Minggu, 14 Desember 2008

DIMULAI DENGAN TUKANG FOTO
Sesungguhnya, Jepang sejak zaman Belanda, di masa Perang Dunia I, telah menyebarkan intelijennya ke Kalbar. Sehingga tatkala tentara Jepang masuk, 1941, mereka telah tahu dengan pasti di mana tempat mendarat, di mana tangsi militer Belanda. Bahkan mereka sudah tahu di mana lokasi bahan-bahan tambang dan tempat penebangan kayu yang mudah untuk dikeluarkan ke Sungai Kapuas. Oleh sebab itu, tatkala tentara Jepang masuk ke Kalbar diikuti pula oleh dua perusahaan. Masing-masing perusahaan Nomura yang bekerja di pertambangan, baik pertambangan batu tungau bahan baku mesiu atau alat peledak, maupun tambang emas. Sedangkan sebuah perusahaan lagi yaitu Sumitomo bergerak di usaha penebangan kayu.

Perusahaan Sumitomo juga merupakan sebuah perusahaan perkapalan. Kapal-kapalnya berlabuh di Telok Air, menunggu lanting kayu log dari pehuluan Kapuas. Mereka juga mengkoordinir penebangan kayu di daerah pedalaman Kalbar, kemudian dihanyutkan ke hilir. Sampai di Suka Lanting, mereka tidak belok kanan menuju Pontianak, melainkan belok kiri menuju Telok Air Batu Ampar. Konon, sampai tahun 1970-an kapal-kapal Sumitomo kembali masuk ke Telok Air Batu Ampar mengangkut kayu Kalbar yang waktu itu waktu log bebas diekspor ke luar negeri. Dan saat itu Kalbar tengah jaya-jayanya dalam sektor perkayuan ini.

Salah seorang intelijen Jepang yang sudah masuk ke Kalbar pada zaman Belanda, sebelum pendaratan Jepang, adalah Honda. Kerjanya sebagai tukang potret. Dia berkeliling daerah untuk memotret apa saja yang ditemuinya. Selain Honda, untuk profesi yang sama, ada pula Takeda.

Kota Pontianak, sekitar Kampung Bali, telah dibom oleh sembilan pesawat terbang Jepang. Banyak korban yang jatuh, baik masyarakat terlebih murid sekolah. Di Kampung Bali, sekitar Jalan Sisinga Mangaraja Pontianak sekarang, terdapat sekolah rakyat di sana. Pemboman yang dilakukan Jepang di Pontianak ini, terjadi Jumat 19 Desember 1941. maka keadaan sehabis halat Jumat jadi panik. Dari masjid orang berlarian pulang, untuk kemudian ada yang terus mengungsi ke pedalaman. Ada yang mengungsi dengan sampan, ada pula yang mengungsi bersama rakit tempat tinggalnya. Sekali-sekali terlihat pesawat pemburu Jepang yang terbang melintas. Bahkan kemudian sampai berjumlah 29 kapal terbang!

Suatu subuh di bulan Desember, demikian Almarhum Syekh Abdul Azis Yusnian yang saat itu baru berusia sekitar 13 tahun di hari tuanya menuturkan, tentara Jepang sudah masuk Pemangkat. Mereka mendarat dari laut, merapat di pantai Tanjung Kodok Pemangkat dengan menggunakan landing ship berhaluan dua, dalam ukuran kecil. Ditaksir jumlah mereka seluruhnya sekitar 5 kompi. Dari Bukit Tanjung Batu Pemangkat, terlihat oleh penduduk di sana ada 12 kapal perang Jepang yang sudah berlabuh di tengah Laut Cina Selatan. Inilah pendaratan pertama balatentara Jepang di Kalimantan Barat.

Azis mengatakan, pagi hari tentara Jepang menyebar turun ke Singkawang sekitar 145 kilometer di utara Pontianak, atau naik ke Sambas. Di Tebas, antara Pemangkat dan Singkawang, jembatan di sana dibumihanguskan Belanda untuk menahan gerak maju tentara Jepang. Tentara-tentara Belanda, laksana kekuatan yang membisu, melarikan diri tanpa memberikan perlawanan. Di pedalaman Sambas, ada berita rakyat membunuh Bobby seorang tuan kebun berkebangsaan Belanda. Kesempatan rakyat balas-dendam atas perlakuan yang diberikannya selama sebelum itu.

Sedangkan Belanda sipil ataupun para pastor yang tertangkap Jepang, diangkut ke Kuching Sarawak. Sekitar seminggu setelah pendaratan tersebut, di Pemangkat telah bercokol 1 kompi tentara Jepang. Semula adalah pasukan Rikugun, dikenal luas dengan sebutan Bintang, yang kelak digantikan Kaigun atau disebut orang Jangkar.

Berita-berita dari kota lain sukar masuk, karena alat komunikasi tidak ada. Malahan tak ada mobil yang menghubungkan atau dari dan ke Pontianak. Di Sanggau Kapuas, Jepang mengambil paksa barang-barang perhiasan seperti emas, intan berlian dan lain sebagainya dengan dalih untuk membikin alat-alat perang. Kalaupun ada istilah tukar menukar, maka untuk setiap karat intan paling-paling dibarter dengan 2,5 meter kain Suka Mandi.pada tahapan selanjutnya, rakyat diperintah untuk menyerahkan setiap senjata yang mereka miliki. Apakah itu keris atau meriam atau senapan lantak, senjata yang disebut terakhir ini mereka sita hanya untuk dibuang ke tengah Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam. (Din Osman/Iesna Dino)

NYAWA MANUSIA TAK DIHARGAI SEPESERPUN
Mengenai korban pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Jepang di daerah Sanggau Kapuas, terdiri dari kalangan feodal otonom lokal, kaum pergerakan, ambtenaar, pedagang kebanyakan kalangan Tionghoa, cerdik-pandai terutama kalangan pengajar, dan pemuda kepanduan. Status korban penyungkupan ini di Kalbar nyaris sama. Mereka diciduk rata-rata malam dan dinihari, dengan mata ditutupi kain atau sarung bantal. Para korban belakangan disebut korban penyungkupan. Mereka diangkut dengan mobil truk, dan disungkup dengan terpal. Tapi ada pula yang diangkut dengan kapal motor khusus. Bahkan seorang konglomerat lokal, pengusaha Tionghoa Tio Phia Cheng dari Ketapang, diangkut dengan kapal motor sungai miliknya sendiri untuk diantarkan ke Pontianak, yang selanjutnya tak bukan lagi sebagai korban penyungkupan pula.

Dalam penuturan lanjutnya, Azis Yusnian mengaku, Juni 1945, saat di mana rakyat pedalaman suku Dayak yang tergabung dalam Laskar Majang Desa bangkit melawan penindasan tentara pendudukan yang mengaku dirinya sebagai Saudara Tua itu dan ikut bergabung ke dalamnya orang-orang Melayu militan dan lain-lain, ia bersama dua orang jepang dari maskapai Nomura berangkat dari Pontianak menuju Sanggau lewat jalan darat.

Kenangnya, ketika akan melewati Kopyang Mandor, mobil yang mereka tumpangi berjalan perlahan, kemudian sejenak berhenti. Mereka pun turun. Di mulut jalan yang menyimpang ke kanan, berjaga-jaga dua orang Kempeitai Jepang. Mereka memberi hormat dengan cara bersaikere, dan mereka membalas. Kemudian ketiganya meneruskan perjalanan. Kepada salah seorang Jepang teman seperjalanannya Takeuchi, Azis sempat bertanya apa yang mereka jaga di situ. Takeuchi hanya menjawab kalau Jepang membikin sebuah benteng kuat di situ untuk menghadapi Sekutu.

Azis yang masih belia usianya ketika itu hanya mengangguk saja. Sedikitpun ia tak menyangka kalau di situ tempat atau mungkin lebih tepat disebut ladang pembantaian manusia yang kejamnya luar biasa. Setiap mereka yang diangkut ke sana, maka nyata kemudian akan hilang tak berbekas. Pada 1946 ketika berada di Ngabang, sekitar 167 kilometer timur Pontianak, Azis memperoleh kabar dari Ibrahim Saleh yang datang dari Pontianak bercerita bahwa di Mandor banyak ditemukan tulang-belulang manusia berserakan dimakan babi hutan. Menurut pemuda Ibrahim Saleh yang saat itu menapaki karir sebagai wartawan, hal itu baru ditemukan oleh penduduk setempat dan telah dilaporkan kepada pemerintah di Pontianak.

Dari Pontianak kemudian datang utusan untuk memeriksa. Dan tentara Australia—Sekutu memang menemukan tulang belulang dan tengkorak manusia berserakan di sana. Dipastikan, di situlah korban mobil sungkup dibantai. Setelah kabar tempat pembantaian itu pecah ke mana-mana, salah seorang perempuan Tionghoa telah datang ke sana untuk melihat-lihat, kalau-kalau suaminya telah pula menjadi korban. Karena beberapa waktu sebelumnya, suami wanita itu telah raib dibawa Nippon.

Dan betul. Ia menjumpai mayat suaminya di situ. Mayat itu bisa dikenal dari gigi dan pakaiannya. Menurut cerita kemudian, wanita Tionghoa tadi diperbolehkan membawa mayat suaminya untuk dimakamkan secara baik. Almarhum H Achmad Noor menceritakan pula, sampai di Mandor, tengkorak dan tulang belulang masih banyak yang berserakan. Dan ada pula yang lagi disusun bertumpuk-tumpuk. Menyaksikan pemandangan yang menusuk hati itu, akunya, tak terasa menangis. Betapa pula jika membayangkan pembunuhan yang buas, di mana nyawa manusia tak dihargai sepeser pun … (Din Osman)

LADANG PEMBANTAIAN MANUSIA
Adalah M Saiyan Tiong. Ia pada 1942—1944 berjabatan sebagai Fuku Guntyo di Mandor. Jabatan sederajat camat saat sekarang. Ia semasa hidupnya menuturkan, mulai bekerja di Mandor dengan jabatan pertama sebagai juru tulis. Kemudian pada 1942 diangkat sebagai Fuku Guntyo. Penghujung 1942 Jepang mengabarkan kepadanya akan membuat lapangan di Mandor. Dipesankan agar penduduk jangan mendekati lokasi yang diberi pagar kawat berduri. Di sana akan dilakukan penjagaan ketat, dan siapapun yang coba datang mendekat akan ditembak mati.

Tiga hari sekali, katanya, Jepang datang ke Mandor. Mereka minta bantuan makanan. Sering pula mereka menangkap sendiri ternak peliharaan penduduk, ataupun menembak buah kelapa. Pada waktu itu sering terjadi penganiayaan. Kalau penduduk tidak mau memberikan apa-apa yang mereka minta. Sasaran utama adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di pasar Mandor. Tak jarang mereka masuk ke rumah penduduk, mencari sesuatu yang diperlukannya. Keadaan seperti itu berlangsung sekitar enam bulan. Saiyan mengaku kelelahan meladani mereka.

Setelah lapangan yang dibikin oleh orang-orang hukuman selesai, maka tiap malam ataupun sore hari, sering terdengar tembakan di sana. Pun pada malam hari, mobil-mobil truk sering terdengar datang. Jarak jalan simpang ke lapangan dengan rumah kediaman Saiyan sendiri sekitar 300 meter. Pernah juga dia melihat apa isi truk yang selalu datang itu. Tampak kaki manusia terjulur dari bawah terpal. Waktu itu, ia mengira kaki-kaki tersebut milik tentara Jepang yang lagi tidur.


Setelah Jepang kalah dan lari, tentara Australia datang menemui Saiyan di Mandor. Mereka, katanya, minta diantarkan ke tempat pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara Jepang. Tentu saja Saiyan sangat terkejut. Karena tidak pernah mengetahui tentang hal itu. Tetapi setelah mendapat penjelasan dari tentara Australia itu, dan merangkaikan tingkah laku orang-orang Jepang, mereka lalu Saiyan tunjuki lokasi yang dipagari kawat berduri tersebut.

Begitu mendekati tempat itu, kenang Saiyan, hidung mencium bau mayat! Busuk, amis dan kepahitan. Terlihatlah tulang belulang manusia yang teronggok, bekas dimakan babi. Itu adalah tulang belulang milik korban yang tidak sempat dikuburkan oleh tentara Jepang. Yang sudah mereka pendam dalam lubang yang dangkal juga banyak. Tentara Australia kemudian bermufakat untuk menguburkan tulang belulang tersebut.

Untuk memunguti tulang belulang itu saja, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Kemudian lalu dikuburkan di parit-parit yang terdapat di sana. Menurut keterangan tentara Australia itu seperti dikutip Saiyan, sebagian tulang belulang tersebut akan dimakamkan di tempat lain. Hanya saja, tempat pemakaman itu Saiyan sendiri tidak tahu. Tentara Australia mengatakan bahwa kuburan massal di Mandor akan diperbaiki, bekerjasama dengan NICA.(Din Osman)

UNTUK TAK MELUPAKAN SEJARAH
Sebuah sumber mengatakan, terungkapnya peristiwa Mandor, tidak bisa dipisahkan dengan era pemerintahan Gubernur Kadarusno. Ia gubernur Kalbar kelima, 1972-1977. Ia bekas tentara KNIL Belanda. Saat masih menjadi kopral, ia anak buah Sultan Hamid II yang ketika itu menjadi perwira militer dan mendapat pendidikan ketentaraan di Breda Belanda. Saat menjadi gubernur, Kadarusno memerintahkan anak buahnya meneliti keberadaan makam yang terletak di Mandor. Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan makam kerangka berserakan di berbagai area di Mandor tersebut.

Di mana mayat lainnya? Sungai Kapuas, kata sumber tadi. Sungai Kapuas dan Landak, ketika itu menjadi jalur bagi pengangkutan tahanan dari Pontianak ke Mandor. Para tahanan diculik di daerahnya dan dibawa ke Pontianak. Setelah itu, baru dibawa ke Mandor. Dalam perjalanan ada yang sakit. Mereka langsung dilempar ke sungai. Orang yang tidak sakit pun, bisa saja di lempar ke sungai. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan. Karena, tak mungkin Jepang menguburkan satu persatu tahanan. Biayanya akan sangat besar, kata sumber dimaksud.

Pembunuhan para korban peristiwa Mandor, tidak sekaligus. Namun, bertahap. Pembunuhan itu berawal sejak April 1943, dan berakhir sekitar Juli 1944. Alasan pembunuhan dilakukan pada April 1943, ketika itu di Banjarmasin sudah mulai terjadi pemberontakan melawan Jepang. Ada dua orang dari Banjarmasin dikirim ke Kalbar. Tugasnya, memberitahu permasalahan yang sedang terjadi di Banjarmasin, kepada para pemimpin di Kalbar. Keduanya adalah dr Soesilo dan Makaliwe. Dua orang inilah sering bertemu dengan para pemimpin Kalbar di Gedung Medan Sepakat, sebuah gedung di Jalan Jenderal Urip Pontianak sekarang. Dulunya, gedung itu sering menjadi tempat berkumpul para pejabat, pengusaha, aktivis pergerakan, dokter, dan para pembesar kerajaan di Kalbar. Mereka terdiri dari beragam etnis.
Dalam berbagai pertemuan itulah, mereka mencari jalan dan berdiskusi untuk melawan Jepang. Caranya, melalui gerakan massa rakyat. Mereka beranggapan, penyebab berbagai kesulitan hidup, akibat penjajahan Jepang. Maka, negeri matahari terbit itu, mesti memperbaiki kondisi di masyarakat. Saat itu, sulit menemukan keberadaan senjata. Jepang tidak percaya memberikan senjata, meskipun kepada warga Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuknya. Namun, negeri ini memang sarang penghianat, kata Sudarto seorang peneliti sejarah Kalbar.

Para penghianat yang merupakan warga Indonesia sendiri, antaranya mereka yang menjadi kolaborator dan informan Jepang, menambahi berita itu dengan berbagai bumbu dan cerita. Seolah-olah, para pemimpin itu, akan melakukan perlawanan bersenjata pada Jepang. Tentara pendudukan Jepang langsung merespon dengan berbagai penangkapan.

Ada dua hal yang menjadi kekhawatiran Jepang, saat itu. Pertama, pasukan Jepang di berbagai medan pertempuran, mulai terpukul mundur. Bahkan, dalam berbagai pertempuran di lautan Pasifik, Jepang mulai kalah dan terjepit. Misalnya, di Filipina dan berbagai medan pertempuran lainnya. Kedua, orang yang dibunuh, punya massa dan menjadi pemimpin bagi warganya. Bila mereka memerintahkan sesuatu pada rakyatnya, Jepang sangat khawatir, bakal menjadi perlawanan bagi pemerintahan pendudukan Jepang.

Penyungkupan atau penculikan selalu terjadi pada tengah malam ataupun dinihari. Setelah diculik, para pemimpin itu disungkup. Kepalanya ditutup dengan karung goni. Para pemimpin itu dibawa ke kantor Kepolisian Syutizi atau tangsi militer.

Munculnya jumlah angka korban Mandor sebanyak 21.037 orang, karena berita di salah satu di Pontianak, Harian Akcaya. Angka ini masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Bahkan, seorang komandan Jepang yang dihukum mati di Kalbar, Yamamoto, juga mengaku tidak tahu. Menurut Sudarto, hal yang bisa dilakukan sekarang ini, untuk mengetahui jumlah sebenarnya tentang jumlah korban peristiwa Mandor, harus meneliti berbagai dokumen pengadilan perang di Jepang. Sudah ada kebijakan dari pemerintah Jepang, untuk mengakses berbagai dokumen pengadilan itu. Dokumen itu, tentu menggunakan huruf Kanji. (Din Osman/Iesna Dino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar