Minggu, 14 Desember 2008

KEBIJAKAN EKSPLOITASI DAN PEREKONOMIAN
* KEBIJAKAN EKSPLOITASI
Selama pendudukannya di Indonesia, pemerintah militer Jepang berusaha memobilisasi seluruh sumber daya Indonesia demi kepentingan perangnya. Dalam hal ini, Sendenbu (dinas propaganda Jepang) menganjurkan agar rakyat Indonesia memberikan dukungan sepenuhnya kepada Saudara Tua mereka yang sedang melaksanakan perang suci untuk membangun kemakmuran bersama bagi bangsa-bangsa di kawasan Dai Toa (Asia Pasifik). Agar kemenangan akhir dari perang suci itu cepat terwujud, seluruh bangsa Indonesia harus ikut serta mengerahkan tenaga dan hartanya.
Balatentara Jepang yang bertempur di garis depan membutuhkan bantuan tenaga kerja untuk membangun berbagai sarana dan prasarana militer. Dari kebutuhan ini muncullah apa yang disebut sebagai romusha. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti serdadu pekerja. Perekrutan para serdadu pekerja ini di Indonesia hanyalah kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jepang di berbagai wilayah yang telah dikuasainya, di mana mereka secara teratur membentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi untuk menjadi buruh kasar di bawah pengawasan Jepang.

Pada mulanya, tenaga romusha bersifat sukrela dan terdiri atas para pengangguran yang mencari kerja. Gelombang pertama rombongan romusha dilepas dengan upacara kebesaran, namun rombongan berikutnya tanpa upacara lagi. Ketika kebutuhan akan tenaga romusha semakin meningkat, Jepang tidak lagi mengandalkan tenaga sukarelawan namun memerintahkan para kepala desa untuk menyediakan warganya guna menjalankan tugas itu. Bahkan pasukan Jepang melakukan razia dan mengambil siapa pun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha.

Di tempat kerjanya, orang-orang yang disanjung-sanjung sebagai pahlawan oleh propaganda Jepang itu ternyata diperlakukan lebih buruk daripada pekerja rodi pada zaman Daendels. Mereka harus bekerja berat tanpa mengenal batas waktu dengan ransum yang sangat minim. Adapun pekerjaan yang harus mereka lakukan adalah membuat kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah di daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan. Jumlah mereka cepat sekali menyusut, di mana sebagian besar mati karena kelaparan dan penyakit, sementara sisanya dibunuh.

Sekalipun sudah merekrut begitu besar jumlah romusha, penguasa Jepang masih merasa harus memproleh tambahan tenaga kerja lebih besar lagi untuk kepentingan perang mereka. Untuk itu penguasa militer mewajibkan setiap warga yang tidak menjadi romusha untuk melakukan kinrohoshi, atau kerja bakti. Tugas bekerja tanpa upah untuk kepentingan umum ini meliputi pekerjaan dari membersihkan got, memperbaiki jembatan dan jalan hingga membantu pembangunan lapangan terbang.

Pemerintah militer Jepang juga meminta kerelaan penduduk untuk menyumbangkan perhiasannya agar dapat digunakan sebagai dana guna mempercepat tercapainya kemenangan akhir dari Perang Asia Timur Raya. Anehnya, banyak penduduk di desa dan kota, termasuk orang-orang berpendidikan, yang termakan oleh propaganda tersebut dan beramai-ramai menyumbangkan logam mulia milik mereka.

KONDISI PEREKONOMIAN RAKYAT
Pada masa pendudukan Jepang tidak ada perbaikan atau pembangunan sarana ekonomi yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Bahkan orang Jepang malah mengacaukannya. Setelah menyerahnya Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan Barat yang penting diambil oleh zaibatsu (konglomerat Jepang) sementara sisanya dikuasai para pengusaha kecil yang membentuk sindikat. Prioritas diberikan kepada berbagai kebutuhan masa perang, memperbaiki kilang-kilang minyak, mengubah pabrik-pabrik yang ada untuk memproduksi keperluan perang.

Kebijakan tersebut segera menghancurkan perekonomian Indonesia. Produksi perkebunan segera merosot tajam, terutama karena menurunnya permintaan ekspor maupun kebutuhan untuk memperluas areal pertanian untuk keperluan pangan. Produksi karet merosot tajam hingga 80 persen. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama bagi prajurit Jepang yang bertempur di garis depan, para petani diwajibkan menyerahkan sebagian besar hasil panen padi dan jagungnya.

Para petani, yang sebelumnya bebas menanam apa saja di tanah garapannya, diharuskan menanam tanaman yang sesuai dengan ketetapan pemerintah Jepang. Mereka juga diwajibkan secara paksa untuk menanam tanaman jarak yang buahnya dapat menghasilkan minyak pelumas bagi pesawat terbang maupun pojon kapas untuk bahan akaian serdadu Jepang. Selain itu, setiap halaman rumah penduduk harus dimanfaatkan untuk menambah kebutuhan pangan seperti singkong, ubi, jagung dan sebagainya.
Kebijakan yang tidak memedulikan kebutuhan hidup penduduk Indonesia ini segera mengundang bencana ketika arah peperangan semakin merugikan Jepang pada akhir 1944. kondisi ini semakin diperburuk oleh blokade ekonomi secara total oleh pihak Sekutu terhadap semua kepentingan Jepang. Akibatnya, banyak komoditas yang menjadi primadona wilayah ini tidak dapat dijual ke pasar. Bahkan yang diperlukan Jepang pun tidak dapat dikapalkan secara memadai. Sebagai contoh, pada 1943, produksi karet Indonesia merosot tinggal seperlima produksi 1941.

Kondisi ekonomi ini semakin diperparah oleh kebijakan Jepang yang melikwidasi semua bank asing dan menggantikannya dengan Nanpo Keihatsu Kenso (Bank pembangunan Wilayah Selatan), yang mengeluarkan mata uang pendudukan yang tidak bernilai. Akibatnya, inflasi pun merangkak naik, terutama sejak 1943. pada pertengahan 1945, mata uang Jepang begitu merosot nilainya hingga hanya sekitar 2,5 persen dari nilai nominalnya. Tingkat inflasi yang tinggi serta langkanya kebutuhan menimbulkan kesengsaraan di kalangan rakyat biasa. Penyakit kulit mewabah akibat kondisi pakaian yang tidak menunjang dikarenakan banyak orang terpaksa memakai kain goni.

Melihat kenyataan yang bertolak belakang dengan janji dan isi propaganda Jepang tersebut, maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat menyebut masa pendudukan Jepang sebagai zaman merosot, berlawanan dengan masa kolonial Belanda yang disebutnya sebagai zaman normal. Tindakan sewenang-wenang yang diperlihatkan tentara Jepang secara perlahan-lahan mengikis kekaguman serta rasa hormat rakyat Indonesia kepada mereka dan mengubahnya menjadi dendam kesumat. Akan tetapi, pada mulanya perasaan tersebut kebanyakan dipendam karena ketakutan terhadap polisi militer Jepang. (Din Osman)

PENINDASAN DAN PERLAWANAN
* PENINDASAN
Alat utama Jepang untuk menjaga keamanan dan ketertiban di daerah yang dikuasainya adalah polisi militer yang disebut Kempeitai di wilayah kekuasaan Angkatan darat dan Tokkeitai di daerah yang berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut. Sebenarnya, tanggung jawab terbesar dari polisi militer ini berkaitan pada pemeliharaan disiplin tentara, di mana mereka mendapatkan kewenangan dan kekuasaan yang amat besar.
Di daerah pendudukan, badan-badan polisi militer ini mendapatkan kewenangan untuk mengusut dan melacak serta menghancurkan semua kelompok maupun perorangan yang menentang atau menolak kekuasaan Jepang. Oleh karena itu mereka memiliki kekuasaan dan kewenangan yang hampir tidak terbatas untuk mengambil tindakan. Mereka pun menjadi alat penindas dari tentara pendudukan Jepang terhadap penduduk setempat. Polisi militer Jepang amat ditakuti karena terkenal sangat kejam dan sadis dalam memperlakukan tahanannya. Siapa saja yang menjadi tahanan Kempetai atau Tokkeitai, kecil kemungkinan bisa keluar selamat dalam keadaan utuh.

Terungkap dalam sebuah pengadilan militer Belanda di Pontianak yang diadakan dalam 1946 terhadap para pejabat Kempeitai Pontianak berbagai cara penyiksaan biadab yang dilakukan mereka terhadap para tawanan. Para algojo tersebut melakukan penyiksaan dengan berbagai perangkat, seperti tinju, pentungan karet, besi batangan, tongkat kayu, pedang bersarung, kabel listrik yang dipilinkan, dan cambuk. Teknik penyiksaan yang digunakan pun beraneka ragam. Beberapa tawanan dibanting dengan teknik judo, sementara yang lainnya disudut dengan rokok yang menyala. Salah satu cara penyiksaan favorit mereka adalah mencabut kuku korbannya.

Bentuk interogasi lainnya yang disukai adalah dengan apa yang disebut Kempeitai sebagai terapi air. Dalam hal ini, tawanan dipaksa membuka mulutnya lebar-lebar sehingga penyiksanya dapat mencurahkan air ke dalam mulutnya dengan menggunakan selang yang dihubungkan pada kran air leding atau memakai corong air ember. Petugas yang melakukan interogasi kemudian menginjak-injak perut tawanan malang itu. Setelah itu, mereka menyeterum bagian tubuh yang peka setelah menyiram si tawanan dengan air. Nasib tawanan wanita lebih buruk lagi. Banyak di antaranya yang diperkosa. Seringkali perkosaan dilakukan berulang kali oleh banyak petugas sehingga beberapa di antara tawanan tersebut tertular penyakit kelamin.

Tertulis pula sebuah peristiwa yang diceritakan oleh seorang prajurit Jepang, sebagai berikut.

“Pada suatu hari Letnan Dua Ono berkata kepada kami. Kamu sekalian belum pernah membunuh seseorang, karena itu pada hari ini kita melakukan latihan membunuh. Hangan menganggap orang Cina ini sebagai manusia. Anggaplah mereka lebih kurang dari anjing atau kucing. Jadilah berani! Siapa yang secara sukarela akan melakukan latihan membunuh, majulah ke muka. Karena tidak ada yang maju, sang letnan itu hilang kesabarannya. Kamu sekalian pengecut. Tidak ada seorangpun dari kalian pantas untuk menamakan dirinya serdadu Jepang! Karena tidak ada yang sukarela, maka saya perintahkan kalian. Kemudian ia mulai memanggil nama-nama kami: Otani, Furukawa, Ueno, Tajima (Oh, Tuhan, saya juga).
Saya angkat bedil serta bayonet dengan tangan yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah-serapah sang letnan yang hampir histeris. Saya berjalan pelan-pelan ke pria Cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat, liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya, dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya, saya menancapkan bayonet itu ke tubuh Cina yang menjadi tegang itu. Waktu saya membuka mata saya, saya melihat orang Cina itu jatuh perlahan ke dalam liang kuburannya. Pembunuh kriminal, begitu saya memanggil diri saya”.

Kekejaman Kempeitai sendiri tidak terlepas dari latar belakang kebanyakan anggotanya. Sebagian besar anggotanya berasal dari keluarga petani dengan ciri “berpikir secara tidak rasional, memiliki kecintaan yang berlebihan terhadap tanah air, dan cenderung berpikiran sempit”. Dengan kata lain, petugas patuh yang bodoh dan fanatik. Kenyataan ini menjadi lebih berbahaya karena mereka diberikan kewenangan untuk bertindak sendiri secara bebas. Dari Tokyo sendiri tidak ada tuntunan atau pengarahan tugas, sementara para pemimpin Kempeitai cendrung suka menutup-nutupi kesalahan anak buahnya. Apalagi harus diingat bahwa para pemimpin Kempeitai juga merangkap tugas sebagai ketua majelis mahkamah militer.

Fakta bahwa pollisi militer dan mahkamah militer itu menyatu membuat kekuasaan Kempeitai menjadi semakin besar, di mana mereka dapat saja memilih untuk menyelesaikan suatu perkara tanpa melalui proses pengadilan. Selama periode ini, pejabat Kempeitai dapat menjatuhkan vonis, termasuk vonis hukuman mati, hanya melalui persetujuan seorang perwira staf Tentara ke-16. pada periode seperti ini, berlaku peraturan bahwa vonis-vonis hukuman mati dilaksanakan secara diam-diam dan rahasia.

Untuk memperkuat cengkeramannya, Kempeitai diperkuat dengan tenaga-tenaga Indonesia, Cina, Arab dan beberapa orang Belanda. Selain bekerja sebagai penerjemah, banyak di antaranya yang bertindak sebagai sel mata-mata. Di samping pegawai tetap, ada pula orang-orang yang bekerja secara insidentil, yaitu untuk mendapatkan imbalan atas setiap jasa yang diberikannya. Keberadaan mereka menimbulkan kengerian yang sangat besar di kalangan penduduk. Pembantu utama Kempeitai di kalangan penduduk Indonesia adalah PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Badan ini sebenarnya pernah menjadi bagian dari kepolisian Hindia Belanda pada zaman kolonial dan tersebar di seluruh Indonesia. Tugas utama PID adalah memonitor siaran radio gelap, meniupkan kabar angin, melacak mata-mata musuh dan kepemilikan benda-benda yang terlarang, seperti senjata api ilegal, sera mengukur semangat dan pikiran rakyat, terutama apabila Jepang mengeluarkan suatu kebijakan baru. Akan tetapi, banyak pula di antara mereka yang menjadi algojo Jepang, di mana mereka minimal sama kejamnya dengan atasan Kempeitai-nya. (Din Osman)

BERGERAK SELAGI BERNAPAS
Sekalipun namanya tidak setenar rekan kempeitai mereka di Indonesia, sikap Tokkeitai tidak kalah kejamnya. Bahkan mereka terlibat dalam pembunuhan besar-besaran paling mengerikan dalam sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, Jepang melancarkan pembunuhan besar-besaran secara sistematis di Kalimantan (Barat). Tokkeitai menuduh bahwa telah terjadi suatu persekongkolan anti-Jepang di wilayah tersebut dan berusaha membenarkan tuduhan yang dibuat-buat itu melalui sejumlah besar pengakuan yang diambil di bawah siksaan. Dengan cara ini mereka mendapatkan pembenaran untuk mengeksekusi sedikitnya 63 orang sipil yang tidak bersalah setelah mendakwanya dalam sejumlah pengadilan mata-mata. Akan tetapi, orang Jepang kemudian meniadakan praktik pengadilan sandiwara itu dan semakin sering melakukan eksekusi tanpa pengadilan.

Penangkapan-penangkapan dilakukan secara mengerikan. Para korban diselubungi dengan karung pucuk, taplak meja, sarung bantal, dan sebagainya. Mereka kemudian digiring ke mobil-mobil yang terkenal sebagai auto sungkup. Penduduk lokal Kalimantan Barat menyebut masa itu sebagai masa sungkup merajalela. Dengan penjagaan ketat yang dilakukan di jalan-jalan, maka auto sungkup itu mondar-mandir mengambil dan mengantar mangsanya.

Secara keseluruhan sedikitnya terdapat 1.000 orang yang dibunuh di Mandor, 240 orang dibunuh di Sungai Durian, 100 orang di Ketapang dan banyak lagi korban yang tidak diketahui jumlahnya di Pontianak. Di antara para korban terdapat beberapa penguasa otonom lokal di Kalimantan Barat, termasuk sultan Pontianak dan sejumlah kerabatnya, beberapa orang Indonesia mantan pejabat di masa sebelum pendudukan Jepang, dan banyak pengusaha serta tokoh masyarakat Tionghoa serta Indonesia lainnya.

Aksi pembunuhan itu sendiri dilakukan atas perintah Markas Besar Angkatan Laut Jepang di Surabaya. Menurut kesaksian Letnan Yamamoto dari Tokkeitai setelah perang di depan sebuah pengadilan militer Sekutu, hanya 63 orang korban yang pernah diadili. Itu pun hanya pengadilan sandiwara. Sedang sedikitnya 1.000 orang korban lainnya, Yamamoto menyebut angka 1.340 korban, tidak pernah diadili karena dianggap hanya membuang-buang tenaga dan waktu saja.

Pada Agustus 1944, Tokkeitai melanjutkan kampanye penindasannya dengan menghukum mati 120 orang sipil Tionghoa di Singkawang, di mana hanya 17 orang yang melewati proses pengadilan setelah memberikan pengakuan akibat disiksa. Menurut penerjemah Jepang Hayashi yang terlibat dalam penyelidikan terhadap apa yang disebut sebagai Komplotan Kedua ini, komplotan yang dituduhkan itu sebenarnya tidak pernah ada. Satu-satunya motif dari pembunuhan tersebut adalah keserakahan dari pihak Tokkeitai. Pengakuan para korban bahkan sudah dibuat sebelumnya dan tinggal ditandatangani sesudah penyiksaan. Mereka semuanya dihukum mati. Para korban merupakan orang-orang kaya dan penting di daerah itu sehingga lebih baik dibunuh. Dengan demikian uang dan harta mereka dapat disita oleh Tokkeitai.

Setelah perang, seorang letnan Jepang, Hayashi, memberikan kesaksian mengenai pembunuhan terhadap penduduk setempat sebagai berikut. “Penduduk pribumi dibunuh dengan cara ditusuk dengan bayonet, tiga-tiga orang dalam setiap kesempatan, oleh 21 orang prajurit Jepang. Setelah eksekusi ini, saya mendirikan sebuah rumah bordil di mana saya memaksa para gadis setempat menjadi pelacur sebagai hukuman atas tindakan ayah mereka”. Bagian terakhir dari kesaksian sang letnan membongkar praktik kejam lainnya dari balatentara Jepang di Indonesia, yaitu kasus jugun ianfu.

Dalam arti lurusnya, jugun ianfu berarti wanita penghibur yang mengikuti tentara. Dalam dokumen-dokumen resmi tentara Jepang, nama resmi para wanita penghibur ini adalah teishintai, atau barisan sukarela penyumbang tubuh. Pada kenyataannya, banyak di antara para jugun ianfu bukanlah wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara sukarela dengan tubuh mereka. Praktik jugun ianfu pertama kali diadakan balatentara Jepang di Korea, wilayah yang dikuasainya sejak akhir abad ke-19. Korea juga menyumbangkan kontingen jugun ianfu terbesar, di mana sekitar 200.000 orang wanita dari negeri itu pernah dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.

Menurut laporan, banyak terjadi tindak kekejaman terhadap wanita-wanita yang malang itu. Sebagai contoh, apabila ada di antara mereka yang menolak memenuhi nafsu tentara Jepang dia akan dihukum dengan cara mengerikan. Bahkan wanita penghibur yang diketahui mengidap penyakit kelamin dibakar hidup-hidup. Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka uga mengambil wanita-wanita lokal Kalimantan Barat untuk menjadi jugun ianfu. Tidak semua perekrutan jugun ianfu dilakukan secara halus. Sebuah dokumen 13 Maret 1946 yang ditulis oleh para penuntut Belanda menyatakan kesaksian seorang pegawai sipil dalam tentara Jepang yang menceritakan bagaimana seorang perwira memaksa sejumlah wanita pribumi di Kalimantan (Barat) melakukan tindak asusila. (Din Osman)

RAKYAT BERONTAK
Zaman pendudukan Jepang merupakan salah satu periode terkelam dalam sejarah Indonesia. Romusha, kinrohoshi, penyungkupan dan jugun ianfu merupakan sebagian dari istilah Negeri Matahari Terbit itu yang melambangkan penderitaan bangsa Indonesia selama masa pendudukan Jepang. Namun periode ini juga ditandai dengan dorongan terhadap nasionalisme Indonesia yang dilakukan oleh balatentara Dai Nippon, yang pada akhirnya membuka jalan kolektif bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di Kalimantan Barat, gerakan perlawanan terhadap Jepang, seperti juga kerja sama dengan mereka yang ditempuh para kolaboratornya, muncul karena berbagai macam harapan yang berbeda. Pada mulanya, gerakan perlawanan di Kalimantan Barat terutama dilakukan karena keterikatan dengan Belanda dan Sekutu ataupun karena ideologi anti-fasis. Kelompok pertama terutama dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang kebanyakan di antara mereka di masa sebelum pendudukan Jepang aktif bergerak di tengah-tengah masyarakat, maupun bekas anggota KNIL.

Sementara itu, dendam kesumat rakyat Kalimantan Barat terhadap kebijakan sewenang-wenang Jepang semakin bertambah oleh disiplin keras yang diterapkan pemerintahan militer negara matahari terbit tersebut. Orang Kalimantan Barat yang hidup pada masa ini masih mengenang bagaimana mereka dipaksa membungkuk untuk menghormati tentara Jepang dan betapa seringnya kekerasan fisik dilakukan terhadap mereka secara teratur. Oleh karena orang Kalimantan Barat menganggap kepala sebagai bagian tubuh yang sangat sakral, tamparan di muka seperti yang sering dilakukan oleh tentara Jepang dianggap sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap kehormatan diri. Dendam kesumat ini akhirnya pecah menjadi perlawanan rakyat.

Tidak semua perlawanan rakyat tersebut dapat ditindas oleh Jepang. Pada awal 1945, orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di pedalaman Kalimantan (Barat) bangkit melawan Jepang. Pasukan Jepang, yang sibuk menghadapi pendaratan pasukan Sekutu di Kalimantan Utara dan Timur, menjadi kelabakan menghadapi serangan di garis belakangnya ini. Kegarangan orang Dayak dalam bertempur membuat banyak prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Bahkan para pemberontak berani mendemonstrasikan keberaniannya memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk senapan lantak, tombak, parang, mandau dan sumpit.

Perlawanan terhadap Jepang bahkan menyebar ke sejumlah unit militer bentukan mereka sendiri. Kesengsaraan yang diderita oleh rakyat di sekelilingnya dan perlakuan buruk perwira Jepang, merupakan pendorong utama dari pemberontakan-pemberontakan ini. Berita kekejaman Jepang menyulut amarah rakyat di Kalimantan Barat. Muncul perlawanan masyarakat Dayak. Pertengahan Februari 1945 di Nitinan, Pangsuma bersama suku Dayak lainnya melakukan semacam aksi balas dendam. Pangsuma memenggal Kusaki pempinan perusahaan perkayuan tempatnya bekerja. Mereka kemudian membakar satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komantan Kempeitai Kaisu Nagatani di Meliau. Seorang pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi juga dipenggal.

Peristiwa itu membuat semangat di kalangan suku Dayak berkobar. Gerakan perlawanan berkembang luas ke segenap rumpun Dayak di hulu, pesisir dan pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito dan Mahakam. Jepang yang makin panik mengerahkan pasukannya. Terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pangsuma dan militer Jepang di Meliau. Pangsuma dan sejumlah patriot Dayak seperti Panglehan tewas. Perlawanan laskar Pangsuma dilumpuhkan. Tapi cita-cita patriot itu terkabul. Berselang tiga bulan setelah Pangsuma gugur, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diproklamirkan. (Din Osman/Iesna Dino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar