiriannya dan juga setelah 1823. kemudian hubungan dengan Belanda mengubah peran dari kapthai, memingkatkan kewenangannya menjadi kepala kongsi. Lanfang juga terlihat kurang demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lainnya, karena kurang sering melakukan pemilihan. Jika Monterado secara rutin memilih ketuanya yang hanya menduduki jabatan selama 4 bulan, Lanfang memiliki institusi yang lebih otokrasi. Pada 1851, van Prehn mencatat bahwa kapthai mengijinkan buku diperiksa oleh dewan sesepuh sekali atau dua kali pertahun, selebihnya dia bebas dari pengawasan. Para pejabat Lanfang dipilih secara permanen dan hanya diganti atas permohonan mereka sendiri atau karena berperilaku buruk.

Perbedaan organisasi memungkinannya lebih cepat dan lebih bertahan lama berhubungan dengan Belanda, yang sebagai imbalannya memperkuat otokrasi Lanfang. Pemimpin Lanfang menjabat seumur hidupnya atau hingga dia mengundurkan diri atau meninggalkan wilayah. Sebagai akibatnya, Belanda dapat memastikan orang yang menjabat dan memiliki jaminan, dalam masa normal, bahwa mereka dapat berhubungan dengannya bertahun-tahun. Kapthai adalah orang yang mewakili kongsi berhadapan dengan pemerintah. Dia bertanggung jawab kepada kongsi, dan dalam saat yang bersamaan, juga dapat berharap atas dukungan pemerintah, sebagaimana dilakukan oleh Lioe A Sin. Dia tidak perlu berkonsultasi dengan para penduduk.

Di samping itu, dia tergantung pada Belanda dan juga mewakili Belanda. Ketergantungan ini semakin nyata setelah 1857, pada saat Belanda mengakui keberadaan Lanfang dan Lioe sebagai kepalanya. Model terdahulu yaitu model republik yang ketat dari pemerintahan kongsi di mana kapthai hanya memiliki kewenangan yang sangat sedikit dan harus berkonsultasi dengan para ketua pada semua persoalan, telah digantikan dengan model yang menjadikan kapthai sebagai wakil tunggal dari kongsi dalam berhadapan dengan pemerintah. Sebuah model yang membuat Lanfang tidak lagi menjadi sebuah republik, namun lebih menjadi sebuah monarki, dengan kekuasaan yang bersifat paternalisme otokrasi. Lioe terkadang berkonsultasi dengan para ketua, namun tidak pernah, sejauh diketahui, berkonsultasi dengan seluruh pekerja penambangan apalagi dengan penduduk dewasa lainnya. Sebuah pertemuan umum seperti yang diselenggarakan di Thaikong dalam 1852-1853 seakan tidak pernah terpikirkan di Lanfang.

Lama kelamaan, kongsi dapat dikatakan sebagai milik Lioe pribadi. Nama kongsi tetap hidup, namun dalam kenyataannya administrasi kongsi saat ini tidak lebih hanya sebagai pelayan sang kapthai belaka, dan Lioe menjadi seperti penguasa pribumi yang kekuasaannya hanya dibatasi oleh kekuasaan kolonioal saja. Kejatuhan kongsi sepanjang periode yang disebutkan di sini, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pemakaian hasil sumber daya mereka untuk kebutuhan kongsi dan juga akibat tekanan dari para pejabat Hindia Timur Belanda. Sangat aneh, jika Belanda menyesal atas kerugian ini. Bagi Batavia, organisasi yang kuat ini yang mempraktekkan begitu banyak fungsi negara modern, sangat jauh berbeda dengan kerajaan lokal. Mereka adalah pesaing bagi negara kolonial itu sendiri. Kongsi harus lenyap, karena hanya ada satu negara, yaitu negara kolonial, yang boleh ada di Hindia Belanda.

Orang belanda akhirnya menyaksikan akhir dari kongsi …

*) Penulis adalah peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber (koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe)
AKHIR SEBUAH RIWAYAT PEMBERONTAKAN PERKONGSIAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

KEHIDUPAN PASCA PERANG KONGSI
Setelah perang Monterado atau Perang Kongsi, jumlah pejabat kolonial di propinsi bertambah dengan cepat, kepembanturesidenan disusun ulang, dan kekuasaan kolonial semakin diperluas hingga di luar wilayah garis pantai. Pembangunan ini menuntut perekrutan opsir dan pembantu Tionghoa baru di beberapa wilayah. Sambas, Monterado dan Sintang menjadi kepembanturesidenan, dengan beberapa controleur ditempatkan di kota-kota yang lebih kecil. Jumlah controleur terus bertambah menjadi 8 lalu 11 pada 1865. monterado yang mencakup wilayah Thaikong dan kongsi-kongsi lainnya, selain memiliki pembantu residen, juga terdapat empat controleur orang Belanda dan seorang kapthai atau regent Tionghoa, tiga orang kapitan yang ditempatkan di kota-kota yang lebih besar, dan sekitar 30 laothai yang ditempatkan di beberapa kota kecil, bersama dengan perwakilan sultan Sambas, yang bertanggung jawab untuk mengatur penduduk pribumi.

Pada 1880-an, ibukota distrik ini dipindahkan ke Singkawang, yang posisinya menjadi lebih penting bila dibandingkan dengan Monterado yang dulunya menjadi pusat kongsi, sebab populasi penduduk berpindah mendekati pantai. Petunjuk mengenai semakin kurang pentingnya Mandor pada abad ke 20 ialah karena ia hanya dipimpin oleh seorang laothai, sementara Sungai Pinyuh, sebuah daerah pusat perdagangan pesisir yang pernah merupakan bagian dari kongsi Lanfang, mempunyai seorang kapitan. Bekas wilayah Samtiaokioe di Pemangkat dan Seminis menjadi bagian kepembanturesidenan Sambas. Akibatnya, kebanyakan orang Tionghoa kini tinggal di wilayah yang dipimpin oleh penguasa pribumi, sekalipun mereka sesungguhnya berada secara langsung di bawah daulat pemerintah kolonial.

Salah satu akibat jangka panjang dari kerusuhan yang terjadi pada 1912-1914 nantinya, adalah diperluasnya daerah distrik Singkawang. Pada 1914 sebuah daerah perluasan kepembanturesidenan Singkawang dibentuk dan meliputi Singkawang, Pemangkat, Bengkayang yang dahulunya adalah Lara dan Lumar, Sambas dan Mempawah. Pembantu residen yang memimpin daerah ini ialah seorang pejabat sipil dan militer, yaitu seorang militer yang bekerja untuk jabatan sipil dan tetap memiliki kekuasaan militer. Kepembanturesidenan ini menyatukan seluruh bekas distrik pertambangan Tionghoa, termasuk Mandor, yang dipindahkan dari Pontianak. Akibatnya, daerah perluasan distrik Singkawang yang baru ini mencakup semua wilayah yang disebut secara tidak resmi sebagai Distrik Tionghoa. Singkawang baru dibagi ke dalam lima sub distrik: Singkawang, Pemangkat, Bengkayang, Sambas dan Mempawah. Salah satu dari kelima wilayah ini, yaitu onderafdeeling (sub distrik) Pemangkat dibubarkan pada 1923, dan wilayah ini dibagikan antara sub distrik Sambas dan Singkawang.

Karena kekuasaan Belanda diperluas hingga ke daerah pedalaman pada akhir abad ke 19, kebanyakan wilayah yang didiami suku Dayak menjadi berada langsung di bawah kekuadaan Belanda, bukan di bawah daulat penguasa Melayu. Namun, kekuasaan Hindia Timur Belanda di wilayah pedalaman masih lemah. Di wilayah yang luas namun belum berkembang seperti itu, mungkin ada pejabat kolonial yang bisa campur tangan, namun mereka tidak bisa memerintah. Situasi ini menciptakan berbagai kesempatan menarik bagi para pedagang Tionghoa yang banyak akal dan berani. Jumlah opsir dan pegawai Tionghoa di Borneo Barat semakin bertambah sepanjang dekade-dekade ini. Namun, tak jelas apakah mutu dan kewenangan para opsir baru ini juga mengalami peningkatan.
Para pedagang Tionghoalah yang telah mencetuskan perubahan ekonomi di daerah pedalaman. Kebanyakan pemukiman di Borneo Barat yang lebih berkembang dibandingkan kampung, memiliki pasar. Pasar merupakan pemukiman yang ditunjukkan oleh terpusatnya para pedagang Tionghoa yang tinggal di rumah-rumah toko mereka, di mana bagian usaha ditempatkan di bagian depannya, pada lantai rumah, sementara seluruh keluarga tinggal di bagian belakang atau di lantai atas. Pasar di sini berbeda dengan pasar untuk pedagang kampung kecil yang ada di daerah Jawa, karena pasar selalu memiliki arti sebuah pemusatan orang Tionghoa, apakah itu berada di bekas kota kongsi, pemukiman Melayu, atau di pusat pemerintahan di pedalaman.

Orang Tionghoa membangun sebuah pemukiman yang padat di mana mereka menemukan pusat arus lalu lintas, contohnya penyeberangan di sungai, muara sungai dan delta, dan pemukiman ini dengan segera memperoleh ciri perkotaan sekalipun di wilayah itu baru terdapat beberapa rumah. Meskipun para pemilik toko Tionghoa dianggap relatif makmur, namun rumah mereka terlihat berlumut dan terabaikan, terasa tidak nyaman. Di sepanjang sungai terletak tempat mandi yang sederhana. Rumah-rumah mereka biasanya berkonstruksi kayu, kadang dilapisi tanah liat untuk melindungi dari api, dengan atap alang-alang, nipah atau yang lebih mahal yaitu sirap yang terbuat dari kayu besi.

Konstruksi rumah kayu ini cukup baik, namun beresiko karena menjadikannya rentan terhadap kebakaran. Sekalipun pemerintah telah menyakinkan para pemukim untuk mengubah gaya bangunan mereka, namun kebakaran tetap menjadi ancaman yang bisa muncul setiap waktu. Beberapa kebakaran yang terjadi menunjukkan betapa pasar-pasar tersebut sangat berdesak-desakan. Ketika pasar Singkawang terbakar pada 1927, sekitar 70 rumah termasuk 2 sekolah hangus dilahap api. Kebakaran terjadi lagi di wilayah sama pada 1931 dan 1937 yang menghanguskan hotel-hotel, beberapa kelenteng, sebuah masjid, lebih dari tiga ratus rumah, dan seratus toko. Distrik perdagangan yang ada di Pontianak juga pernah berulang kali terbakar, salah satu di antaranya menyebabkan kerugian sebesar f1.000.000 pada 1917.

De Groot menunjukkan bahwa perkumpulan rahasia muncul setelah penghapusan federasi kongsi dan menduga bahwa kongsi telah menjaga agar mereka tetap terkendali, sementara menghilangnya kekuasaan kongsi membuat mereka menjadi bebas bergerak. Tentu saja, kongsi akan meminimalkan kegiatan oposisi dengan cara menegakkan kekuasaannya secara tegas. De Groot secara keras membantah Veth dan Hoffmann, dua sejarawan Belanda yang dia kutip, bahwa kongsi itu sendiri didirikan dalam bentuk perkumpulan rahasia, namun dia mengkaitkan kemunculan kelompok-kelompok rahasia setelah 1855 hingga penghapusan kongsi, dan pengalaman 1884 di Mandor, secara sekilas, tampaknya membenarkan pendapat itu.

Namun demikian, perkumpulan-perkumpulan seperti itu di Borneo Barat sangat terbatas di tingkat lokal. Para pegawai kolonial dilatih untuk mengenali perkumpulan rahasia terutama dari pemikiran Gustaaf Schlegel. Buku ini, Thian Ti Hwui: The Hung-league or Heaven Earth League: A Secret Society with the Chinese in Chine and India (1866) tampaknya menjadi bacaan wajib bagi para pejabat kolonia, terutama petugas bahasa Tionghoa yang seringkali mengutipnya. Buku Schlegel terbit 1866 tadi yang menjabarkan sumpah mereka, katekismus mengenai tanya jawab pengukuhan, dan mengenai organisasi mereka secara rinci. Kapan saja mereka menemukan simbol-simbol perkumpulan atau bukti lainnya, para aparat segera menghubungkan temuan tersebut dengan sebuah kelompok. Meskipun tidak pernah menemukan adanya bukti nyata keterikatan dengan Tiongkok atau Singapura di balik dari sebagian kecil imigran yang sudah menjalani ritus pengukuhan, perkumpulan disangka menyebarkannya kepada yang lainnya di koloni.

Masing-masing konspirasi hui termasuk konspirasi 1912 merupakan sebuah tanggapan dari sebuah provokasi tertentu: penghapusan Thaikong dan penerapan pajak dan wajib kerja pembangunan jalan, penghapusan Lanfang, penistaan aula kongsi setelah kematian kapthai Lanfang, penerapan pajak dan kewajiban baruu, termasuk kewajiban melakukan kerja paksa (corvee) yang diterapkan oleh pemerintah. Pada 1912, kenaikan yang sangat tinggi atas pajak dan kerja paksa memprovokasi kembali terjadinya sebuah perlawanan. Dalam situasi seperti ini, para pemberontak untuk memastikan kesetiaan mereka satu dengan yang lain mempergunakan sumpah dan simbol-simbol yang secara luas sudah dikenal oleh orang Tiongkok bagian selatan dan secara luas sudah dipergunakan untuk mengikat persatuan rakyat. Seperti halnya kongsi, perkumpulan-perkumpulan menerapkan agama rakyat Tionghoa dan simbol-simbolnya. Berbagai tradisi dan simbol tersebut bukanlah enyebab dari kegiatan pemberontakan, namun dipakai sebagai prinsip-prinsip organisasinya.

Apakah kongsi-kongsi tersingkirkan dikarenakan mereka terlalu demokratis? Thaikong yang paling baik dalam menerapkan model ini, pemilihan para pejabat yang begitu sering membuat tidak senang Belanda yang menginginkan berunding dengan mitra yang lebih tetap. Namun, satu penuturan terhadap pemilihan ini memperlihatkan bahwa jabatan yang serupa seringkali hanya digilir di antara para pejabat yang ada, walaupun ini terjadi pada saat yang terakhir, pada masa-masa perang kongsi.

PACHT CANDU DAN SERBA PAJAK
Belanda mengadakan sistem pacht di hampir seluruh wilayah Hindia, suatu monopoli perniagaan yang dipimpin oleh para agen yang membagi keuntungan, atas suatu komoditas dan kegiatan perniagaan yang dapat dikenakan pajak. Melalui bekerjasama dengan para pemegang monopoli (pachter) yang diberi hak monopoli atas beberapa usaha tertentu, dan mengatur dan memimpin perusahaan ini, pemerintah Hindia Timur memperoleh sejumlah dana yang lumayan besar untuk kas kolonial. Sejumlah orang Tionghoa yang berfungsi sebagai opsir selain mengelola monopoli, juga mengumpulkan kekayaan dan pengaruh dari usaha ini. Di Kepulauan Luar, monopoli yang paling menguntungkan bertempat di dekat pemukiman Tionghoa dan salah satu komoditasnya yang paling menguntungkan adalah candu. Kwee Hoe Toan dalam berbagai tingkatannya telah terlibat bertahun-tahun dalam pacht candu di Borneo Barat.

Sepanjang paruh pertama abad ke 19, madat menjadi komoditas penting dalam komunitas pertambangan, termasuk di penambangan-penambangan emas. Buys (1892) menulis: […di manapun bagian wilayah Hindia, saat saya menemukan kampung Tionghoa, saya melihat rumah judi, yang biasanya merangkap sebagai kedai candu, kedai minum, dan rumah bordil (bordello) …] Pada masa kejayaannya, di Monterado terdapat beberapa kedai candu, dan pengunjung langganannya kebanyakan adalah para penambang, orang Tionghoa lainnya dan beberapa orang pribumi.
Situasi ini berubah sejalan dengan kemunduran pertambangan. Pendapatan dari pacht candu menurun secara signifikan pada paruh kedua abad ke 19. jika usaha ini berhasil meraih keuntungan f400.000 sebelum 1855, maka pada tahun berikutnya jumlah tersebut berkurang hingga menjadi seperlimanya. Menurunnya jumlah penduduk bukanlah satu-satunya penyebab penurunan penghasilan, mengingat, ketika penduduk beralih dari penambang menjadi pemukim, kebutuhan juga menurun. Sebagai tambahan pada berkurangnya pembeli, para pachter candu juga bermasalah ketika mereka menaksir terlalu tinggi pendapatan mereka.

Penurunan ini terjadi tiba-tiba dan menyebabkan opsir seperti Kwee Hoe Toan, yang pada 1854 memegang kendali atas pacht candu di Borneo Barat mengalami kerugian. Rekan sesama pachter di Distrik Tionghoa adalah bekas perunding Thaikong, Eng Tjong Kwee dan Tjang Ping. Eng adalah seorang hartawan dan ia terus menerus terlibat dalam bidang pacht candu, sebuah kegiatan yang spekulatif, selama beberapa tahun lamanya. Awalnya, monopoli itu akan diberikan langsung kepada Monterado. Mengingat monopoli itu telah dijual lelang, dan pemenangnya harus membayarkan jumlah yang telah ditawarkan kepada pemerintah kolonial, para penawar harus menaksir lebih dulu besarnya keuntungan dari monopoli. Seperti halnya penyelundupan, menurunnya penggunaan mengacau perkiraan dan menghancurkan.

Setelah itu, penurunan pendapatan tersebut segera berakibat pada manajemen monopoli dan kalangan elit Tionghoa yang selama masa keemasannya mendapatkan keuntungan dari bisnis ini. Pada 1868, hak untuk menguasai pacht candu di Borneo Barat bahkan diberikan pada orang luar, seorang letnan Tionghoa yang berasal dari Belitung, Ho A Joen. Ho menjadi letnan Tionghoa di Belitung selama beberapa tahun. Ketiadaan landasan setempat yang mantap membuat sesungguhnya tetap akan terjadi sekalipun hak menguasai tersebut dipegang oleh orang dalam, sebab hal tersebut merupakan akibat dari kecenderungan yang merupakan hasil dari perubahan demografi di wilayah itu.

Antara 1865 sampai 1874, nilai pacht candu resmi di Borneo Barat turun dari f261.000 hingga f96.000. nilai ini mengalami kenaikan perlahan pada 1880-an dan di awal 1890-an hingga f100.000 namun kembali menurun. Pada saat itu, pacht candu di Pontianak menjadi monopoli yang paling bernilai di wilayah itu sebab para pekerja perkotaannya adalah juga pemakai candu. Untuk keresidenan secara keseluruhan, penghasilan dari pacht-pacht lainnya yang mengelola perjudian, alkohol, dan penjagalan babi memberi keuntungan lebih besar daripada monopoli penjualan candu. Konsumsi menurun, namun munngkin saja ada faktor lain juga menyebabkan penurunan pemakaian candu dan keuntungan: penyelundupan yang lebih mudah dilakukan dan persekongkolan para penawar untuk menahan penawaran melawan yang lain. Tentang monopoli dalam 1880-an. Nasib pacht itu mencerminkan perubahan kependudukan di keresidenan ini. Dengan pendudukan yang terdiri dari petani dan pedagang menetap sebagai pengganti dari para penambang bujangan, maka permintaan untuk obat bius tersebut menurun.

Pada 1901, pacht candu di Borneo Barat disewakan dengan harga f98.400. wilayah yang lebih kecil di pulau Bangka dan Belitung yang masing-masing berpenduduk sekitar 20.000 penambang timah, menjual monopoli mereka dengan harga yang lebih tinggi, masing-masing f279.924 dan f168.000, sementara pacht candu di daerah perkebunan bagian timur Sumatra memberikan pemerintah penghasilan sebesar f803.600. Pada 1909, sistem pacht atau monopoli akhirnya dihapuskan dan diganti dengan monopoli pemerintah secara resmi yang menguasai penjualan candu di seluruh Hindia.

Hubungan yang tercipta antara Belanda dan Tionghoa di Borneo Barat adalah pajak. Kerja paksa yang berlangsung hingga awal abad ke 20 dan pacht candu juga merupakan sumber penghasilan bagi negara, namun pajak tetap yang terutama. Kebijakan negara kolonial adalah untuk memajaki masyarakat Tionghoa sebanyak mungkin untuk menutup pengeluaran administrasi keresidenan, membayar upah para penguasa bumi, dan membiayai usaha untuk meningkatkan komunikasi dan mempertahankan ketertiban. Biasanya, para opsir Tionghoa mengumpulkan dan bahkan menetapkan pajak ini.

Memajaki orang Tionghoa untuk menutup pengeluaran setempat dimulai pada 1818, dengan pajak kepala yang dibebankan pada orang Tionghoa. Dari 1839 hingga 1852, pemerintah kolonial di Sambas selalu membukukan kerugian, dan Pontianak hampir selalu membebani pemerintah kolonial Hindia dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang berhasil dikumpulkan. Perang kongsi kedua meninggalkan keuangan pemerintah dengan neraca negatif lebih dari f1,2 juta, jumlah yang besar bagi propinsi itu. Prins yang ditunjuk sebagai komisioner pemerintah setelah 1853, segera menyusun aturan perpajakan bagi kaula baru yaitu wilayah bebas kongsi. Di saat Belanda membebankan pajak umum atas impor, kecuali pada impor beras, dan menangani secara langsung monopoli garam, mereka mengumpulkan pajak atas barang-barang dan kegiatan lain melalui monopoli, dengan menjamin secara de facto monopoli administrasi dan perdagangan kepada penawar tertinggi yang biasanya adalah orang Tionghoa.

Perdagangan komoditas, dan kegiatan komersial dan rekreaksional yang dikenakan pajak melalui monopoli itu termasuk, di samping perdagangan candu: pembuatan dan penjualan minuman beralkohol, pemotongan dan penjualan babi, perjudian (tempat bermain pho dan topho dimiliki oleh para pemegang monopoli pajak), menjalankan pegadaian, pemancingan ikan di tepi laut Singkawang, Sungai Raya dan Sungai Duri, pertambangan emas dan mengumpulkan bea cukai dan mengenakan pajak bagi mereka yang ingin kembali ke daratan Tiongkok. Hanya pajak keluar yang tidak ditangani oleh para pemegang monopoli sebelum 1855, dan akhirnya diberhentikan pada 1864. jelas bahwa pemerintah menganggap orang Tionghoa yang meninggalkan Borneo tidak begitu mampu. Penduduk pribumi juga dikenakan pajak atas hasil hutan yang disebut sepuluh-satu. Pada saat itu, berbagai monopoli menghasilkan pendapatan f300.000 lebih pertahunnya. Lama kelamaan, penghasilan dari candu menurun, namun keuntungan dari monopoli lain, kecuali dari pertambangan emas, meningkat. Sebagai tambahan atas beban pajak ini, dan terpisah dari pajak kepala pemerintah, orang Tionghoa juga diharapkan membayar 10 persen pajak dari seluruh pengumpulan dan ekspor hasil hutan, dan membayar penyewaan tanah-tanah yang digunakan kepada para penguasa pribumi.

Pada 1879, Belanda memperkenalkan sebuah pengganti pajak kepala, yang disebut bedrifsbelasting, pajak perusahaan atau pajak usaha, berdasarkan jumlah kekayaan yang dimiliki termasuk kekayaan pribadi. Mulai 1887, orang Arab dibebaskan dari pajak ini. Sistem ini menjamin akan memberi keringanan bagi para pembayar pajak miskin, namun ternyata mereka masih membayar seperti semula ketika pajak kepala masih dikumpulkan, sementara orang kaya Tionghoa membayar lebih banyak. Proses yang lama dan sukar untuk menilai kekayaannya dalam rangka menentukan perhitungan jumlah pajak terhutang menimbulkan perlawanan yang kuat dari orang Tionghoa. Lanfang merupakan pusat perlawanan, namun juga merupakan wilayah di mana kapthai dan militer kolonial bekerjasama untuk meredam hal ini. Di seluruh Borneo Barat, penduduk pribumi dibebaskan dari pajak kekayaan, meski di bagian Hindia lainnya, di mana-mana para penduduk pribumi juga harus membayar pajak kekayaan.

Pada 1879 pajak usaha ini yang ditaksirkan di keresidenan ini sebesar f39.415, ini adalah jumlah yang paling tinggi di Kepulauan Luar, yang mencerminkan betapa pentingnya ekonomi masyarakat Tionghoa di Borneo Barat. Ketika pungutan ini dilakukan, perekonomian Borneo Barat sedang tidak begitu baik, dan sebagaimana yang disebutkan bahwa jumlah penduduk sedang mengalami penurunan. Kenyataan bahwa para opsir Tionghoa yang bertanggung jawab untuk menaksir nilai kekayaan untuk memungut pajak baru, menyebabkan mereka, dapat dimengerti, menjadi kurang disenangi dan dihargai. Pemerintah kolonial memungut pajak dari orang Tionghoa dengan bantuan para opsir Tionghoa yang tidak digaji dengan tepat. Hal ini menentukan kepada takdir mereka di kemudian hari.

PEMBERONTAKAN 1912-1914
Diawali dengan sebuah kejadian pada 1912, Distrik Tionghoa, terutama di bagian pedalaman, tiba-tiba menghadirkan satu masalah keamanan yang serius bagi pemerintah kolonial. Pemberontakan itu tidak disangka-sangka oleh pemerintah Belanda. Laporan Residen de Vogel menuliskan: [ … Sikap orang Tionghoa pada distrik [perkampungan, pedalaman] ini lebih baik bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain … Awalnya memang terasa mengejutkan bahwa pemberontakan justru terjadi di wilayah yang paling bersikap baik dengan pemerintah, namun sesungguhnya hal ini dapat dipahamai bila melihat tekanan yang mereka alami karena kerja paksa, orang kaya dapat menghindarinya dengan membayar, dan mereka juga dipanas-panasi oleh para penghasut dari pesisir, selain terdapat pula kabar angin yang menyebutkan bahwa para pedagang kaya dari pesisir memberikan uang …]. Ironisnya, de Vogel adalah penulis bersama laporan ini, meskipun ia berkali-kali menyangkal bahwa kerja paksalah penyebab pemberontakan. Laporan mengatakan bahwa sikap yang lebih baik ini tidaklah pro Belanda, namun kurang dipengaruhi oleh nasionalisme Tionghoa.

Kedatangan residen yang baru dan bersemangat pada 1912, Henry de Vogel M Hzn, bertugas antara 1912-1918, yang berencana untuk mengembangkan keresidenan yang begitu terabaikan ini, tentu saja memberikan andil terhadap terjadinya kerusuhan. Di saat yang sama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa permasalahan tersebut telah berkembang sebelum kedatangan de Vogel. Sejak 1906, telah beredar kabar angin mengenai keberadaan perkumpulan rahasia yang baru yang bergerak di keresidenan ini. Pemerintah juga khawatir bahwa pengaruh nasionalisme Tionghoa di kalangan orang Tionghoa di Asia Tenggara juga akan menyebar hingga Borneo. Guomindang dan perkumpulan rahasia telah saling melengkapi, salah satu hal yang ditekankan oleh penasihat de Vogel. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, pemerintah, dan tentunya juga residen, menyalahkan arus politik yang baru ini sebagai penyebab pemberontakan, namun nampak jelas bahwa kewajiban yang dituntut oleh para pejabatlah, bukan ideologi, yang telah mengakibatkan sejumlah orang Tionghoa tiba pada batas kesabarannya. Para pegawai kolonial sering menyalahkan para penghasut dan biang keladi misterius atas terjadinya kerusuhan, sementara kesulitan ekonomi dan perluasan tuntutan kolonial merupakan penyebab yang lebih jelas. Contohnya, di bawah pemerintahan pendahulu de Vogel sejumlah pajak dinaikkan karena upeti telah dihapuskan dan penguasa pribumi membutuhkan pemasukan. Selanjutnya, de Vogel juga menaikkan beban keuangan melalui penambahan pungutan.

Dilihat dari posisinya, tidak mengejutkan bila dikatakan para opsir Tionghoa menjadi korban utama dari pemberontakan. Pada awal 1912, seorang opsir Tionghoa di Buduk yang mencoba menangkap seorang penghasut dipaksa untuk melarikan diri. Pada Oktober 1912 dua orang opsir rendahan Tionghoa, laothai, di Salinse dekat Bengkayang dan di Benuwang dekat Anjungan dibunuh dengan sadis. Kabar angin tentang meletusnya dan kemungkinan menyebarnya sebuah pemberontakan makin berlipat ganda. Perlawanan ini melibatkan Distrik Tionghoa dan Tayan. Pada 1912, orang Dayak dari Landak,, terdiri atas Behe, Dait, Semarua, Seengsatong dan Menyukei yang tidak jelas hubungannya dengan orang Tionghoa, melancarkan protes dengan kekerasan atas kenaikan pajak, namun Landak kembali tenang pada pertengahan 1913. Sejak saat itu, Landak tidak lagi menjadi kerajaan kalangan pribumi. Kabar angin beredar mengatakan bahwa Tiongkok, yang telah memproklamasikan berdirinya Republik pada 2 Januari 1912, mengirimkan kapal perang untuk membebaskan orang Tionghoa yang ada di Borneo dari penindasan Belanda. Di beberapa daerah, bertebaran poster yang mendorong orang Tionghoa agar tidak membayar pajak, dan perlawanan pun tumbuh. Di beberapa tempat, militer harus memaksakan pengumpulan pajak.

Laporan pemerintah kolonial membebankan kesalahan atas peristiwa ini sebagian karena munculnya kegiatan perkumpulan rahasia dan sebagian lagi karena rasa nasionalisme Tionghoa. Kegiatan kaum nasionalis telah memperkenalkan beberapa bentuk gerakan seperti kamar dagang Tionghoa (Shanghui) dan klub membaca politik (Shubaoshe, yang artinya secara harfiah adalah perkumpulan buku dan surat kabar). Bila diteliti lebih dalam akan diketahui bahwa pemberontakan diakibatkan dari kenaikan pajak, kewajiban kerja paksa danpenerapan secara ketat peraturan mengenai keharusan membawa surat ijin jalan (pas) bagi orang Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan. Di satu waktu, mereka bahkan diharuskan untuk membawa lentera di malam hari. Tidak ada laporan tentang pekerja paksa di Borneo Barat dalam penelitian tentang kerja paksa yang diterbitkan di Koloniaal Berslag 1890-an, namun hal ini mungkin disebabkan oleh kelalaian.

Sebagai tambahan, setelah 1900, jumlah penduduk Tionghoa mengalami gelombang imigran baru yang meninggi dan mengendalikan populasi yang kian membengkak ini menjadi sebuah masalah. Pada kuartal pertama 1913, hampir seribu ijin masuk diberikan kepada orang Tionghoa yang tiba di Pontianak. de Vogel takut terhadap satu invasi Tionghoa, akan membawa kalangan yang terburuk yaitu elemen pro-republik. Kedatangan imigran meningkat hingga mencapai lebih dari 6000 orang pada 1913, namun menurun secara tajam selama 1914-1918 dikarenakan perang yang terjadi di Eropa membuat pelayaran menjadi jarang dan kurang dimungkinkan. Bagi banyak pejabat pemerintah kolonial, dan de Vogel adalah salah satunya, Revolusi Tiongkok pada 1911 menimbulkan kecurigaan dan mara bahaya, dan para pendukung republik digambarkan semata-mata sebagai kaum gembel. Namun, apakah dalam kenyataannya para imigran tersebut adalah para pengikut Sun Yat-sen, masih menjadi tanda tanya.

Ketika Belanda menimpakan kesalahan secara berlebih-lebihan atas pecahnya pemberontakan kepada para imigran dan provokator, nyatanya tindakan merekalah yang telah memincu kemarahan orang Tionghoa. Tuntutan pemerintah kolonial terhadap orang Tionghoa semakin meningkat seiring kedatangan de Vogel. Beban yang pertama adalah pembangunan jalan. Penilaian de Vogel adalah benar ketika mengatakan bahwa jalan-jalan di Borneo Barat memerlukan perbaikan. Pada 1832 tidak ada satupun jalan yang pantas disebut sebagai jalan di seantero pesisir barat Borneo. Situasi ini tidak juga berubah hingga 80 tahun kemudian. Untuk kepentingan militer, para pekerja paksa Tionghoa dipaksa untuk membangun jaringan jalan di seputar Singkawang-Monterado-Bengkayang, setelah perang kongsi pada 1850-1854. Pada 1885, dalam perang terhadap sisa-sisa kongsi Lanfang, militer telah membangun sebuah jalan dari Pontianak ke arah Mandor yang mempekerjakan pekerja narapidana, dengan bantuan dari orang Melayu dan Dayak, yang digunakan untuk tujuan militer. Setelah beberapa dekade, hampir semua jalan ini kondisinya rusak dan berubah menjadi hutan. Ini adalah kasus yang terjadi di jalanan Pontianak.

Pada Agustus 1855, jalan baru yang menghubungkan Singkawang dan Monterado selesai dibangun. Pengerjaan jalan terhenti selama 10 minggu untuk memberikan waktu bercocok tanam, setelah itu pekerjaan rekonstruksi sipil dikerjakan lagi dengan sungguh-sungguh. Pada 1856, bekas wilayah Thaikong sangatlah sepi, sementara orang Samtiaokioe telah mundur ke Sarawak. Insiden yang terakhir adalah satu penyerangan terhadap pasukan Belanda di Lumar pada Juni 1856. peristiwa ini kemungkinan diprovokasi oleh kepala setempat yang marah akibat kehilangan penguasaan atas penjualan candu, namun sebab langsung yang menjadi pemicunya adalah karena keputusan Belanda untuk menghancurkan balai kongsi Sjipngfoen yang lama, simbol dari bekas kemerdekaan Lumar. Para pemberontak, kebanyakan dari pertambangan, menduduki balai kongsi, dan membakar pasar sebelum pasukan Belanda yang lebih kuat menghalau mereka keluar. Para penduduk kota Lumar bekerja sama dengan Belanda, dan tidak ada lagi perlawanan dari antara orang Tionghoa di mana pun juga, namun terdapat sekitar tiga ratus orang yang mengungsi ke Sarawak.

Residen de Vogel tiba di wilayah ini dengan membawa sebuah rencana ambisius untuk memajukan perekonomian, khususnya dengan menyediakan sarana komunikasi yang lebih baik. Terutama sekali, dia menginginkan sebuah jalan di sepanjang pesisir yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Singkawang dan Pemangkat sejauh 170 kilometer. Ruas-ruas jalan lain terutama di Distrik Tionghoa akan dibangun ulang atau ditingkatkan mutunya. De Vogel mulai membangun atau menyelesaikan jalan sepanjang 1,843 kilometer atau lebih selama masa jabatannya, sebuah rekor yang menakjubkan pada masa itu. De Vogel juga ingin agar jalan-jalan itu dibangun lebih lebar agar bisa dilalui dua kendaraan bermotor sekaligus, sekalipun pada saat itu masih sulit ditemukan kendaraan bermotor di Borneo Barat. Kebanyakan jalan besar ini lebarnya berukuran 6 sampai 8 meter namun tidak diaspal dan hanya dapat digunakan pada saat musim kering saja.

Untuk tugas yang luar biasa ini, orang Tionghoa diperintahkan untuk menyediakan pekerja berat. Tidak hanya orang Tionghoa dari wilayah kongsi, sebagaimana ditentukan oleh satu peraturan hukum 1857, yang diwajibkan untuk bekerja dalam proyek ini, namun penduduk di wilayah lainnya juga diwajibkan. Kewajiban kerja paksa ini juga diperluas hingga terhadap orang Dayak dan bahkan Melayu. De Vogel juga mewajibkan orang Tionghoa di Distrik Tionghoa untuk tinggal di tempat yang sudah ditentukan, bukannya di kebun lada atau kelapa mereka seperti yang biasa mereka lakukan, sekalipun sampai pada waktu itu aturan itu masih diberi toleransi. Dia menerapkan secara tegas peraturan tentang kartu identitas bagi orang yang bepergian. Beberapa opsir Tionghoa menolak untuk menerbitkan kartu identitas bagi orang yang tidak patuh membayar pajak, sekalipun tindakan ini tidak sah. Bertahun-tahun kemudian, di Volksraad (Majelis Rakyat), seorang perwakilan Tionghoa, Kapitan Tjia Tjeng Siang dari Pontianak, menyatakan keberatan dikarenakan bahkan orang yang terhormat pun sering dihentikan di jalan untuk pemeriksaan kartu identitas dan pajak oleh polisi yang terlalu curiga. Menurut Regeeringsalmanak, Tjia adalah seorang mayor kehormatan.

De Vogel juga menaikkan besarnya pajak kekayaan (bedrifsbelasting) menjadi 4,5 persen pertahun untuk pendapatan di atas f630. dan dengan cara menjalankan secara lebih cermat pendaftaran penduduk Tionghoa, dia meningkatkan jumlah orang yang harus membayar pajak. Segala kewajiban ini tentu saja memicu kemarahan. Pada saat yang sama, dengan berkeyakinan bahwa jumlah imigran yang begitu besar akan menjadi lahan subur perlawanan, maka de Vogel juga mencoba untuk menghalangi arus para imigran dengan jalan memungut pembayaran sebesar 25 gulden untuk setiap ijin masuk yang dikeluarkan. Penambahan 25 gulden dibayarkan untuk biaya imigrasi. Ironisnya, dalam memorandum penyerahan jabatannya pada 1918, de Vogel mengatakan bahwa biaya masuk 25 gulden yang dikenakan pada para imigran terlalu tinggi, bila melihat kebutuhan tenaga kerja di Borneo Barat yang begitu besar.

Pemberontakan pada 1912 yang tidak menyebar luas, kemudian diikuti oleh satu pemberontakan lain yang lebih besar pada 1914 di Mempawah yang mendapat dukungan baik dari orang Tionghoa maupun dari orang Dayak, seperti biasaini adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Pada Juli 1914, para pemberontak melakukan sumpah persaudaraan, mengikat para anggota untuk setia dan menjaga kerahasiaan. Kelompok ini awalnya beranggotakan beberapa ratus anggota, terdiri dari orang Tionghoa, Dayak dan Melayu. Untuk mengantisipasi kerusuhan, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Singapura, sementara yang lainnya bersembunyi di hutan. Beberapa penguasa lokal jugameninggalkan posisi mereka. Namun sepasukan ekspedisi Belanda yang relatif kecil berhasil mematahkan pemberontakan ini.

Pemimpin pemberontakan 1914 ialah Soeng Kap Sen, yang dilahirkan di Pakbulu Mempawah. Pada 1914 Soeng baru saja kembali ke Borneo setelah tinggal beberapa saat lamanya di Negeri Tiongkok. Setelah pemberontakan mengalami kegagalan, dia tidak pernah tertangkap, namun dia melarikan diri menuju Sarawak, barangkali ke Singapura. Sekalipun dikatakan bahwa dasar perjuangannya terinspirasi oleh gagasan nasionalisme Tionghoa, namun sebenarnya dia dan rekan-rekannya berpegang pada sumpah persaudaraan dalam mempersatukan para anggotanya. Mereka juga mengundang orang non-Tionghoa untuk bergabung dan menjalankan sumpah darah dan ikut serta dalam upacara pengukuhan, teknik berorganisasi seperti ini telah dipraktekkan orang Tionghoa dalam pemberontakan kongsi sebelumnya. Kepala klub membaca politik di Singkawang, Lim Moi Lioek, sangat diperhatikan Belanda sebagai orang yang bersimpati pada kaum pemberontak dan sebagai orang yang menggunakan kekuasaan ekonominya untuk mengacau kekuasaan kolonial.

De Vogel meyakini bahwa klub-klub membaca (Shubaoshe) adalah sebuah perkumpulan rahasia, dan pejabat urusan Tionghoa yang bernama Mouw, juga sepakat dengan penilaiannya tersebut. Mereka beralasan bahwa klub-klub membaca itu berhubungan dengan Tongmenghui, organisasi revolusioner Sun Yat-sen terdahulu, yang menggunakan metode persekongkolan perkumpulan rahasia. Penerus organisasi nasionalis seperti Guomindang juga merupakan perkumpulan itu, sesuatu yang masih dilarang keras di Hindia. Oleh karena itu, klub membaca dan kegiatan nasionalis Tionghoa lain, yang diyakini de Vogel terlibat dalam kerusuhan, harus dianggap illegal dan harus dihabisi. Klub membaca seperti itu sangat populer di kalangan para penduduk Hakka di Distrik Tionghoa, satu populasi yang juga sangat terpengaruh oleh nasionalisme Tiongkok kontemporer.

Sebuah keterangan menarik tentang pemberontakan ialah keterlibatan Sinolog Henri Borel yang pernah menjadi Pejabat Urusan Tionghoa di Pontianak 1908-1909, dan menjadi penyokong bagi kepentingan minoritas Tionghoa. Borel, yang menulis pada 1915 di Belanda, menentang birokrat-birokrat Belanda dengan mengatakan bahwa mereka menyalahgunakan revolusi Tiongkok sebagai penyebab kerusuhan ini. Efek nyata revolusi Tiongkok 1911 ialah untuk mendorong orang Tionghoa yang ada di Hindia untuk lebih percaya diri memperjuangkan hak-haknya dan lebih peka terhadap setiap kekeliruan, namun tidak berkecenderungan untuk mengarah kepada penggunaan kekerasan. Borel lahir di Dordrecht 1869, mengabdi selama lebih 20 tahun, dengan beberapa kali jeda, sebagai pejabat bahasa Tionghoa di Hindia, menjadi penasihat untuk urusan Tionghoa pada 1911. pidato-pidato dan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan masalah Tionghoa sangat populer di kalangan etnis Tionghoa, namun tidak demikian di kalangan pemerintah kolonial. Ia diberhentikan secara hormat dari tugasnya 1916 dan wafat di The Hague pada 1933.

Borel bersikeras bahwa perkumpulan rahasia bukanlah penghasut, sekalipun benar bahwa orang Tionghoa yang merasakanperlakuan tidak adil memang bergabung dengan kelompok ini. Menurutnya, kerja paksa dan kenaikan pajak yang menjadi pemicu masalah ini. Kerja paksa merupakan beban yang sangat berat dan sesungguhnya tidak diperlukan, jalan-jalan yang semula pendek dan sempit sekarang dilebarkan dan diluruskan tanpa adanya tujuan yang jelas. Karena itu, orang Tionghoa harus menghadapi tuntutan kerja paksa yang lebih besar, dan orang Dayak, dikaenakan perjanjian baru yang ditandatangani dengan para pemimpin pribumi, diwajibkan ikut kerja paksa untuk pertamakalinya. Dengan melihat kondisi ini, tidak mengejutkan lagi bila orang Tionghoa dan Dayak menentangpemerintah. Residen de Vogel memerintahkan orang Tionghoa untuk membangun dan memelihara ruas jalan di luar wilayah Distrik Tionghoa. Di tempat lain di Hindia, kerja paksa telah dihapuskan, sekalipun telah diperluas di Borneo Barat. Terlebih lagi, lanjut Borel, para pejabat baru menerapkan peraturan tentang sistem pemukiman di antara para petani Tionghoa, sebuah ketetapan yang tidak pernah diterapkan sebelumnya. Pemenuhan kerja paksa menjadi prasyarat untuk mendapatkan ijin tinggal di luar pemukiman. Semua ini diterapkan pada masa ketika harga untuk ekspor penting menurun, termasuk lada dan jalan yang baru dibangun akan memperbaiki kondisi ekonomi tidak dapat meyakinkan para korban dari kebijakan baru yang menindas itu. Corvee bukan hanya tenaga kerja yang tidak dibayar. Mereka juga harus membawa perbekalan sendiri. Orang kaya tentunya lebih memilih untuk membayar pajak daripada bekerja.

Pemberontakan 1914 ini berpusat di Mempawah, terutama daerah Anjungan-Mentidung, di dekat daerah perbatasan bekas kongsi lama Thaikong-Lanfang. Meski ada kabar angin yang memperkirakan bahwa gerakan perlawanan akan menyebar, dan adanya laporan yang menyebutkan bahwa penduduk yang ada di Sambas dan Pontianak kembali mencemaskan keselamatan mereka, namun nyatanya wilayah itu tidak terjamah. Wilayah Mandor juga aman, demikian halnya Monterado. Beberapa orang melarikan diri dari pasar Bengkayang, menduga akan timbulnya kerusuhan, namun sebuah rombongan pasukan berhasil menduduki kota itu tanpa kejadian, setelah itu para penduduk mulai kembali lagi.

Mungkin saja, Anjungan menjadi pusat pemberontakan karena pemimpin pemberontakan 1912, yaitu Soeng Kap Sen, tinggal di dekat Pakbulu. Apalagi, kota ini merupakan pintu gerbang menuju daerah pertanian dan pemukiman Tionghoa yang relatif makmur, terletak di persimpangan yang menghubungkan bekas wilayah kongsi. Ini semua menjadikan daerah ini sebagai wilayah yang strategis penting, seperti pada 1885, dan itu akan terjadi lagi. Pada September 1917, pemerintah akhirnya menarik kewajiban kerja paksa bagi etnis Tionghoa. Di masa depan, unit emerintahan daerah, [landsschappen daerah alam yang dalam prakteknya berarti wilayah penguasa, mereka ini tidak harus berada dalam bidang satu administrasi, namun memiliki kekuasaan anggaran dan sedikit pertanggungjawaban administrasi] harus membayar biaya konstruksi dan pemeliharaan semua ruas jalan. Namun orang Melayu dan Dayak diharuskan untuk bekerja tanpa dibayar secara harian. Hal ini berlangsung hingga Perang Dunia II.

Sekalipun kerja paksa telah dihapuskan dan aturan persyaratan pemukiman telah dikendurkan, informasi yang datang dari Kantor Urusan Tionghoa menyebutkan bahwa sistem pas jalan masih diberlakukan di Borneo Barat pada 1933. sebuah catatan menunjukkan penangkapan terhadap seorang Tionghoa terkemuka, yang disebabkan karena ia menempuh perjalanan tanpa membawa bukti identitasnya, gaung dari protes yang dilakukan sampai kepada Konsul Jenderal Tionghoa di Batavia. Sebagai tambahan, beberapa kepala tetap menolak untuk menerbitkan apa yang disebut kartu kampung, kartu identitas kecuali bila si pendaftar telah mebayarkan semua pajaknya. Setiap polisi bisa memeriksa kartu itu, dengan ancaman satu sampai tiga bulan penjara bila korbannya tidak bisa menunjukkan kartu yang diminta. Seorang pekerja miskin yang pergi mandi di kali tidak bisa membawa kartunya, tapi dia bisa didenda ataupun dipenjara kalau ditangkap tanpa kartu. Di Pontianak, ada seorang controleur yang bahkan memasuki rumah-rumah mencari penduduk Tionghoa yang tidak memiliki dokumen yang lengkap, dan bila ia menemukan ada penduduk yang tidak terdaftar, maka orang tersebut dituduh tidak membayar pajak. Ketentuan mengenai surat identitas ini telah mempengaruhi daerah pesisir barat sejak masa de Vogel, dan diterapkan pada penduduk pribumi juga. Hal ini mengingatkan pada penerapan peraturan penggunaan kartu identitas untuk mengawasi orang Tionghoa di Malaya selama keadaan darurat. Peristiwa ini barangkali serupa dengan yang ditujukan oleh anggota Mahkamah Rakyat, Tjia.

Perkumpulan masyarakat modern yang paling berpengaruh pada masyarakat adalah Siang Hwee atau Kamar Dagang. Perkumpulan didirikan di Pontianak pada 1908 dan setelah itu meluaskan sayap ke kota-kota lain. Berbagai macam cabang akhirnya membentuk federasi Kamar Dagang Tionghoa (Zhonghua Zongshanghui) yang bermarkas di Pontianak, di mana kamar dagang merupakan wakil dari kira-kira 40 persen dari semua perusahaan di kota tersebut, belakangan disebut singkatnya sebagai Zhonghua Shanghui [Kamar Dagang Tionghoa].

Kerusuhan 1914 sudah menjelaskan kegiatan dari organisasi komunitas Tionghoa yang berorientasi politik dan modern, Kamar Dagang yang tentunya juga lembaga perniagaan, dan klub-klub membaca politik (Shubaoshe) sekarang menarik perhatian negara kolonial. Kamar dagang menarik orang-orang perusahaan, sementara klub membaca mengumpulkan orang yang tertarik pada politik dan nasionalisme, termasuk pekerja dan pengusaha kecil. Penguasa kolonial tahu tentang klub membaca di Pontianak, Singkawang, Mempawah, Pakbulu, Mandor, Sungai Pinyuh, Monterado, Bengkayang, Capkala, Pemangkat dan Sambas, semua kecuali tiga terakhir dibentuk secara resmi di bawah hukum Belanda. Klub di Pontianak secara resmi dibentuk pada awal 1908, pada tahun di mana kamar-kamar dagang didirikan, tiga tahun sebelum pecahnya Revolusi Tionghoa 1911.

Di samping dari tujuan yang disebutkan untuk mendorong melek huruf dan tersedianya bahan bacaan berbahasa Tionghoa untuk masyarakat seluas-luasnya, klub membaca di Pontianak juga membantu berdirinya sekolah Tionghoa modern. Penguasa kolonial, yang mencurigai bahwa kegiatan klub membaca membuktikan makin bertambahnya watak proletar, dengan cepat mencatat bahwa anggaran dasar klub membaca menetapkan penyelenggaraan kewenangan di bidang hukum pidana, hal yang peka sejak penghapusan kongsi-kongsi, karena bisa menghidupkan kembali negara dalam negara yang mereka takuti. Pejabat urusan Tionghoa, yang berdinas di Pontianak pada waktu kerusuhan 1914, meyakini klub-klub ini sesungguhnya menjadi cabang Tongmenghui, yang dia percaya adalah perkumpulan rahasia dan sudah pasti ilegal [di samping pertanyaan mengenai kewenangan hukum, Belanda memahami klub-klub itu adalah organisasi politik asing, dan oleh karena itu peranakan dalam pengertian orang Tionghoa kelahiran setempat, tidak bisa menjadi anggotanya. Namun kenyataannya, banyak orang Tionghoa kelahiran Hindia yang menjadi anggota dan sampai-smpai menjadi pengurus. Adalah benar juga bahwa Kamar Dagang, yang fungsinya pada satu sisi adalah sebagai perwakilan kalangan Tionghoia perantauan di dalam Parlemen Tiongkok, di sisi lainnya adalah sebagai perwakilan pengusaha di Hindia, baik itu pendatang dan kelahiran setempat].

Setelah melakukan beberapa pembahasan, bagaimanapun, Belanda memilih membiarkan klub-klub itu dengan damai, dan ini kelihatannya adalah kebijakan yang pantas. Bertahun-tahun berikutnya, Belanda melihat dengan puas bahwa pengaruh dan pentingnya klub membaca Tionghoa telah berkurang, dan masyarakat ini tidak lagi tertarik pada politik nasionalis Tionghoa ketika kesulitan ekonomi berkembang di Borneo. Apalagi Tiongkok sendiri menjadi terbelah di dalam negerinya.

Belanda dapat hidup lebih mudah dengan adanya kamar dagang, yang menarik dukungan mereka karena kecenderungan dari para pengusaha berada yang lebih konservatif, walaupun tetap condong ke Tiongkok. Mereka ini memiliki hak untuk memilih perwakilan bagi lembaga politik di Tiongkok. Keikutsertaan dalam pemilihan di luar negeri, bagaimanapun dianggap illegal buat orang Tionghoa kelahiran Hindia, karena pemerintah kolonial menganggap mereka sebagai kaula negara Belanda [meskipun Tiongkok mengangap mereka sebagai warganegara Tiongkok]. Orang Teochiu dan beberapa orang Hokkien menjadi kebanyakan dari anggota Kamar Dagang, yang tersebar di banyak kota. Orang Hakka dilihat sebagai pendukung yang paling kuat dari klub membaca, contoh lainnya dari sikap politik radikal yang lebih besar dari orang Hakka. Tidak ada banyak kebersamaan di antara kedua organisasi ini, tapi keduanya jelas-jelas berorientasi ke Tiongkok dan urusan-urusan Tionghoa. Van Meteren Brouwer yang menjadi kepala pengelola bank kredit, mengatakan orang Tionghoa di pesisir barat mengirimkan f300.000 ke Tiongkok, sebelum kirim mengirim menjadi penting pada 1930-an.

GL Uljee dalam buku panduan keresidenannya, mengakui bahwa masalah dengan etnis Tionghoa yang muncul antara 1906, ketika sebuah perkumpulan rahasia ditemukan di Mempawah, dan pada 1914 sebagian merupakan cerminan nasionalisme Tionghoa, namun sebagian juga diakibatkan oleh campur tangan kolonial. Lebih dari itu, Uljee menyalahkan penduduk Hakka yang tidak tertib, yang membentuk populasi terbesar dalam Distrik Tionghoa yang membangkang. Uljee membandingkan penilaiannya untuk orang non-Hakka: orang Hoklo tidak pernah menentang pemerintah.

Cara pandang Belanda yang bercabang dua tentang masyarakat Tionghoa di Borneo telah mendarah daging dalam pengetahuan kolonial. Pemberontakan 1912-1914, sekalipun hanya sedikit berpengaruh, sekali lagi telah meyakinkan pemerintah bahwa orang Tionghoa Hakka adalah orang yang harus diawasi. Setelah pemberontakan itu, para polisi bersenjata, sebuah unit khusus yang dikirim ke wilayah pemberontakan yang mengancam setelah pasukan tentara telah ditarik, ditempatkan di Singkawang dan daerah sekitarnya, daerah pemukiman yang didominasi orang Hakka sampai 1926 untuk mendorong perdamaian.

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Dari berbagai sumber, koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe.
ELIT TIONGHOA KALBAR DI MASA KOLONIAL BELANDA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sepanjang masa kolonial, Belanda seringkali menamakan sebagian orang Tionghoa di Borneo Barat sebagai peranakan, yang mereka maksudkan sebagai kelahiran setempat. Pembedaan ini penting karena secara hukum orang Timur Asing yang lahir di Borneo, dalam kasus ini Tionghoa, dianggap kaula negara Hindia Belanda, dari manapun asal mereka. (Willmott, 1961: 13-15) Sebelumnya mereka didefinisikan sebagai warganegara, kemudian sebagai orang asing. Undang Undang 1910 membedakan antara warganegara dan kaula negara di antara penduduk Hindia, orang Tionghoa kelahiran setempat adalah kaula negara.

Di pertengahan abad ke 19, menurut laporan dari zaman itu, beberapa orang Tionghoa terkemuka fasih berbahasa Melayu. Ternyata, orang-orang ini tinggal di kota kesultanan seperti di Pontianak dan Sambas yang berada di bawah pengaruh Melayu. Laporan dari abad ke 20 menunjukkan bahwa di daerah pesisir, kebanyakan laki-laki Tionghoa berbicara bahasa Melayu, tapi ini tidak terlihat demikian di Singkawang (ARA 2.10.39 MvO KIT 990). Bahasa Melayu selalu dikebelakangkan oleh bahasa Tionghoa di Kota Singkawang dan Pemangkat.

Bahasa Melayu tidak pernah dipakai sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Distrik Tionghoa, melainkan bahasa Hakka. Atau orang Tionghoa Borneo Barat sangat sedikit menggunakan bahasa Melayu, lebih ke Chaozhou atau mereka berbicara Hakka. Dalam peranan mereka sebagai pedagang dan pemilik perusahaan, banyak orang Tionghoa menemukan keperluan mempelajari bahasa kedua. Pada abad ke 20, di Landak kebanyakan peranakan Tionghoa menggunakan dua bahasa dan berbicara bahasa Melayu, sedangkan yang lain, aktif di pedalaman, bicara bahasa Dayak. Banyak orang Tionghoa yang pindah ke pedalaman adalah pendatang baru di Borneo. Gambaran anonim tentang Landak, kira-kira 1930, orang Dayak tidak hanya belajar bicara Hakka, beberapa dari mereka memakai kalender Tionghoa. Dan tentu saja banyak orang Dayak juga berbicara bahasa Melayu.

Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia. Belanda juga menerapkan sistem yang sama ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang bisa berbahasa Melayu. Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy, seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI BW 3/12)

Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa. Hanya sedikit yang diketahui tentang para opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak dipungkiri. Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya tidak diketahui). Meskipun gelar mereka tidak dijelaskan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka bertanggung jawab atas tiga komunitas besar yaitu Teochiu, Hakka dan Hokkien. Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7: Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).

Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di zaman itu adalah Kwee Hoe Toan. Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya dipromosikan menjadi majoor pada 1859. meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa. Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong. Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).

Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu, sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu. Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa Tionghoa yang berbeda. Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah. Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.

Namun meski telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179). Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai diberhentikan pada 1880. kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik 1866, ANRI BW 2/4—224).

Keluarga Kwee akhirnyamengalami kejatuhan pada masa-masa sulit. Kwee Hoe Toan dan seorang kapitan Hakka, Then Sioe Lin, terlilit hutang pada pemerintah sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pacht candu pada 1850-an, suatu dekade ketika perdagangan madat hancur lebur akibat penyelundupan dan kemerosotan dalam penambangan emas. Nasib keluarga ini semakin terpuruk pada 1880, ketika Kwee Kom Beng diberhentikan dari jabatannya. Situasi keuangan Lioe A Sin, sang kapthai Lanfang, juga mengalami kemunduran karena berspekulasi dalam pacht candu. (Laporan Politik 1859, ANRI BW 1/10). Kesempatan bagi orang Tionghoa untuk meraup peruntungan besar dan mungkin pengaruh dari perdagangan candu nampaknya semakin berkurang karena monopoli tersebut mengalami kemunduran pada paruh kedua abad ke 19.

Seperti halnya Kwee, Then Sioe Lin juga ditunjuk untuk menjadi opsir setelah berhasil membuktikan kemampuannya sebagai pengusaha dan pedagang. Then Sioe Lin menjabat sebagai kapitan Hakka di Pontianak 1853-1877. dengan kekayaannya ia pun terjun dalam perdagangan dan monopoli-monopoli, bersama Kapthai Lioe A Sin dari Mandor, yang juga adalah saudara iparnya. Kedua orang ini memiliki usaha yang sama, dan sekalipun pemerintah telah mengenal kecerdasan dan jasa-jasa baiknya, kemodernan dan sifat periang (vrolijk van aard) dari Then Sioe Lin, mereka juga tahu ia selalu mementingkan diri sendiri. Ketika Kapitan Eng Tjong Kwee dari Monterado wafat di akhir 1850-an, pemerintah menunjuk seorang sanak keluarga dari Then Sioe Lin, Lioe Tjong Sin menjadi penerus Eng sebagai kapitan atau wakil regent di bekas wilayah Thaikong. Hal ini terlihat jelas sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruh orang Tionghoa non-kongsi di sana, apalagi ketika itu Tjang Ping masih menjadi kapthai regent.

Setahun setelah penunjukkan Lioe Tjong Sin sebagai kapitan di Monterado, Tjang Ping tiba-tiba disingkirkan, dipensiunkan dari jabatannya dan diminta untuk pindah ke Pontianak, karena ia dicurigai terlibat dalam percobaan pembunuhan Lioe. Dua tahun kemudian, Tjang direhabilitasi, diberikan gaji sebesar 100 gulden per bulan, namun tidak diizinkan untuk melanjutkan masa jabatannya sebagai kapthai Monterado dan jabatan itu dihapuskan. Arus kini berbalik: Lioe dihukum selama lima belas tahun kerja paksa atas rangkaian tuduhan palsu terhadap Tjang, sekalipun hukuman itu kemudian dibatalkan. Di saat yang bersamaan, beberapa laothai juga diberhentikan dari jabatannya karena berkelakuan buruk. Bukan Tjang, tetapi Lioe yang mengawali persekongkolan, rupanya ia berharap dapat mengambil alih posisi kapthai. Lioe, sebagai kerabat Then, mungkin berasal dari keluarga Lioe A Sin dari Lanfang, di mana Then terhubung melalui adik perempuannya. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya kemampuan Belanda yang dikarenakan ketiadaan orang yang berkemampuan bahasa Tionghoa.

Seusai pembubaran Thaikong dan Samtiakioe, dan dengan meluasnya migrasi orang Tionghoa ke daerah pedalaman, pemerintah kolonial merasakan kebutuhan lebih banyak petugas untuk mengawasi para pemukim Tionghoa yang tinggal di luar kota-kota utama. Ketika Kongsi Lanfang dibubarkan pada 1884, kongsi terakhir yang menghilang, Belanda menemukan pentingnya menyusun sebuah susunan hirarki baru dari para opsir Tionghoa tersebut untuk membantu memerintah daerah luas yang tadinya dipimpin oleh kongsi. Pemerintahan yang baru awalnya terlihat menyerupai kongsi. Di bawah Belanda, terdapat kapitan (namun bukan kapthai) yang bertugas di seluruh wilayah Lanfang. Laothai ditempatkan di pemukiman yang lebih kecil, dan untuk desa-desa atau tempat hunian lain dinamakan kaptjong (mungkin jiazhang dalam Bahasa Mandarin).

Beberapa pejabat di Borneo Barat digaji, sementara lainnya tidak. Di bekas wilayah Thaikong dan Samtiaokioe, kapitan, laothai dan para opsir yang setingkat lainnya menerima gaji. Di Pontianak, Mempawah dan Sambas, para kapitan tidak digaji. Walaupun digaji, jumlahnya terlalu kecil dan tidak menentu, dan tentu saja tidak akan bisa membuat para opsir tersebut menempatkan kepentingan Belanda sebagai prioritas utama. Para opsir yang menerima gaji sering merasa perlu menyewa orang polisi dari pendapat memadai mereka. Dua kapitan yang tidak digaji, terlalu miskin untuk mampu memenuhi tuntutan kantor, yaitu Lay A Tjhok, orang Hokkien dari Pontianak dan rekannya Liao Kang Sing dari Sambas, menerima bonus keuangan dalam bentuk garam gratis dari monopoli garam pemerintah. Mereka dapat menjual kembali garam tersebut untuk memenuhi dana yang dibutuhkan. Hadiah yang sama dengan 150 pikul garam diberikan kepada kapitan Sambas (Laporan Politik 1857, ANRI BW 1/8). Akhirnya, setelah 1862, kapitan diberi jaminan hak untuk memungut pajak kepala di wilayah mereka dan mendapat bagian sebesar sepertiga dari hasilnya, demikian pula dengan cukai yang ditarik dari para imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok, sebagai hadiah atau pembayaran atas penampilan yang memuaskan dalam tugas (Besluit Nomor 1, 3 Agustus 1862).

Terutama di tahun-tahun awal perluasan wilayah, ditemukan bahwa banyak opsir Tionghoa yang dipilih oleh Belanda ternyata tidak cakap. Menemukan seorang Tionghoa berpengaruh yang bisa berkomunikasi dengan orang Belanda dan dengan masyarakat Melayu setempat tidak selalu mudah. Nampaknya orang Tionghoa yang tinggal di bekas daerah kongsi, termasuk Singkawang, tidak begitu menguasai bahasa Melayu, tidak seperti rekan mereka di Pontianak dan Sambas, yang biasanya sangat fasih berbahasa Melayu. Phong Seak kapitan Singkawang diminta untuk mengundurkan diri dari kantornya pada 1856 karena dia tidak mengerti bahasa Melayu. Beberapa opsir yang ditunjuk Belanda terlalu bodoh atau terlalu tamak, yang lainnya sama sekali tidak menunjukkan kesetiaan pada pemerintah kolonial, sementara yang lainnya merasa takut dengan orang yang sebetulnya mereka harus kuasai. Sekali mereka menempati sebuah jabatan di birokrasi, para opsir Tionghoa tersebut sering mendahulukan kepentingan pribadi mereka yang menyebabkan kerugian bagi pihak pemerintah, penduduk Tionghoa atau kedua pihak itu.

Seorang opsir didapati bersalah telah menganiaya sejumlah pemukim Tionghoa namun pemerintah Belanda tetap mengijinkannya untuk bertugas sebab mereka tidak bisa menemukan penggantinya. Pada 1872, keluhan atas para opsir terutama pada opsir berjabatan rendah mulai meningkat. Orang Tionghoa yang memenuhi syarat menghindari posisi yang tidak mendatangkan uang. Pada 1881 karena sulitnya menemukan kandidat, maka pemerintah menawarkan gaji sebesar f600 hingga f1200 per tahun, namun untuk menghemat uang maka jumlah opsir dikurangi. Hal ini mengacu kepada permasalahan berkenaan dengan dimulainya aturan pajak yang baru pada 1878-79. tawaran ini sama sekali tidak menarik calon-calon terbaik dan tidak memberikan wibawa kepada opsir yang ditunjuk. Pekerjaan yang ditawarkan bisa membahayakan nyawa seperti yang terjadi pada 1912, ketika para pemberontak menyerang sejumlah opsir, beberapa minggu setelah itu mereka membakar rumah kapitan di Monterado.

Sulit untuk melacak riwayat kerja para opsir, bahkan yang paling terkemuka sekalipun yang ditunjuk setelah pemberontakan pada 1912-1914. selama masa pemerintahan Residen H de Vogel, nama-nama opsir Tionghoa di Borneo Barat tidak tercatat di dalam almanak resmi (Regeringsalmanak), sekalipun hal ini di keresidenan yang lain dibuatkan daftarnya. Beberapa catatan tentang para opsir terkuak ke permukaan pada pertengahan 1920-an, dalam Handboek voor de Residentie Westerafdeeling van Borneo yang menunjukkan bahwa pada 1925 ada 14 kapitan dengan masa dinas yang berbeda-beda, dua di antaranya bekerja sejak 1901, dan dua lainnya ditunjuk pada 1923. Hanya satu kapitan yang berkantor di Pontianak, yaitu Tjia Tjeng Siang, yang ditunjuk pada 1911, pada 1930 dia muncul dalam almanak sebagai majoor kehormatan.

Tahun berikutnya sampai 1942, para opsir utama untuk Borneo Barat didaftarkan dalam Regeringsalmanak. Pada 1930 hanya ada tiga kapitan: Singkawang, Pemangkat dan Monterado, 16 laothai dan 12 kaptjong. Pada 1942 ada 8 orang kapitan yang ada diperkampungan-perkampungan besar. Kwee Eng Hoe yang nampaknya memiliki hubungan dengan marga Kwee di ibukota, adalah kapitan di Pontianak mulai 1933 hingga pendudukan Jepang. (Alasan keksongan ini tidak begitu jelas. Barangkali ini adalah pembalasan dendam Vogel atas pemberontakan. Pada 1942 kapitan yang ada di Pontianak, Singkawang, Pemangkat, Monterado, Bengkayang, Sambas, Mempawah dan Sungai Pinyuh, menggambarkan betapa pentingnya komunitas Tionghoa di kota-kota ini. Para majoor kehormatan dan pejabat lain dengan gelar kehormatan tidak ada lagi. Pada 1930-an opsir Tionghoa telah dihapuskan di Jawa)

Setelah 1921, jumlah opsir Tionghoa yang menduduki jabatan di pemerintahan dikecilkan dua kali. Gaji para kepala kini makin menurun hingga mereka harus mencari pekerjaan lain agar bisa menyambung hidup, dan pada 1930-an ketika Depresi melanda, kebutuhan mereka akan uang bersaing bahkan sering mengalahkan tugas-tugas kepemerintahan. Emnurut sumber-sumber resmi, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh lima kepala orang Tionghoa pada 1931, kurang f24.000 dari yang seharusnya. Laporan itu mengisyaratkan para kepala telah menyembunyikan sisanya. Para opsir Tionghoa secara umum memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas, bukan dari pemerintahan, dan kebanyakan di antaranya mungkin adalah anggota Guomindang (Partai Nasionalis Tiongkok didirikan Sun Yatsen). Pemimpin yang tidak memihak dan berkemampuan sangat jarang ditemukan di antara para opsir Tionghoa.

Sekalipun mungkin berpihak dan tidak berkemampuan, namun para opsir Tionghoa merupakan penghubung yang penting bagi pemerintah Belanda yang kebanyakan tidak bisa berkomunikasi dengan komunitas berbahasa Tionghoa. Di samping para juru tulis-penerjemah keturunan Tionghoa, hanya para opsir Tionghoa yang bisa berkomunikasi baik ke masyarakat Tionghoa maupun dengan pemerintah Belanda dan berkesempatan untuk mengambil keuntungan dengan memanipulasi informasi yang mereka sampaikan untuk keuntungan pribadi sendiri. Baru sekali pada 1860, sebagaimana yang tercatat, datang seorang penerjemah Eropa yang bergabung dengan pemerintah di Pontianak. Para penerjemah ini atau yang kemudian disebut Pejabat Urusan Tionghoa, diharapkan dapat memberi pandangan kepada pemerintah mengenai masyarakat dan politik orang Tionghoa dengan terbeas dari kepentingan lokal. Sayangnya bagi pemerintahan, meskipun orang-orang Eropa berkemampuan, masa tugas mereka di keresidenan umumnya terlalu singkat sebelum pindah ke tempat tugas yang lain.

M von Faber menjadi penerjemah bahasa Tionghoa pertama di Pontianak. Pada 1862 von Faber bergabung dengan Gustaaf Schlegel sebagai penerjemah di Pengadilan Tinggi di Batavia. WP Groeneveldt menduduki jabatan itu Agustus 1864 hingga 1871, ketika posisi tersebut kosong setelah ia pindah ke Padang. De Groot ditempatkan pada posisi tersebut dari 1880 hingga Maret 1883. di antara yang lainnya, Sinologis dan penulis Henri Borel juga menghabiskan waktu di Pontianak, namun tidak ada satupun yang memiliki keteguhan hati seperti Groeneveldt. Setelah 1930, dua orang etnis Tionghoa juga bekerja sebagai penerjemah untuk kantor intelijen politik (Politieke Rechersche). Pekerjaan mereka dimuat dalam survei-survei rutin terhadap kegiatan politik di keresidenan ini.

Bila orang yang ditunjuk tidak sesuai, maka kesalahan tidak hanya bisa ditimpakan pada orang Tionghoa. Pemerintah kolonial khawatir bahwa pemimpin yang betul-betul populer akan tidak setia atau tidak bisa dipercaya. Berdasarkan alasan ini mereka tidak menunjuk orang itu atau tidak menaikkan gengsi atau gaji orang yang telah direkrut. Belanda tidak memiliki uang cukup dan tidak ingin membayar cukup orang ini. Mereka bisa saja menegaskan kekuasaan atas para pemukim Tionghoa, namun mereka sulit melakukannya.

Ada beberapa bukti terjadinya ketegangan di antara pendatang Tionghoa dan peranakan, setidaknya dari abad ke 19. pada 1873, laporan tahunan untuk Borneo Barat mencatat ada permusuhan berkelanjutan di Pemangkat di antara dua kelompok ini. Ketegangan ini berakibat terjadinya sejumlah perkelahian dan menyebabkan beberapa orang terluka (lihat Koloniaal Verslag, 1878: 23). Orang Tionghoa suatu waktu menyebut orang peranakan sebagai petompang (Mandarin: bantangfan) karena keturunan campuran mereka, dan mereka yang disebut oleh Belanda sebagai peranakan karena mereka kelahiran setempat kelihatan mengangap dirinya berbeda dari pendatang Tionghoa. Dan bahkan di masa kongsi, diperlakukan dengan lebih dipercaya dan keakraban oleh penguasa kolonial dan elit Melayu dibandingkan dengan kebanyakan pendatang Tionghoa.

Seorang perempuan peranakan yang menonjol adalah Then Sioe Kim, janda dari Lioe A Sin dari bekas Kongsi Lanfang. Pada 1887, penguburannya di Pontianak membuktikan hubungan baik antara dia dan kongsi dengan pusat kekuasaan di wilayah tersebut. Sebagai seorang perempuan Hakka kelahiran setempat yang menikahi Kapthai Lioe pada 1850, dia saudara perempuan Then Sioe Lin seorang kapitan di Pontianak, dia disebut-sebut memahami cara pikir orang Eropa lebih baik dari kebanyakan orang Tionghoa. Then Sioe Kim telah mencoba, setelah pembubaran kongsi pada 1884, untuk memperundingkan antara Belanda dan para pemarah dari mantan kongsi yang telah membunuh seorang controleur Belanda.

Tidak hanya masyarakat Tionghoa yang ada di Mandor yang memadati penguburannya, pimpinan tertinggi sipil dan militer kolonial juga menghadiri. Sultan sendiri membuat aturan agar peti matinya ditutupi sutra kuning, hak istimewa dari istana kerajaan, menunjukkan hubungan akrabnya dengan suami dan saudara laki-lakinya. Musisi Melayu dan Tionghoa mengiringi upacara. Batas-batas kesukuan tidak selalu cukup teguh untuk mencegah ungkapan belasungkawa bagi seorang individu yang terkemuka dan memiliki nama baik. Meskipun Then Sioe Kim memiliki hubungan yang relatif baik dengan pegawai Belanda, Residen Kater tidak mempercayainya, yakin bahwa dia memainkan peranan ganda dalam ketegangan setelah pembubaran Kongsi Lanfang. Begitu Kater meninggalkan Pontianak, hubungan dengan Belanda membaik, dan dia dihadiahi pensiun bulanan sebesar 100 gulden, kemudian naik menjadi f150 setara dengan penghasilan opsir Tionghoa.

Belanda memungut pajak dengan perantaraan para opsir, kenyataannya masyarakat Tionghoa merupakan penyumbang pajak terbesar, dan menerbitkan peraturan-peraturan. Namun jarang berinteraksi langsung dengan para pemukim atau pedagang Tionghoa. Tidak mengherankan bila kekuasaan atas masyarakat Tionghoa tetap lemah dan hanya sedikit pengaruh budaya kolonial Belanda terhadap masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam 1942, negara kolonial masih berada dalam proses menegakkan kekuasaannya di propinsi, Borneo Barat tidak memiliki masyarakat sipil di masa kolonial.

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber (koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe)