Minggu, 14 Desember 2008

DOKUMEN BERDUKACITA UNTUK MENENANGKAN ARWAH
* KEBENARAN PERKARA PONTIANAK *)

TUJUAN UNTUK MENGUMUMKAN PERKARA PONTIANAK
Perkara Pontianak ini adalah perkara yang terjadi di daerah Pontianak Kalimantan Barat, sedang daerah tersebut dikuasai oleh tentara Jepang, semasa peperangan dunia yang ke II. Polisi Istimewa Angkatan Laut Jepang, telah melakukan penangkapan sebanyaknya kira2 1500 orang, terhadap orang2 Indonesia dan Conghwa serta ada juga terlibat orang Arab dan India. Mereka semuanya orang2 yang berpengaruh pada daerah tersebut, dengan alasan mereka berkomplot sebagai anti Jepang, dan akhirnya mereka dihukum mati dengan potong kepala semuanya.

Di muka monumen tersebut, berhiasi dengan relief (ukiran timbul) yang menggambarkan macam2 kebengisan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Pontianak. Barang siapa yang melihat relief tersebut, mereka merasa ngeri seperti seram bulu badannya, serta kelakuan kebengisan tersebut, akan mempertuturkan oleh penduduk sekitarnya selama-lama sampai turun temurun.

Sebaliknya sepihak Jepang, orang2 sedikit saja yang mengetahui perkara tersebut, dan pemerintah Jepang juga seolah-olah tutup mulut terhadap perkara ini. Maka itu perkara ini sedang terhanyut didalam aliran sejarah sampai ke jauh. Apakah sebenarnya keadaan perkara pembantaian besar ini, pihak Jepang pernah diumumkan sebagai perkara komplotan anti Jepang, suatu apa pun tiada bukti yang menyaksikan perkara ini.

Selanjutnya sesudah perang, ketika Belanda memeriksakan perkara ini, mereka dapat kesimpulan, bahwa perkara Pontianak ini adalah perkara kejadian yang dibuat-buat oleh tentara Jepang di setempat. Saya adalah seorang yang langsung bersangkut paut dengan perkara ini, dari awal sampai ke akhiran. Maka itu sayalah baru bisa menerangkan perkara ini, dengan menurut pengalaman saya yang dirasai berbagai-bagai kejadian, saya berkehendak akan pembaca bisa dapat tahui keadaan kebenaran perkara ini.

Dengan ini kami orang Jepang harus mempertunjuk insyafan serta minta ampunan terhadap sekalian pengorbanan yang terlibat perkara ini, serta saya mengharapkan supaya pembaca dapat menyadari untuk berbagai pengajaran yang terkandung didalam perkara ini. Pada akhir ini, kami terdengar suara yang buat meluaskan pelengkapan militer atau memperbincangkan mengenai soal2 buku teks sekolah. Maka dengan kesempatan waktunya mengumumkan perkara ini, kami perlu menginsyafkan sekali lagi untuk menetapkan sikap masing-masing, serta haluan negara kami untuk depan hari.

RINGKASAN PERKARA
Pada waktunya sebelum perang yang ke II, daerah Kalimantan Barat adalah firdaus dan bagi saya adalah tanah air yang ke dua, yang mempunyai berbagai2 kenang-kenangan. Seluruh antara generasi muda saya, yaitu dari umur 17 sampai 32 tahun, jangka waktu yang paling penting untuk membentuk karakter sebagai insani, saya hidup di rantau Kalimantan Barat, yang mana kata orang daerah yang panas terik dan banyak penyakit.

Tetapi ketika saya mendiami di desa yang terkurung dengan alam hutan rimba, kehidupan saya disitu, adalah sangat bergembira dan berbahagia, sampai sekarang masih berbagai2 kenang-kenangan yang diukir didalam hati saya. Kehidupan saya di kebun karet yang suasana tenteram, saya dapat bergaul dengan orang2 setempat dengan hati ke hati, serta saya mendapat pengajaran macam2 dari alam yang berhadapan dengan tanpa berkata.

Mengenai hal keajaiban jiwa makhluk tahu kemuliaan jiwa manusia, serta saya dapat insyafi bahwa alangkah memerlukannya berkasih-kasihan atas kehidupan masyarakat sehari-hari, dan apakah bermaksud hidup kami di dunia ini, semuanya saya dapat belajar dari alam.

Pada tahun 1943 semasa peperangan yang ke II, terjadilah perkara Pontianak, ketika itu saya berada di Pontianak sebagai staf dari PT Sumitomo Shokusan di setempat. Kota Pontianak adalah kota yang terletak tepat dibawah katulistiwa, menuju kota ini datang seorang letenan yang masih muda berumur 25 tahun, sebagai komandan baru untuk tentara pendudukan daerah, dan pemegang segala hak dan kekuasaannya didalam tangan diri sendiri.

Akibat kesalahan pertimbangannya oleh seorang mempunya kekuasaan mutlak, dengan tiba-tibalah memunculkan zaman kelam kabut di Kalimantan Barat, seluruh penduduk menakut pada bayangan maut, serta mereka merasa penuh kecemasan dengan menggigil badan sehari-hari karena ketakutan. Maka daerah yang surga ini menjadi tanah neraka, dan akhirnya menjadi komplotan yang membuatkan oleh tentara Jepang dengan tipu muslihat, dan memberi nama Perkara Pontianak, akibatnya kira2 1500 orang menjadi korban jiwa dengan tanpa kesalahan.

Mendahului 5 bulan daripada Perkara Pontianak ini, di Banjarmasin telah bongkar perkara komplotan yang diorganisasikan oleh Gubernur Belanda Haga, berhubung dengan perkara ini telah 800 orang kena hukum mati. Komandan baru yang bersemangat kecintaan negeri dengan bernyala-nyala, dia disangkai bahwa di daerah Kalimantan Barat juga tentu ada perkara komplotan yang punya perhubungan antara Kalimantan Selatan. Maka menurut taksiran sedemikian, dia melaksanakan penangkapan pertama, dan melaku pemeriksaan yang sengit sekali dengan menyiksa badan, akhirnya menjadikan perkara komplotan yang dibuat-buat sendiri.

Pada umumnya masyarakat berfikir bahwa Jangkar (Kaigun) lebih tahu etiket daripada Bintang (Rikugun), akan tetapi jangkarlah yang dibuatkan perkara yang paling malu di Asia Tenggara, menjadikan perkara komplotan yang aneh, seperti tiada bercampur seorang Belanda yang berperang, hanya berkomplot oleh penduduk setempat saja. Sesudah perang, ketika Belanda buka pengadilan untuk adili atas kriminil didalam peperangan, sidang Pontianak telah jatuh hukum tembak mati terhadap 20 orang, seperti untuk panglima pangkalan yang ke 22, Tadashige Daigo serta Michiaki Kamada masing2 berpangkat admiral, berikutnya Taicho (komandan Angkatan Laut setempat), anggota Polisi Istimewa, juga termasuk mata-mata tentara setempat, semua dihukum baru menutup tabir untuk mengakhiri perkara Pontianak.

Sesudah perang ketika mengadakan pengadilan kriminil perang pihak Belanda, saya telah hadiri sebagai juru Bahasa Indonesia, maka itu sayalah yang paling tahu perkaranya dari awal sampai keakhirannya. Biarpun demikian saya sendiri juga kena ditunjuk nama saya sebagai kriminil perang dari pihak Belanda, saya telah kena tangkap di tempat tawanan di Sarawak, lantas dikirim ke Pontianak dan terkurung di penjara sampai 4 bulan lamanya didalam sel, akhirnya saya dapat kebebasan.

Didalam perkara Pontianak ini, saya telah menemui macam2 adegan yang seperti deramatis, umpama ketika didalam sel, saya berhadapan dengan maut, hati saya selalu tergoyang seantara hidup dan mati, atau saya terlihat juga rupa terakhir, orang yang melangkah kaki menuju ke tempat hukuman mati, akibat melaku mata-mata tentara Jepang, atau sikap isteri yang dapat ijin untuk menemui suaminya yang akan hukum mati pagi itu, ketika datang saat yang bercerai, isterinya mengantarkan suaminya dengan meratap, atau mendatang nasib maut atas prajurit yang telah melaksanakan hukum mati menurut perintah dari atas, atau seperti sikap Admiral Daigo yang hendak menanggung kesalahan yang kebawahannya dengan seorang diri sendiri, dan ada juga orang yang gugur jiwa dengan 12 bunyi senapan seraya tiga kali menyebut “hidup kaise”, pemandangan satu persatu masih tertinggal didalam hati sebagaimana melihat pilem.

Saya telah dapat pengalaman macam2 adegan yang deramatis yang tidak dapat mengalami pada masa aman, dan saya sampai cukuplah alami pada ketakutannya kepada pemegang kekuasaannya kepunyaan senjata, serta insyafkanlah pada hal kebodohan dan ketidakbenaran yangterkandung didalam perang. Saya tidak dapat pelajaran militaris tatkala zaman militalisme di Jepang, karena zaman akil balik saya hidup di kebun di Borneo, maka itu boleh dikatakan saya tidak dicelupkan sebagai warga militalisme, akan tetapi padahal kesetiaan serta bercintaan negara terhadap Jepang, tidak kuranglah dari pada orang2 lain.

Saya merasakan bahwa pikiran perajurit2 yang telah dapat pengajaran militalisme didalam masa perang yang suasananya tidak normal, pikran mereka berlainan sekali. Tentara Jepang telah menangkap terhadap orang2 yang memakai orang Jepang atau orang2 yang suka berbicara mengenai hal merdekaan, mereka dipandang sebagai orang anti Jepang, lantas ditahan dan melakukan pemeriksaan dengan menyiksa badan, sambil memberi sagasti, supaya dapat pengakuan yang seperti menurut program tentara.

Orang yang melaku pemeriksaannya mereka tidak bercakapan atas hal Bahasa Indonesia, tentang pengertian atau memfahamkan atas pengakuannya masing2, mereka hanya periksa dengan pikiran militalisme serta semangat kecintaan negeri yang gila2, maka akhirnya menjadikan perkara sedikit sangsi, sebagaimana menurut gambaran komplotan yang melukis diri sendiri.

Saya telah melaku pemeriksaan terhadap 20 orang menurut permintaan dari tentara dengan bersyarat tanpa hadiri anggauta Polisi Istimewa, maka saya periksa dengan teliti persatu satu orang dengan menurut pengalaman 15 tahun kehidupan disetempat, akibat pemeriksaan saya dapat kesimpulan bahwa perkara komplotan tidak ada, saya membuatkan surat laporan sebagaimana menurut pendapatan saya, laporan tersebut saya anjurkan kepada komandan Polisi Istimewa, lantas saya mundur dari hal pemeriksaan.

Setelah 2 bulan kemudian dari pada Oktober 1943, saya dapat kabar dari seorang anggauta yang telah melaksanakan hukuman mati, dia kasi tau bahwa kini sedang mulai pembantaian terhadap orang yang ditangkap dengan bersembunyi-sembunyi di Mandor, bekas lapangan terbang, saya merasa sangat menyedihkan hati, karena saya beryakinan bahwa perkara komplotan tidak ada, tetapi sedang orangnya menjadi korban, saya meleleh air mata terhadap orang yang tiada dosa.

Setelah itu, pada akhir Juni 1944, mengadakan sidang pengadilan militer Jepang di Pontianak, sidang tersebut telah memberi putusan hukuman mati terhadap 47 orang bangsa Indonesia, dan hari itu juga segera selesai hukuman mati, dengan beralasan mereka berkomplot anti Jepang, berniat akan membunuh orang Jepang dengan memakai obat racun, agar mendirikan Negara Merdeka di West Borneo.

Sesudah 3 bulan kemudian sidang ini, saya dapat perintah untuk melisi masuk ke Angkatan Darat di North Borneo sebagai perajurit bintang satu, akan tetapi terhadap putusan hukuman mati pihak Jepang, saya tidak dapat setujui putusan tersebut. Jepang adalah salah, mereka dihukum kepada orang2 yang tidak bersalah, tidak adil sekali, hal yang tidak boleh mengijinkan dilakukan secara terang-terangan, apa patutkah keadaan yang seperti begini, maka hati saya menimbul amarah terhadap putusan Jepang, serta saya merasa duka cita atas orang2 yang hilang jiwanya, untuk perasaan sedih dan amarah, saya tiada jalan untuk adukan kemana-mana, demikian saya bingung sekali pada waktu itu.

Dan sayapun boleh dikatakan seperti kena hukum mati juga, karena saya dapat perintah untuk terjun didalam perjalanan maut di Norts Borneo. Perjalanan maut di North Borneo, boleh dikatakan sengit sekali, harus bertempur dengan kelaparan serta hantu penyakit, sama juga perjalanan yang memikul maut dibelakang, barang siapa hilang tenaganya, paksalah ambil jalan maut, ketika berangkat pasukan saya adalah 120 orang, tetapi orang yang dapat hidup hanya 10 orang saja.

Perajurit baru yang masukan pasukan dengan bersama-sama saya adalah 10 orang, tetapi mereka mati semuanya didalam 2 bulan sesudah mulai perjalanan baris, karena habis tenaganya. Didalam sistim pasukan yang keras turun pangkatnya, perajurit baru sama saja seperti menghambakan, mereka habis pakai tenaganya untuk digunakan keatasan. Ketika mulai perjalanan baris, tiap2 hari mereka mengusahakan untuk menyiapkan tempat bermalam dan 3 kali sehari harus memasak nasi untuk regu, itupun masaknya dikerjakan tengah malam karena hindarkan serangan udara, maka jam tidurnya hanya 2 jam saja, terlalu berat pekerjaannya, maka perajurit baru semuanya tidak tahan dan mati semuanya.
Untunglah saya karena saya bisa cakap Bahasa Indonesia, maka saya jadi kepala regu untuk pengangkutan barang2, karena itu saya bisa dapat hidup, akhirnya tiada barang yang untuk angkut, dan lagi sayapun bercerai dari regu, sebab saya dapat sakit malaria dan penyakit berak darah, tetapi saya masih ada nasip baik, karena tatkala berhenti perang saya masih hidup. Perjalanan pasukan kami berjalan dengan tanpa persediaan makanan dan pengobatan, dalam perjalanan tersebut saya merasai egoisme yang sengit sekali, didalam sistim pangkat tentara tidak pandang martabat manusia atau hak orang hanya orang keatasan memperhambakan orang kebawahan, saya menaruh syak wasangka terhadap keadaan tentara Jepang yang berbanggakan.

Untung saya masih hidup, tidaklah mati didalam perjalanan maut, akan tetapi pada hari tahun baru 1946, saya ditangkap oleh MP Australia sebagai kriminil perang, dan kirim ke Pontianak lagi. Sudah 4 bulan didalam sel penjara, saya dapat kebebasan, dan saya menjadi juru bahasa untuk pengadilan Belanda, ketika itu saya dapat tahui bahwa pihak Belanda telah memeriksakan kepada keluarga yang kena hukum mati, tetapi seorangpun tiada seorangpun yang menyaksikan adanya perkara komplot.

Maka pihak Belanda berpendapatan bahwa perkara komplotan ini, perkara yang dibuatkan oleh tentara Jepang dengan muslihat, demikian beranggapan pihak Belanda. Dari awal saya sudah menganggap tiada perkara komplotan, jika perkaranya ada betul, saya adalah salah besar karena saya sudah bikin laporan yang tiada perkaranya. Saya punya pengalaman dan kehidupan di Kalimantan semuanya sia-sia belaka, misalnya Bahasa Indonesia, saya belajar dengan rajin tetapi tiada gunanya, atau pergaulan dengan orang2 setempat, saya dapat belajar perbedaan perkataan masing2 seperti menurut budi pekerti masing2, hal2 demikian saya kira sudah mengerti semuanya, akan tetapi anggapan ini semua jadi terbalik, harus saya mengakui kekalahan saya sendiri, serta harus nyangkal pada pengalaman saya 15 tahun di Borneo.

Akan tetapi pihak Belanda beranggapan tiada perkara komplotan yang seperti mengumumkan oleh tentara Jepang, tetapi perkaranya ada, perkara yang membuatkan oleh tentara Jepang. Jika sedemikian, apakah maksudnya pihak tentara Jepang yang membuat perkaranya dengan muslihat, apakah tujuannya, mengapa mengorbankan sebegitu banyak jiwa orang, inilah menjadi pertanyaan yang menyangkut didalam hati saya.

Tidak mungkin dilakukan kelakuan yang begitu bengis, hanya keinginan akan dapat jasa. Jika sedemikian kelakuan tersebut adalah kelakuan sifat kebengisan asli mempunya perang, demikian paham saya, jika melaku pembunuhan musuhnya didalam tempuran dimedan perang, kami terima sebagai kelakuan yang patut, akan tetapi perkara ini sangat berlainan, karena peristiwa yang terjadi didaerah pendudukan seantara masa perang suasananya aman dan tertib dan tentram. Maka itu tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Orang yang pengorbanan langsung adalah kira 21.500 orang, dan jika hitung keluarga yang bersangkutan, tentu lebih dari pada 5000 orang, maka peristiwa ini, perkara pembunuhan 1500 orang serta hilang jalan nafkah 5000 orang keluarga, mesti ada sebab-musababnya, apakah itu? Letenan Uesugi masih muda umurnya 25 tahun, dia seorang yang gemar olah raga base-bool bersama2 dengan orang sipil, tabiatnya suka gembira tidaklah suram, dan anggauta Polisi Istimewa Nakatani yang memusatkan pemeriksaan, diapun boleh katakan ofsir yang teladan dan rajin pada dinasnya.

Daerah ini adalah tanah firdaus di tropika, serta tanah air yang kedua bagi saya, tetapi oleh karena timbul perkara ini, segala-galanya merusakan habis, seolah-olah meninjak dengan kaki sampai hancur semua, apakah sebabnya, dimana adanya intisari perkara ini, saya selalu terkandung pertanyaannya. Untuk cari keterang perkara ini, saya telah 3 kali mengunjungi ke Pontianak sesudah perang, telah dapat bahan2 setempat, juga berkunjungi Mr. Shunichi Tabata yang paling mengetahui isi perkaranya yang didalam anggota Polisi Istimewa, saya dapat dialok mengenai yang kebenaran perkara ini, dan saya dapat isikan didalam tape rekor.

Permulaan saya berpikir bahwa perkara ini adalah persoalannya diatas perkataan, sebab Nakatani melaku pemeriksaannya, dia bisa cakap hanya sedikit sekali, dan adapun juru bahasa seperti Hayasi dan Hirayama mereka masih kurang pengalaman serta belum mahir pada hal memperkatakan. Misalnya perkataan merdeka, perkataan ini berarti bebas dari penjajahan atau berdiri sendiri, perkataan ini selalu menyebut dari mulut para penangkapan, mereka berkandung keinginan yang bebas dari jajahan Belanda atau berdiri sendiri lepas dari jajahan, mereka suka menyebut perkataan “merdeka”ini.

Jika perkataan merdeka ini dipahamkan dengan secara pisik pikiran, pihak tentara belum tahulah mereka memahami bahwa di West Borneo juga ada komplotan yang berkaitan dengan “perkara Haga”, dan perasangka inilah langsung terikat pada merdekaan daerah, lantas memberi penyaksian badan dengan memaksa suruh mengakuan sebagaimana menurut program pihak tentara, demikian saya taksiran.

Komando Uesugi berusia 25, Nakatani berusia 23, saya tidak berani juga sebut, mereka mencari jasa tetapi soal yang bongkar perkara anti Jepang dan seterusnya menghancurkan komplotan tersebut, mereka dipandang sama artinya dengan memusnahkan musuh dimedan perang. Apa lagi pemuda tersebut adalah gerup yang mengajar sebagai militalisme, maka itu mereka itu beryakinan, bahwa tidak sekawan, dipandang sebagai musuh, barang siapa yang memakai orang Jepang atau berhendak akan merdekaan, orang yang seperti itu adalah berbahaya untuk masa perang, harus membasmi, saya kira mereka beranggapan seperti begitu.

Selanjutnya saya kira, bahwa orang yang melaku pemeriksaannya, mereka kurang pandai atas Bahasa Indonesia, serta belum pengalaman di masyarakat, sebab itu mereka selalu turut pikiran sendiri yang sempit sekali, terus meluaskan perkaranya semakin besar ke besar, sebagaimana menurut gambaran yang dibuat sendiri, akhrinya hukum mati 1500 orang, serta akibatnya datanglah nasib maut atas diri sendiri. Sesudah perang mengadakan pengadilan kriminil perang, yaitu negara yang pemenang Belanda, menghakimi kepada negara kalah perang Jepang.

Pengadilan tersebut tidak salah seperti pengadilan yang membalas dendam, bukannya pengadilan yang mengadili dengan menurut hukum, mengadil akan dengan semaunya pihak Belanda, boleh dikatakan pengadilan yang membalas dendam bangsa Belanda terhadap bangsa Jepang, dan pihak Belanda mempergunakan kesempatan ini untuk propaganda serta melaku demonstrasi, supaya menunjuk kekuasaan dan kedaulatan Negara Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Pengadilan kriminal perang Pontianak telah dibuka antara tahun 1946–1947, justru bangsa Indonesia sedang bertempur dengan Belanda supaya mendapat kemerdekaan serta kebebasan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Untuk Negara Belanda adalah saat yang keritis, keritis akan hilang tanah firdaus yang bersejarah 350 tahun sebagai penjajahan. Asal usulnya yang terjadi keadaan kerisis ini, pokoknya Jepang yang mulai perang dan menyerang agresi pada East Indian, karena itu orang Belanda terkandung dendam hati terhadap orang Jepang sampai kedalam-dalam, maka itu banyak orang Jepang yang mengorbankan dengan kena huklum berat yang tidak pantas. Pengadilan Pontianak ini adalah suatu sandiwara yang memainkan.

Saya telah dapat berbagai-bagai ajaran dari pada perkara Pontianak, dan dapat insyapkan bahwa pikiran orang tentang Jepang sangat berlainan, sebab mereka belajar atas dasar militalisme, mereka menginsyapi dirinya sebagai bangsa yang terutama, tidak pandang hak manusia dan martabat bangsa lain, mereka telah melaksanakan tangkap orang hanya kabar angin, diperiksa dengan semangat cinta dan negara yang kegila-gilaan dengan terorisme secara diktatataris, mereka hukum mati terhadap orang yang dipandang berbahaya, umpamanya siapa yang memaki orang Jepang atau siapa yang berkehendak kemerdekaan, tentara jepang melaku pembunuhannya seperti mematikan serangga.

Saya merasa ketakutan betul terhadap politik yang terikat dengan kekuasaan angkat perang, ketakutannya luar dugaan, saya menyadari betul bahwa bagaimana pentingnya atas hal pendidikan, karena pendidikanlah sumber keburukan atau kebaikan. Perkara Pontianak ini adalah peristiwa yang dikendalikan dengan semau-maunya oleh kekuasaan diktektoris, dan segala-galanya semua dihancurkan dengan atas nama perang. Maka saya paling benci pada perang, saya bertekat adakan mengadu pada masyarakat supaya jangan ada perang lagi.

Persumpahan untuk anti perang, serta bertekat ada untuk mencegah perang, inilah saya menyumbangkan jiwa saya untuk jalanan ini, dari perang kami beroleh hanya hancurkan dan binasa serta gara-garanya kebengisan sekali, kami tiadak boleh merasakan kebodohan perang dua kali lagi. Akan tetapi didalam masa yang huru-hara sedemikian, saya masih teringat rupa orang2 yang mengenangi seperti kawan2 saya di Kalimantan yang terikat dengan hati ke hati, atau orang2 Australia yang baik hati dan kasih sayang sesama manusia, atau ada juga orang Chonghwa yang murah hati serta turut perikemanusiaan, saya dapat belajar banyak dari orang2 tersebut diatas, ketika berbanding dengan tabiat Jepang yang begitu sempit pikirannnya, saya merasa berbeda besar.

Perkara Pontianak ini sedang menjadi kabur sebagai sejarah yang melampaui, akan tetapi kami harus menganalisakan perkara ini akan mendapat banyak ajaran beserta sadaran dan insyapan yang lebih dalam. Sudah melampaui 38 tahun sesudah perang, negara Indonesia tercapai kemerdekaannya, dan Jepang memakmur sebagai negara perekonomian besar, orang2 Indonesia yang mengorbankan didalam perkara Pontianak, mereka adalah orang2 yang menjadi batu alasan untuk mendirikan kemerdekaan, dan pihak orang Jepang yang menyumbangkan jiwa sebagai kriminil perang, adalah sebagai tiang manusia untuk kemakmuran Jepang sekarang.
Tentang perkara Pontianak ini, kami orang Jepang hanya sedikit saja yang mengetahui perkara ini, sebaliknya di Kalimantan Barat, perkara ini adalah perkara yang istimewa tertulis didalam sejarah, dan relief yang didirikan di Mandor, dilukiskan rupa-rupa orang yang diikat tangan dibelakang, berbaris dengan campuran wanita yang melangkah menuju ketempat hukuman, dengan tutup mata, ada juga orang yang berlutut menganjurkan lehernya berhadapan lobang, atau perajurit Jepang yang bersiap-siap mengangkat pedang samurai, dan sekelilingnya berbaring mayat bersusun.

Didalam dada keluarga yang ketinggalan yang beribu-ribu orang, telah memahat didalam hati sampai tidak bisa melupakan, mereka tidak bisa mengalirkan didalam arus sejarah, tentu bercakap-cakap selama-lamanya sebagai kelakuan yang dilakukan oleh tentara Jepang, dan selalamanya tidak bisa menghapuskan dendamnya terhadap orang Jepang.

Selanjutnya surat kabar yang berpengaruh di Indonesia Sinar Harapan telah muat perkara ini, diumumkan jumlah orang korban lebih dari pada 21.000 orang, serta ada berita telah mendirikan monumen, saya telah baca tulisan yang muat pada tertanggal 28 Maret 1982. Saya telah menyurat surat kepada Sinar Harapan, agar minta membetulkan banyaknya angka orang yang korban, serta atas nama orang Jepang minta maaf dengan sesungguh-sungguh serta saya mengucapkan terima kasih atas pendirian tugu yang sebagai menyenangkan arwah.

Pada akhir tahun 1982, “Sinar Harapan” muat lagi tentang perkara ini dengan secara besaran, tetapi saya merasa bahwa pihak Indonesia belum tahu betul kebenaran perkara ini, hanya menerima dengan dugaan. Maka saya bertekat ada akan mengumumkan kebenaran perkara pontianak, supaya mengetahui hal yang kebenaran, dan sebagai orang Jepang kami terus terang mengakui kesalahan dan minta ampun kepada orang2 jadi korban, serta kami perlu menyadari kesalahan kami sendiri.

Terhadap orang yang jadi korban didalam perkara ini, baikpun orang Indonesia, maupun orang Jepang, kami berdoa arwahnya ditempat yang lapang dibawah kuburnya, serta kami harus mencari jalan untuk menebus dosa perkara ini.
(Osaka Japan, 15 Mei 1983, Tsuneo Iseki)

Dalam suratnya “Kebenaran Perkara Pontianak” (Sinar Harapan, Jumat, 23 April 1982), Tsuneo Iseki (Izeki) menuliskan: … Selanjutnya saya perlu beritahukan bahwa tuan2 yang telah jadi korban dengan perkara Pontianak banyaknya 4486 orang (Pen) (Din Osman/Iesna Dino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar