Minggu, 14 Desember 2008

REKAYASA MILITER
Tanggal 19 Desember 1941, Pontianak diserang sembilan pesawat pembom Jepang, terkenal kemudian mengambil korban ratusan bahkan ribuan orang. Terutama daerah pasar, Kampung Bali (Jalan Sisingamangaraja sekarang) dan sekitarnya. Selama pendudukan Jepang, rakyat terbiasa menderita. Terbiasa menyembah ke arah matahari terbit, di mana berada Tenno Haika. Terbiasa baris kangkong, baris keladi atau baris kembong.

Hingga tibalah saat yang sangat menakutkan dan mengerikan: sungkop, sebutan yang sangat popular yang diarahkan rakyat pada tentara pendudukan Jepang ketika heitasan mulai menangkapi kaum cerdik pandai, tokoh-tokoh masyarakat, raja-raja dan keluarganya, pedagang besar dan menengah yang umumnya terdiri dari pengusaha Tionghoa, laki-laki maupun perempuan.

Mereka yang ditangkap itu dijemput dari rumah atau dari kantor. Kemudian kepala dan mukanya dibungkus dengan blansai, kantong anyaman terbuat dari daun sejenis pandan yang dikeringkan, tetapi kini telah digantikan dengan plastik.

Satu generasi kaum cerdik pandai dan tokoh-tokoh terkemuka Kalimantan Barat yang diperkirakan ribuan jumlahnya, habis dibunuh dan dipancung Jepang yang dipusatkan di Mandor dan sebagian kecil di Ketapang atau di tempat yang berserakan. Karena letak Kalbar yang strategis, penduduknya waktu itu hanya berjumlah satu setengah juta orang, luasnya satu setengah kali Pulau Jawa tambah Madura dan Bali, maka Kalbar akan dijadikan Manchuria dan Korea kedua. Umur dua belas tahun ke atas semuanya dibunuh habis, generasi sisanya sampai kanak-kanak dididik ala Jepang ditambah dengan orang-orang Jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka akan jadilah Kalbar dalam lima puluh tahun mendatang sebagai Jepang benaran. Itu rencana militer Jepang.

Di Manchuria, Korea dan Taiwan sampai dengan 1950 penduduk pribuminya fasih berbahasa Jepang dan tahu benar dengan kebiasaan dan adat istiadat Jepang. Kalimantan Barat dikatakan strategis, karena dari Jepang berlayar ke selatan melalui Philipina, Brunai dan Sarawak, langsung mendempet daerah Kalbar. Dari Sarawak ke Kalbar sejak lama banyak jalan tikus atau istilahnya belum ada jalan raya seperti sekarang. Dan perbatasan Kaltim dan Kalsel, Kalteng hutannya masih lebat. Kemungkinan orang Kalbar lari ke Kaltim, Kalsel atau Kalteng tipis sekali karena hutan lebat dan belum ada jalan seperti sekarang ini. Jadi, penyembelihan di Kalbar adalah proyek dan percontohan pertama Asia Timur Raya dijepangkan oleh Saudara Tua waktu Perang Dunia II. Jepang menamakan dirinya Saudara Tua dan kita Saudara Muda alias budak-budaknya.

Selama Perang Dunia II, Kalimantan Barat benar-benar terisolir. Tidak ada hubungan pos. tidak ada telkom. Tidak ada pelayaran apalagi pesawat udara. Yang ada hanya telkom dan angkutan tentara Jepang. Surat kabar hanya Borneo Sinbun yang menggunakan kertas merang dan dipimpin oleh perwira intel Jepang. Sempat pimpinan redaksinya orang Indonesia, meneer Faath, yang belakangan kemudian juga dijadikan korban penyungkupan.

Sesuai dengan pembagian wilayahnya, Kalimantan Barat (dan juga Kalimantan, Sulawesi dan seluruh Indonesia Timur) berada dalam kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun). Sifat khas wilayah Kalbar yang banyak memiliki penduduk Tionghoa, membuahkan dampak tersendiri. Para pemimpin militer setempat mungkin menyadari, perang Asia Timur Raya yang mereka lancarkan, diawali dengan penyerbuan ke daratan Cina.

Dengan demikian, sejak awal memberlakukan langkah tertentu untuk mengelola Kalbar. Dilengkapi kenyataan, pasukan Jepang yang mendarat pada Februari 1942 di Tanjung Kadok Pemangkat dan muara Sungai Kapuas, seluruhnya terdiri dari Tentara XIX eks Kwangtung Army yang terkenal dan baru saja membantai daratan Cina. Pertanyaan paling menarik adalah, mengapa penguasa militer Jepang melakukan pembantaian, dan berapa besar jumlah korban sesungguhnya? Dan benarkah, memang terdapat suatu komplotan rahasia untuk menggulingkan kekuasaan Jepang di Kalbar ini?

Betapa pendudukan Jepang telah menorehkan luka sangat dalam pada diri warga masyarakat Kalbar. Ribuan penduduk ditangkap dengan tuduhan melakukan pembangkangan, dan beberapa di antaranya malahan langsung dijatuhi hukuman mati. Pembantaian tersebut dilakukan oleh Tokkeitai (polisi istimewa Angkatan Laut). Sebuah teori menyebutkan, dengan mengacu kepada kenyataan geografis dan demografis setempat, Jepang sebenarnya pernah ingin men-jepang-kan Kalbar sebagaimana pernah mereka cobakan ketika menguasai Korea dan Manchuria. Garis pemisahan yang tajam telah diberlakukan kepada setiap kelompok masyarakat, pembersihan dilakukan kepada kelompok intelektual serta upaya mendekati warga Tionghoa setempat. Hanya sayangnya, atau justru malahan beruntung mujur, kebijakan tersebut akhirnya tidak sempat terwujud, karena Jepang telanjur cepat menyerah kepada Sekutu.

Ketika perang selesai dan pasukan Sekutu kembali menduduki Kalbar, kasus ini langsung menjadi agenda utama penyelidikan. Menurut hasil penelitian resmi, korban yang bisa diidentifikasikan seluruhnya berjumlah 1.534 orang. Mereka terdiri dari 577 orang Indonesia, 903 keturunan Cina atau Tionghoa, 36 berkebangsaan Eropa dan 18 warga keturunan Arab. Kasus ini segera memperoleh penanganan prioritas. Pihak Sekutu menyelenggarakan mahkamah militer dan menjatuhkan hukuman mati kepada 14 anggota militer Jepang yang dianggap paling bertanggung jawab atas pembantaian tersebut di Kalbar.

Teori konspirasi (dari para korban) sebagaimana dulu dituduhkan Tokkeitai, sama sekali tidak pernah terbukti. Tetapi kemungkinannya adalah, terdapat sekelompok perwira muda dari kesatuan polisi istimewa ingin menaikkan gengsi mereka di mata panglimanya yang ada di Tarakan, Kalimantan Timur. Untuk itu mereka sengaja merekayasa teori konspirasi, sehingga bisa membereskan para korban dengan sekali tebas.

Rekayasa atau tidak, lebih 1.500 penduduk Pontianak (Kalbar) telanjur tewas hanya untuk memenuhi ambisi 14 perwira muda yang ingin mencari nama. Mereka tega mencari kesempatan dengan memakan orang lain. Akhirnya, tidaklah kurang pentingnya: mengandung pesan kepada generasi sekarang dan selanjutnya, bahwa apa yang mereka capai masa kini, sukses pribadi maupun sukses Indonesia secara umum, kesemua itu dimungkinkan karena sebelumnya ada para pendahulu yang tanpa pamrih bersedia mengorbankan segalanya demi kemerdekaan Indonesia yang tercinta ini. (Din Osman/Iesna Dino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar