Minggu, 14 Desember 2008

NERAKA PETIKAH DAN PEMBERONTAKAN
RAKYAT KALIMANTAN BARAT

PETIKAH SEBUAH LADANG PEMBANTAIAN
Jelas bukan hanya Mandor dan Sungai Durian (kini Bandara Supadio) tempat pembunuhan dan penguburan korban keganasan tentara pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Bukan pula hanya di belakang Markas Korem dan bangunan yang kini sudah berganti menjadi Kantor GIA Pontianak, yang menjadi tempat penyiksaan dan pembantaian manusia. Di rimba belantara Kalimantan Barat juga terkubur ribuan korban yang umumnya para pemuda tunas bangsa yang ketangguhan fisiknya diandalkan Jepang untuk bekerja di pertambangan dan penebangan kayu. Sangat memilukan dan mengiris perasaan.

Di hulu Sungai Bunut Kapuas Hulu, masuk Sungai Mentebah, mereka dipekerjakan sebagai kuli di Petikah, di pertambangan batu tungau, menggali, mencari dan mengumpulkan batu tungau yang berwarna merah. Untuk membongkar batu tungau dari dalam tanah dan bebatuan, Jepang menggunakan dinamit, di mana ledakannya menimbulkan lubang-lubang yang besar. Hal ini dilakukan Jepang di tujuh lokasi pertambangan, yaitu Petikah I, Petikah II, Petikah III, Petikah IV, Petikah V (Saksara, ada sumber air panas), Petikah VI (masuk Sungai Kenarin) dan Petikah VII (Pasinduk cabang Sungai Kenarin).

Semua pekerja di pertambangan batu tungau itu, tidak pernah diberi upah, melainkan sebagai kuli cuma-cuma, mungkin sejenis romusha. Hanya diberi makan nasi bercampur antah yang sangat banyak. Biasa pula nasi yang demikian itu dicampur dengan buah keladi. Sebagai lauknya diberi seekor ikan seukuran dua jari dan daun pakis 3 batang. Dan makanan yang diberikan itu pun sangat tidak memadai, bagi seorang pekerja berat. Sehingga banyak yang jatuh sakit, berak darah dan terkenan demam malaria.

Kalau ada yang sakit dan tak bisa bekerja, tentara Jepang memberi obat berupa minyak tanah bercampur sabun. Jumlah pekerja di setiap lokasi pertambangan sekitar 10.000 orang. Sehingga jumlah pekerja di pertambangan batu tungau itu seluruhnya berjumlah sekitar 70.000 orang. Para pekerja itu bukan berasal dari daerah Kapuas Hulu, melainkan dari daerah pantai dan hilir, seperti dari daerah Sambas, Singkawang, Toho, Sanggau, Sekayam, Jangkang, Sekadau, Sintang ataupun daerah Melawi.

Kuli-kuli romusha kerja paksa itu selain orang Melayu juga Tionghoa, Dayak dan terbanyak orang Dayak. Kalau ada kuli yang malas bekerja, dipukuli oleh tentara Jepang. Dan kalau tidak bisa bekerja karena sakit, demikian juga, dipukuli sampai mati. Tak aneh bila setiap hari banyak orang yang mati. Mati karena sakit, kekurangan makanan, mati karena dianiaya dan dibunuh. Pertambangan Petikah bagaikan neraka. Para remaja dan orang muda yang semula datang dengan badan sehat dan tubuh tegap, berangsur-angsur menjadi kurus kering, bermata cekung, wajah pucat. Karena ketiadaan pakaian, hampir seluruhnya bercawat kulit kayu kepuak. Yang mati dan dibunuh, mayat-mayatnya langsung dikuburkan di bekas-bekas lubang galian yang tidak dipergunakan lagi.

Semua pekerja tidak diperbolehkan memiliki pisau ataupun parang. Semua senjata disita tentara Jepang. Pernah sejumlah orang Dayak, Iban dan Kantu, sekitar 500 orang, didatangkan ke Petikah, untuk menjadi kuli. Namun karena mereka tak mau meninggalkan atau melepaskan parangnya, mereka disuruh pulang. Rupanya orang Jepang tak mau bersikap keras terhadap orang Iban dan Dayak di Kapuas Hulu. Mereka menyadari bahwa mereka bekerja di lingkungan Dayak dan orang-orang Kapuas Hulu. Sehingga bila terjadi sesuatu, bisa-bisa mereka akan diserang, beramai-ramai.

Oleh sebab itu, orang di Kapuas Hulu boleh dikatakan tidak ada yang dijadikan kuli, tetapi diharuskan menyumbang beras ataupun padi. Semua kuli didatangkan dari hilir. Betapa Jepang memukul dan membunuh banyak orang sampai mati. Ada yang diikatkan ke tiang. Bersamaan dengan masuknya tentara Jepang ke Kalimantan Barat, masuk pula dua perusahaan Jepang yang bergerak di bidang pertambangan dan perkayuan. Yaitu perusahaan Nomura di bidang pertambangan, dan perusahaan Sumitomo di bidang perkayuan. Seperti halnya di pertambangan batu tungau di Petikah, demikian juga di perusahaan kayu. Jepang mempekerjakan rakyat secara paksa untuk menjadi kuli menebang dan merakit kayu untuk dihilirkan entah ke mana. Di bidang perkayuan ini pun banyak kuli yang mati dan dibunuh. Di Petikah ada lebih kurang 20-an orang Jepang dan sejumlah personil tentara juga. Di antara mereka adalah Akimoto, Kawasima, Tekaki, Kanigawa dan Hirata.

Di daerah pehuluan, Jepang juga menjatuhkan bom. Antara lain dijatuhkan di Gunung Ulak daerah Sungai Embau, tapi tidak meledak. Terbilang banyak juga bom Jepang yang tidak meledak, antara lain di Ngabang. Dari sekitar 70.000 kuli yang bekerja di pertambangan batu tungau Petikah, berapa jumlah korban yang terkubur dan dipendam di lubang-lubang bekas galian, tidak bisa dihitung dengan pasti. Sudah tentu sangat banyak, bisa berpuluh ribu orang. Bayangkan masa kerja paksa dari awal 1942 sampai Agustus 1945. Tidak dibunuh pun pasti banyak orang yang mati di tengah rimba ini karena kekurangan makanan, kerja berat, karena sakit, karena berak darah dan malaria. Apalagi memang banyak pembunuhan yang dilakukan Jepang.

Perlawanan terhadap tentara Jepang oleh orang-orang Dayak yang tergabung dalam Laskar Majang Desa sejak awal 1945, ada kaitannya dengan rasa dendam terhadap Jepang. Karena banyak orang Dayak yang dibawa dan menjadi korban di Petikah. Tatkala Jepang kalah perang, orang-orang Jepang di Petikah lari ke Pontianak. Dan kuli-kuli yang masih hidup, bubar, meninggalkan pertambangan Petikah yang penuh kesengsaraan dan tempat kematian itu, membawa nasib masing-masing. (Din Osman)

RAKYAT PEDALAMAN BERONTAK
Penderitaan akibat penindasan semakin dirasakan berat dan parah. Kerja paksa terjadi di mana-mana, pemerkosaan, kekejaman dan perampokan terdengar di setiap saat. Pendudukan militer Jepang adalah merupakan puncak dari penderitaan dan kekejaman yang tiada taranya. Sebagai jawaban dari sikap pemerintah Jepang, rakyat Meliau, khususnya orang Dayak Desa, meletuslah peristiwa Suak Garong yang bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu Jepang KKK dengan cabangnya di Sungai Posong anak Sungai Embuan yang bernama Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha atau SSKK.

Buruh atau pekerja dari perusahaan tersebut tidak khayal lagi adalah penduduk setempat. Mereka dipaksa bekerja dengan tidak mendapat imbalan upah yang layak. Di balik penderitaan dari sebagian besar rakyat ini ada pula beberapa orang yang bernasib mujur. Karena kepandaian mereka berhasil mengambil hati Jepang, diberi pekerjaan sebagai pengawas atau mandor. Lebih dari itu mereka telah berhasil diperalat dan dijadikan mata-mata terhadap buruh-buruh kasar. Hal ini sangat menekan perasaan dan menyayat hati mereka yang bekerja sebagai buruh kasar. Takut disiksa dan dibunuh oleh Jepang, mereka terpaksa bekerja terus dengan meninggalkan anak istri. Kesempatan untuk pulang ke kampung halaman tidak selamanya mendapat izin, seperti yang terjadi terhadap beberapa orang penduduk Suak Garong. Karena tidak mendapat izin, secara diam-diam pulang ke kampung dengan maksud akan mencari makanan, sebab makanan telah tiada dan tidak mampu bekerja dengan perut kosong.

Pimpinan perusahaan Jepang di Posong maupun Kunyil mengetahuinya. Yamamoto yang digelari masyarakat di Meliau, Tayan dan sekitarnya Tuan Pentong berkedudukan di Kunyil Embuan sebagai pimpinan KKK, membawa seorang pegawai atau kerani bernama Atet menuju Kampung Suak Garong di Melawi Meliau. Pimpinan rombongan pekerja romusha yang nekat kembali itu Lisi. Oleh sebab itu Tuan Pentong menjadi semakin marah. Siapa saja yang dijumpai di kampung itu ia pukul. Kebetulan yang ada hanyalah Pang Rontoi suami istri yang sudah lanjut usia. Maka serta merta Tuan Pentong masuk ke rumah dan meraih martil yang kebetulan dijumpai di atas tempat duduk Pang Rontoi. Nasib mujur Pang Rontoi terhindar dari serangan martil maut tersebut. Peristiwa ini membuat Tuan Pentong semakin marah. Dan dengan beringas ia menyerang Pang Rontong atau Caya dengan pukulan tinju dan sepak terjang.

Di balik rasa takut telah timbul keberanian. Dan dengan gaya ketuaannya tanpa ada komando ia mencoba membendung serta membalas setiap serangan Tuan Pentong. Kejadian tersebut segera dilaporkan kepada Temenggung Mandi atau Pang Dandan di Kunyil. Pang Dandan segera membagi rakyatnya menjadi tiga kelompok dipimpin masing-masing panglima adat. Kelompok pertama dipimpin Pang Suma atau Menera, kelompok kedua Pang Linggan atau Ajun dan kelompok ketiga Agustinus Timbang. Sambil menunggu komando selanjutnya rakyat di seluruh ketemenggungan Embuan diperintahkan berjaga-jaga dari kemungkinan serangan dan penyiksaan penguasa Jepang.

Pada 13 Mei 1945 di kompleks Nitinan, perusahaan kayu milik Jepang, terjadi peristiwa berdarah menggemparkan masyarakat ketemenggungan Embuan di tanah Desa dan sekitarnya. Kampung Sekucing Labai waktu itu di bawah pimpinan Kepala Kampung Maran atau Kepala Burung dalam wilayah Mangku Bunga atau Pang Umbuh. Kejadian itu diawali di mana sekelompok masyarakat Dayak yang bekerja pada perusahaan tersebut penduduk dari Kampung Nek Raong dan Nek Bindang. Mereka tinggal di pondok ladang di Kampung Sungai Nanga yang cukup jauh dari Sekucing Labai.

Suatu hari turun membawa ubi kayu seorang gadis putri Ajun Cucu Dolong bernama Linggan. Gadis ini cantik sehingga menjadi perhatian setiap pemuda, khususnya Jepang yang bernama Osaki pimpinan perusahaan. Karena itu ia bermaksud mempersunting Linggan. Maksud Osaki itu disampaikannya kepada Ajun ayah Linggan. Osaki memaksa ingin mengawini Linggan. Keluarga Dolong menolaknya. Karena Linggan menolak permintaannya, Osaki marah disertai maksud buruknya. Ia mengancam memancung Pang Linggan atau Ajun. Rencana buruk Osaki diketahui Pang Linggan. Ia segera pulang ke Sungai Nanga. Dikumpulkannya semua keluarganya menanggapi Osaki. Hasil mufakat diputuskan menghadapi Osaki.
Esoknya berangkat Dolong bersama Pang Linggan atau Ajun, Pang Suma atau Menera, Pang Sonja, Pang Iyo, Etang, Pang Dosi, Aji dan Pinjun. Tiba di tujuan, Pang Linggan dan Pang Suma menyapa Osaki dengan baik. Namun serta merta Osaki menyerang dengan popor senapannya. Oleh sebab itu segera Osaki itu ditantang keduanya, suasana pagi itu menjadi arena pertarungan dan perkelahian sengit. Osaki tanpa sempat memberikan perlawanan ditewaskan Pang Suma dan Pang Linggan. Sementara itu di Sekucing Labai para pekerja dan penduduk sekitarnya terkejut. Sebagai pernyataan masyarakat Sekucing Labai, Nek Raong, Nek Bindang dan sekitarnya, diadakan upacara adat pesta notong.

Setelah itu mufakat merencanakan dan menentukan penyerangan berikutnya terhadap Jepang. Untuk mendapatkan bantuan serta sebagai pemberitahuan dikirimlah Damak atau Petuong atau Mangkuk Merah atau yang dikenal dengan Bunga Jarao ke seluruh pelosok Kalimantan (Barat khususnya), khususnya ke pehuluan dan pedalaman mulai dari Tayan, Balai Berkuak, Kualan, Sekadau, Durian Sebatang dan terus ke wilayah Raja Ulu Ae di Laman Sengkuan Ketapang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Jepang Nitinan diperintahkan berhenti dan segera meninggalkan tempat.

Setelah beredarnya petuong atau mangkuk merah sebagai pernyataan perang terhadap Jepang, mulai sore itu selama seminggu datang ribuan rakyat dari berbagai tempat di pedalaman siap berperang. Rapat diadakan selama tiga hari dengan kebulatan semua Dayak di manapun berada disiap-siagakan mengadakan perang melawan Jepang. Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak Tiga Belas Sungai Belansai pusat pertemuan seluruh rakyat dari berbagai pelosok dan daerah Kalimantan Barat.

Peperangan di Niciran meletus. Bersenjatakan mandau dan parang. Soetsoegi pimpinan perusahaan didapati tidak bernyawa lagi tubuhnya tergeletak tidak berkepala. Dari hutan perladangan Durian Pampang Sansat, pekerja di antaranya Rejap, Libau, Cabu, Sulang Langgar menewaskan Soetsoegi, bertambah jelas oleh masyarakat bahwa Jepang adalah musuh yang harus ditumpas. Tewasnya Osaki di Sekucing Labai dan Soetsoegi di Gempar Pulau Jambu., pimpinan Jepang di Pontianak mengirimkan pasukan Kaigun, Keibeitai serta melibatkan heiho dipimpinan perwira senior Takeo Nakatani.

Di Tayan, Nakatani yang berpangkat Thaisa (tiga besar) menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan menuju Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan memudiki Sungai Embuan melakukan penumpasan gerakan rakyat. Sementara rakyat sudah mengatur strategi pertahanan memusatkan kekuatan di Suak Tiga Belas. Dalam suatu kesempatan, Pang Suma menewaskan Takeo Nakatani. Sebelum itu anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma. Dalam kesempatan terjepit pula, Pang Suma dan Djampi menghabisi rombongan Nagatani yang tersisa. Tewasnya Yamamoto atau Tuan Pentong pada 13 Juni 1945, tewas pula empat pembesar militer Jepang lainnya di Suak Tiga Belas. Selanjutnya 24 Juni 1945, kelompok yang dipimpin Panglima Menera atau Pang Suma memasuki Meliau. Meliau direbut dan diduduki hingga 30 Juni 1945.

Waktu waktu bersamaan bersama Panglima Agustinus Timbang dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau. Pada 17 Juli 1945 Pang Suma atau Panglima Menera memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, Pang Suma didampingi sejumlah pemimpin perlawanan lainnya seperti Libau, Jap, Tapang, Sulang dan Burung. Beberapa anggota lainnya di pimpinan Pang Suma seperti Panglima Agustinus Timbang, Pang Linggan, Pang Rati, Pang Mela, Pang sayu atau Cari, Pariman, Nuli dan Pang Tangap atau Ujud. Di Pemura atau Temura pecah pertempuran. Dalam baku tembak itulah Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya. Dan Apae Panglima Beli tewas seketika. Tidak lama kemudian di sekitar halaman Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun atau Pang Linggan tertembak dan luka yang parah. Sedangkan Pang Suma sendiri akhirnya gugur.

Sementara itu Panglima Kilat dalam tugasnya berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman perang Majang Desa terhadap Jepang. Setelah tiga orang pimpinan pemberontakan di Meliau Pang Suma, Pang Linggan dan Ape gugur, selanjutnya Panglima Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil lolos dan menyelamatkan diri. Sejak 17 Juli sampai 31 Agustus 1945, Jepang kembali menguasai Meliau, meski sebetulnya 17 Agustus 1945 Indonesia telah merdeka, namun berita kemerdekaan itu sendiri belum sampai ke pelosok pedalaman dan pehuluan serta pesisir Kalimantan Barat.

Dalam usaha dan taktik pengusiran terhadap balatentara pendudukan Jepang, bersama-sama dengan M Th Djaman, salah seorang guru di Nyandang ketika itu, sejumlah pemuka masyarakat lainnya dari Balai Karangan, Kembayan, Bonti dan Balai Sebut antaranya YAM Linggi, Solang, di Doku suatu perkampungan kecil dekat Sanggau Kapuas, melangsungkan suatu pertemuan. Setelah perundingan Doku Sanggau, Panglima Agustinus Timbang beserta pengikutnya menuju Lape. Dari sinilah gerakan bersenjata dilanjutkan. Angkatan Perang Majang Desa terbentuk 13 Mei 1944 di Embuan Kunyil Meliau diaktifkan. Mulanya dipimpin Temenggung Mandi atau Pang Dandan seorang pemuka adat Embuan Kunyil. Dalam kepengurusan awalnya, terdiri dari sejumlah pemuka adat, seperti Temenggung Bagok, Pang Perada atau Sayang, Mohamad Natsir, Naga, Tan Sin An, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Menera bin Dulang atau Pang Suma, Pang Linggan atau Ajun, Agustinus Timbang, Naga, Gompang, Pang Lapen.

Angkatan Perang Majang Desa (APMD) melancarkan serangannya. Sanggau Kapuas dikuasai. Namun dalam kondisi demikian pimpinan APMD kecewa, karena salah seorang pewaris kuasa Kerajaan Sanggau Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya kepada Bunken Kanrikan di sana. Salah seorang kerabat Sanggau Kapuas, Gusti Ismail merasa terjadi persimpangan jalan dalam upaya menghadapi Jepang. Di satu sisi Gusti Ali Akbar ingin kooperatif, di sisi lain Gusti Ismail bersifat non-kooperatif. Bahkan sangat revolusioner. Oleh sebab itu Gusti Ismail dan Gusti Sohor seterusnya bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan suatu perlawanan terbuka. Dalam berbagai pertempuran di kedua belah pihak saling jatuh korban. Meski Jepang telah menyerah kalah terhadap Sekutu, namun perlawanan rakyat khususnya dari APMD terus berlanjut. Bahkan APMD memasuki Kota Pontianak. Di Tayan, Bunken Kanrikan Miagi ditwaskan.

Juni 1980 sekitar tiga puluh enam tahun setelah kejadian Meliau, waktu itu Laksus Pangkopkamtibda Kalbar Brigjen Untung Sridadi bersama Gubernur Kalbar Soedjiman, menerima penyerahan berupa lima tengkorak dari pasukan balatentara Jepang yang tewas dalam pertempuran Meliau dan sebilah samurai milik Takeo Nakatani. Selanjutnya benda tersebut oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Barat diserahkan kepada Pemerintah Jepang diwakili Mr K Tasima wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo Jepang. Penyerahan kepada Pemerintah Kalbar disampaikan tokoh masyarakat terkait langsung dan waris APMD, antaranya Agustinus Timbang, Naga, Burung, Drs ML Goye, YAM Linggi, M Th Djaman dan Herman Gani. (Diringkas dari tulisan S. Jacobus E. Frans Layang, BA. SH. MH. (1981) (Din Osman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar