Minggu, 14 Desember 2008

Malapetaka Kalbar di Masa Perang Dunia II

APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI
* PERANG DAN PENDUDUKAN

Sebuah pemboman udara mengejutkan penduduk Pontianak pada tengah hari 19 Desember 1941, ketika sembilan pesawat udara secara bertubi-tubi menjatuhkan bom api dan bom pencar, dan memberondong pusat kota, menewaskan kira-kira 150 orang penduduk sipil dan melukai banyak orang lainnya. Di antara para korban terdapat anak-anak Tionghoa dari sebuah sekolah misionaris yang keluar kelas untuk menonton pesawt-pesawat itu, tanpa menyangka akan diserang. Pemboman berikutnya menimpa kota-kota lain, Singkawang, Mempawah dan kemudian juga lapangan terbang di Sanggauledo.

Satu-satunya batalion tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger, Tentara Hindia Kerajaan Belanda) dan pemerintah sipil sudah tidak mendapat dukungan sama sekali dari Belanda sejak pendudukan oleh Jerman pada Mei 1940. para penduduk setempat tidak memberikan dukungan untuk melawan Jepang, kecuali sejumlah orang Tionghoa dan sebagian kecil lainnya. Banyak dari masyarakat yang memandang Jepang sebagai Sang Pembebas.

Dengan hancurnya lapangan terbang, Belanda tidak bisa lagi menghadang pesawat-pesawat musuh. Mereka Cuma menggunakan taktik bumi hangus untuk menghindari penggunaan tempat-tempat dan perlengkapan yang penting secara strategis, di Pontianak termasuk pabrik-pabrik dan rumah-rumah pengasapan karet, kendaraan bermotor dan bahkan beberapa pasar. Ini agar tidak jatuh ke tangan Jepang. Surat tentang kebijakan terhadap orang Tionghoa, kira-kira 1949, di mana Pontianak adalah kota pertama di Hindia yang dibom. Pada 28 Januari 1942 mereka angkat kaki, meninggalkan segala-galanya dalam keadaan hancur terbakar. Tentara Jepang bergerak ke arah selatan di sepanjang pesisir pantai dan mengambilalih Pontianak pada 2 Februari 1942.

Pasukan Belanda kemudian mundur ke hulu Kapuas, namun akhirnya menyerah pada 8 Maret 1942. Para warganegara Belanda segera dipenjarakan, dikenakan tahanan rumah, atau langsung dibunuh. Penduduk setempat menjarah toko-toko untuk mengambil beras, gula, rokok, tekstil, dan mengambil persediaan dari gudang-gudang perusahaan impor hingga Jepang menghentikannya. Jepada pada awalnya mendorong penduduk untuk merampok gudang-gudang Belanda. Beberapa misionaris ditinggal untuk merawat rumah sakit lepra di dekat Singkawang, seorang pegawai Belanda berhasil selamat, disembunyikan oleh orang Tionghoa di pedalaman. Sebagian orang Tionghoa dan yang lainnya melarikan diri ke daerah pedalaman, namun tidak diketahui berapa jumlah jiwa yang bergabung dengan pelarian ini atau berapa lama mereka tinggal di pedalaman. Yang lainnya tetap meninggalkan kota untuk hidup di ladang dan perkebunan karet mereka.

Segera saja, satu pemerintahan tentara Jepang berdiri terbentuk, pada Agustus Angkatan Laut memikul tanggung jawab atas wilayah tersebut. Sebelum pergi, Angkatan Darat memindahkan para tahanan militer dan sipil Belanda ke sebuah tampat tawanan untuk tawanan Sekutu di Kuching, Sarawak.

Angkatan Laut berencana untuk menggabungkan pulau-pulau Timur Hindia, termasuk Kalimantan, dengan sumber daya karet dan minyak mereka agar secara permanen menjadi milik Jepang. Tidak akan ada pembicaraan mengenai kemerdekaan. Pendudukan tersebut menempatkan personel militer dan orang sipil Jepang sebagai pegawai untuk menjalankan tugas-tugas penting, walikota Pontianak yang baru adalah orang Jepang. Banyak penduduk pribumi yang diangkat untuk menduduki jabatan yang awalnya diduduki orang Belanda, dan aparat birokrasi rendahan kini sangat diperluas. Para penguasa pribumi Melayu, yang di Borneo Barat berjumlah 12 orang, diizinkan untuk tetap bertuga, sekalipun mereka dicurigai berpihak kepada Belanda. Sambas dan Pontianak memiliki sultan, yang lainnya yaitu Mempawah, Landak, Sanggau, Tayan, Sekadau, Sintang, Kubu, Simpang, Sukadana dan Matan memiliki panembahan. Mereka disebut juga sebagai 13 pemimpin pribumi.

Markas Angkatan Laut untuk Indonesia Timur berkedudukan di Makasar, yang juga menjadi tempat dari Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil). Markas besar untuk Borneo berada di Banjarmasin. Sistem yang diterapkan adalah secara esentralisasi, dan segera ketika Sekutu melancarkan serangan di garis perhubungan laut, membuat pemerintah lokal di Pontianak hampir terisolasi. Komunikasi lewat darat antara Pontianak dan Banjarmasin tidak pernah ada.

Semua perusahaan Belanda disita, semua sekolah Belanda ditutup, dan bahasa Belanda dilarang digunakan. Beberapa sekolah tetap beroperasi dengan melangsungkan pelajaran dalam bahasa Indonesia, demikian pula beberapa sekolah Tionghoa. Para guru dan pemimpin harus mempelajari bahasa Jepang, pemerintah Jepang mempropagandakan lagu-lagu dan tarian Jepang, senam bela diri dan kegiatan pekerja sukarela. Satu-satunya surat kabar yang boleh terbit pada waktu itu yaitu Borneo Shimbun, diterbitkan di Banjarmasin dalam bahasa Melayu dengan sebuah edisi untuk Pontianak, menyediakan berita publik yang benar-benar berada di bawah sensor ketat penguasa. Seperti halnya di negara lain yang diduduki Jepang, semua radio di rumah penduduk ditukar dengan pesawat yang hanya bisa menerima siaran resmi pemerintah. Jumlah tentara Jepang sebenarnya sangat tidak memadai, namun mereka selalu siap setiap saat untuk menggunakan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan mereka di wilayah tersebut. (Din Osman)

PEREKONOMIAN DAN POLITIK MASA PERANG
Selama masa pendudukan, perusahaan-perusahaan perdagangan Jepang mengendalikan arus ekspor dan impor, mematikan banyak perusahaan Tionghoa yang bergerak dalam perdagangan internasional. Setelah 1944, organisasi-organisasi monopoli yang disebut kumiai membeli dan menyalurkan barang-barang. Perhimpunan pedagang yang dikelola bagai koperasi ini, yang mencoba memihak para pedagang Indonesia menghadapi para pedagang Tionghoa, diharapkan dapat menghalangi perdagangan pasar gelap dari berbagai barang kebutuhan pokok. Akan tetapi, karena kekurangan yang begitu parah atas impor barang kebutuhan pokok yang disebabkan oleh serangan Sekutu terhadap armada pelayaran, sistem ini gagal mencapai tujuannya, dan berbagai kumiai pun didorong untuk juga bergerak dalam bidang produksi makanan. Organisasi ini berfungsi tunggal untuk memastikan produk lokal sampai ke pasaran dengan harga seperti yang telah ditentukan, mencegah penyelundupan.

Pada masa sebelum perang, ekspor kopra dan karet telah membiayai impor makanan dan bahan konsumsi pokok. Beberapa tahun sebelum terjadi penyerbuan, nilai ekspor mencapai f40 juta, sementara impor sebesar f20 juta. Impor beras Borneo Barat baik dari luar negeri maupun Jawa tidak kurang dari 24.000 ton pertahun, dan jumlahnya bertambah hingga mencapai 41.000 ton lebih di tahun 1937, ketika pemerintahan di Borneo Barat mulai menimbun beras untuk persediaan pada masa perang yang diramalkan akan meledak. Singkawang sendiri mengimpor seribu ton beras dari Jawa setiap bulannya. Tentu saja sistem transportasi yang lumpuh pada masa perang tak memungkinkan permintaan ini terpenuhi. Pada masa perang terjadi kekurangan makanan yang cukup parah sehingga Jepang menyarankan agar para penduduk meninggalkan kota dengan menawarkan tanah, uang dan sejumlah besar gula, bagi mereka yang bersedia pindah ke daerah pertanian. Banyak orang yang menurutinya.

Jepang menggunakan kelaparan, kekurangan informasi dan juga teror untuk mengendalikan penduduk. Kemakmuran sederhana di Borneo Barat lenyap: kebun kelapa dan lada dipenuhi rumut, perkebunan karet tidak terpelihara. Tidak ada satu perahu pun yang berlayar di Sungai Kapuas, dan Jepang tidak dapat mengambil keuntungan dari komoditas strategis yang sebelumnya dihasilkan propinsi ini. Barang konsumsi menghilang. Mesin-mesin dihancurkan atau dibiarkan berkarat. Pendidikan hampir mengalami kemandegan, bahan-bahan bacaan dan siaran radio diawasi dengan ketat.

Pendudukan Jepang di Indonesia membawa kebuntuan politik dan sosial, karena organisasi yang sudah ada sebelumnya dihapuskan, namun di beberapa tempat, terutama di Jawa, Jepang secara bertahap membentuk berbagai organisasi untuk merekrut dan mengambil tenaga rakyat untuk kepentingan perang.

Di wilayah timur Indonesia, Angkatan Laut Jepang menghindari pengerahan semacam itu. Secara ekonomis terdapat monopoli perdagangan, namun segala macam kegiatan politik dibatasi secara ketat. Ketika Angkatan Darat melepaskan penguasaan atas Borneo Barat, pada Juli 1942 mereka menyokong pembentukan Partai Nisshinkai (awalnya dituliskan Nissinkwai) di Pontianak. Mirip dengan Gerakan Tiga-A di Jawa, Nisshinkai juga terbuka untuk semua orang Asia, pribumi Indonesia, Tionghoa dan Arab dan menggantikan semua organisasi politik dan masyarakat sebelumnya. Para pemimpin partai diambil dari organisasi nasionalis sebelum perang yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra), namun inisiatif pembentukan organisasi ini jelas berasal dari orang Jepang. Nisshinkai mulai memudar pada Oktober 1942, namun rupanya gerakan tetap ada. Namun menurut sebuah sumber Indonesia belakangan yang agak bermasalah, ada sekitar 500 partisipan yang menghadiri rapat Nisshinkai (demikian huruf tulisannya dalam bahasa Indonesia) yang diadakan pada 1943 di Gedung Medan Sepakat di Pontianak. Karena pertemuan ini dicurigai merupakan persekongkolan menentang Jepang, tentara Jepang kemudian mengepung gedung itu dan menghujaninya dengan tembakan, menangkapi yang masih hidup dan memberlakukan jam malam. Sumber lain mengatakan Nissinkai adalah sebuah organisasi pemuda dengan kepemimpinan nasionalis.

Angkatan Laut tidak begitu tertarik untuk melanjutkan kegiatan Nisshinkai dalam mengerahkan penduduk, namun mengorganisasikan sebuah kesatuan pemuda yang disebut Borneo Koonan Hookudan (Korps Pelayanan Nasional Borneo untuk Wilayah Selatan) yang merekrut para pemuda pribumi. Nyata terlihat bahwa Hookudan memiliki kesamaan dengan Heiho yang berfungsi sebagai batalion tambahan atau pekerja, namun hanya beberapa ratus orang pemuda yang ikut serta. Dengan adanya sekolah-sekolah byang mengajarkan kurikulum Jepang, pengajaran yang lebih intensif diberikan di asrama untuk murid-murid muda, di mana anak-anak Borneo Barat diajarkan untuk menjadi seperti orang Jepang.

Tak ada perbincangan mengenai kemerdekaan, hingga sampai pada masa ketika perang hampir berakhir. Sebagian besar penduduk Borneo Barat tidak mengetahui segala kegiatan yang terjadi di Pulau Jawa, terutama pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Awal 1945, pemerintah Angkatan Laut mengorganisasikan dewan-dewan setempat di seluruh Borneo Barat, dikarenakan mereka sadar bahwa mereka tidak bisa menduduki wilayah itu seterusnya seperti apa yang telah mereka rencanakan. Pada Agustus tahun tersebut, tentara pendudukan mengizinkan pembentukan komite regional yang akan melatakkan dasar-dasar untuk masa kemerdekaan nantinya, hal ini terjadi hanya beberapa hari sebelum Jepang menyerah.

Di sisi lain, selama pendudukan, militer menyelenggarakan suatu aparat keamanan lokal yang represif yang dirancang untuk meniadakan setiap kegiatan politik yang tidak memiliki izin, yang tidak hanya terdiri dari beberapa bentuk kepolisian, namun juga Keibitai (polisi pengintai). Dari Keibitai dibentuklah Tokeitai (pasukan polisi khusus yang menyerupai Kempeitai atau polisi rahasia di Jawa) pada September 1942.

ORANG TIONGHOA, KERJASAMA DAN PERLAWANAN
Orang Tionghoa di Borneo Barat benar-benar menyadari akan Perang Tiongkok—Jepang dan ketegangan yang terjadi di Asia Timur, namun perang tersebut baru menjadi kenyataan beberapa hari setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor. Rasa takut yang mencengkeram pada masa perang yang begitu mendominasi, khususnya di antara etnis Tionghoa. Jepang menyalahkan terjadinya kekurangan bahan makanan pada masa perang disebabkan para pemilik toko Tionghoa.

Masyarakat Tionghoa telah memberikan sumbangan yang cukup besar untuk Tiongkok sejak Perang Tiongkok—Jepang pecah pada 1937, dan Jepang sadar akan hal ini. Di Singapura dan Malaya, tentara pendudukan telah melenyapkan para tokoh Tionghoa terkemuka, namun hal ini tidak segera atau secara besar-besaran dilakukan terhadap pimpinan-pimpinan Tionghoa di Borneo Barat. Di Singapura intelijen Jepang memiliki daftar orang Tionghoa anti Jepang yang akan disingkirkan. Sebuah naskah Jepang menyebutkan betapa pentingnya untuk membasmi sepenuhnya semua organisasi Tionghoa Perantauan yang telah dimanipulasi untuk kepentingan gerakan politik … semua pembuat masalah yang tersembunyi yang harus dibasmi. Untuk Kalimantan Barat orang Tionghoa dari Mempawah yang terkenal mendukung upaya perang oleh Tiongkok telah ditangkap dan dihukum mati di minggu-minggu awal masa pendudukan.

Pada kenyataannya, mereka memperbolehkan mereka untuk tetap menjalankan usaha. Direktur sebuah perusahaan ekspor di Pontianak bernama Ng Ngiap Soen (Mandarin: Huang Yechun) menjadi kepala Kakyo Toseikai (Perkumpulan Umum Tionghoa Perantauan atau Huaqiao Zonghui), satu-satunya organisasi Tionghoa yang dizinkan ada dan bertugas untuk menyalurkan komoditas yang langka dan membeli bahan-bahan mentah. Jepang berusaha menyita harta orang Tionghoa dengan memberlakukan pajak yang sangat tinggi dan keharusan untuk memberikan sumbangan sukarela. Beberapa perusahaan Tionghoa disita, namun beberapa perusahaan yang lain justru mendapatkan keuntungan dari situasi ini, sebuah keberuntungan yang mengasingkan banyak orang Dayak dan Melayu. Permusuhan dari sudut-sudut yang lain. Menurut laporan intelijen Jepang tentang sistem penyaluran Tionghoa, hanya membuat orang Tionghoa semakin bersatu.
Tidak semua orang Tionghoa menjadi korban atau penentang Jepang. Beberapa di antara mereka bekerja sebagai mata-mata atau informan, beberapa di antaranya menjadi penerjemah, dan beberapa orang menjadi spekulan. Namun pada umumnya, orang Tionghoa diangap kurang menunjukkan kerja sama dibandingkan dengan orang Melayu yang dipilih Jepang untuk dipekerjakan sebagai polisi dan pegawai, seperti tugas yang pernah mereka emban pada zaman Belanda. Kebijakan Jepang dari maksud dan dari akibatnya jelas bersifat memecah-belah antar etnis. Orang Tionghoa merasa marah kepada orang Melayu karena mau bekerja sama dengan Jepang dalam tugas-tugas pemerintahan dan kepolisian. Orang Dayak yang paling tidak ada kesempatan mengambil keuntungan dari interaksi dengan tentara pendudukan, terkadang memandang orang Melayu sebagau pemeras dan orang Tionghoa sebagai pencatut. Meski begitu, beberapa orang Tionghoa menjadi pengungsi bersama orang Dayak di pedalaman, di mana orang Dayak membagi persediaan makanannya yang sedikit untuk mereka.

Ketika perang mulai bergerak ke arah kekalahan Jepang, kebanyakan orang Tionghoa menerima berita ini dengan gembira. Harapan pun membumbung tinggi, tidak hanya karena Jepang akan terpaksa keluar dari Borneo Barat, namun juga karena terlihat Negeri Tiongkok akan muncul sebagai salah satu pemenang dari perang itu. Orang Tionghoa dan kelompoknya seringkali menunjukkan kegembiraannya yang berlebih-lebihan. Memang pula cukup alasan baginya untuk berbuat demikian setelah sejak lama hidup di bawah tekanan. Tiongkok diketahui bukan saja sebuah negara besar tetapi pun juga salah sebuah dari negara-negara yang memenangkan perang. Negara itu kini termasuk dalam tiga besar atau mungkin empat besar yang mengibarkan bendera kemenangan. Itulah yang membuat mereka bangga.

Kegembiraan golongan Tionghoa itu seringkali dinampakkan mereka sebagai kebangaan dan rasa lebih diri secara menyolok. Sikap demikian itu bukan saja terhadap Jepang yang tidak berkuku lagi tetapi pun juga terhadap orang Indonesia dan lebih-lebih para pemudanya yang melihat gejala itu dengan rasa marah yang terpendam. Kadang-kadang sikap dan tingkah laku itu muncul dengan ucapan-ucapan yang negatif. Komunitas Tionghoa yang dalam masa sebelum perang terbagi dalam dua golongan antara orang Tionghoa yang sangat kuat berorientasi ke Tiongkok dan golongan yang mementingkan yang lain, dalam posisi ambang kejatuhan Jepang secara politik lebih bersatu dan semakin menyadari akan keetnisan Tionghoa mereka. (Din Osman)

PERISTIWA PONTIANAK
Rezim teror Jepang di Borneo Barat mungkin yang paling buruk dibandingkan dengan wilayah Hindia lainnya. Komentar dalam laporan intelijen Belanda 7 Oktober 1946 tentang orang Tionghoa di Borneo Barat ini menyimpulkan segala pengalaman penduduk Borneo Barat selama perang. Di awal 1943 Jepang mengumumkan telah menemukan sebuah persekongkolan untuk melakukan pemberontakan di Banjarmasin. Mantan Gubernur Borneo BJ Haga yang tengah menjadi tawanan perang di sana, dituduh sebagai pemimpin komplotan multi etnis untuk melawan Jepang. Diduga, Haga berhubungan dengan dunia luar melalui seorang teman India yang membawakan makanan untuknya ke penjara. Menurut Jepang, karena temannya itu secara ilegal mendengarkan siaran berita asing, maka Haga sedang mengorganisasikan sebuah komplotan anti Jepang. Sekalipun tuduhan tersebut tidak mendasar dan bahkan sulit dipercaya, namun hal ini tidak menghentikan para penuduh. Pemerintahan Jepang menganggap mendengarkan siaran radio dari saluran tidak resmi merupakan pengkhianatan, mereka menyiksa beberapa orang tersangka untuk memperoleh pengakuan dan menyebutkan nama-nama dari mereka yang diduga terlibat dalam komplotan ini. Setelah itu serangkaian penangkapan yang meluas dilakukan Jepang, bahkan mereka menemukan sedikit senjata dalam upaya itu. Sekitar 140 orang dihukum mati, dan kebanyakan mereka tidak pernah dituntut atas satu kejahatan yang tertentu atau diadili di pengadilan.

Pemerintahan kemudian memutuskan, berdasarkan pengakuan yang didapatkan dari serangkaian penyiksaan, bahwa persekongkolan Haga juga menyebar ke bagian lain Borneo. Beberapa senjata yang ditemukan di Banjarmasin yang tidak cocok digunakan untuk mengadakan perlawanan telah digunakan untuk mencegah penjarahan pada masa awal pendudukan. Kepemimpinan militer jelas-jelas menekan kepala polisi Sasuga Iwao untuk memberikan informasi tentang sebuah komplotan di Pontianak. Kepala kepolisian Jepang Sasuga Iwao di Banajrmasin mengunjungi Pontianak beberapa kali sebelum Peristiwa Pontianak pecah pada 23 Oktober 1943, dengan terjadi penangkapan besar-besaran terhadap orang terkemuka di sana.

Pada awalnya hanya sedikit orang yang ditangkap dan disiksa, tapi mereka menyalahkan orang lain yang selanjutnya berakibat semakin banyak dan bahkan mencapai ratusan orang yang ditangkap dan disiksa di Pontianak. Masalah ini menjadi seperti bola salju yang semakin membesar, terdapat sekitar dua ribu orang dari semua komunitas yang dijadikan tersangka dan sekitar 1.300 hingga 1.500 orang ditangkap. Bahkan beberapa di antaranya adalah wanita. Sedikit sekali upaya yang dilakukan untuk menghindar tuduhan palsu ini. Beberapa korban menandatangani kertas kosong atas pengakuan dalam bahasa Jepang.

Sejumlah 46 orang, beberapa sumber menyebutkan jumlah 36, disidangkan kasusnya dalam pengadilan mahkamah militer di Pontianak pada Juni 1944. sementara itu yang lainnya dihukum dengan hukuman mati atas perintah Laksamana Madia Daigo Tadashigi di Balaikpapan. Laksamana tersebut kemudian mengklaim bahwa sebuah pengadilan darurat perang di Balikpapan telah menghadirkan para korban, namun tidak ada satupun dari para tahanan ini yang pernah melihat Balikpapan. Pengadilan di Pontianak hanya berlangsung selama satu setengah jam dan tidak ada pembelaan.

Truk-truk tertutup terpal atau oto sungkup pergi pada malam hari ke tempat tujuan yang dirahasiakan di dekat Mandor. Prosesi ini berlangsung terus hingga 28 Juni 1944 sebagaimana dituangkan dalam dokumen-dokumen kejahatan perang dan mengutip sebuah surat kabar Tionghoa 14 Oktober 1945 terbitan Pontianak. Orang hanya bisa berspekulasi tentang apa yang sedang terjadi. Kerjasama dengan Jepang tidak menjadi jaminan terhindar dari penangkapan-penangkapan ini, banyak di antara orang yang tertangkap memiliki jabatan dalam organisasi yang disokong Jepang.

Pada 1 Juli 1944 koran Borneo Shimbun edisi Pontianak memberikan penjelasan mengenai kegiatan misterius dan penghilangan orang secara rahasia tersebut. Dilaporkan bahwa sebuah persekongkolan raksasa pengkhianatan melawan Jepang telah terungkap. Pihak Jepang telah menemukan berbagai senjata yang disembunyikan dan bukti-bukti lainnya. Mereka telah menangkap para pemimpin kelompok ini dan telah menghukum mati mereka.

Setelah itu, sebuah daftar dengan nama para anggota komplotan persekongkolan terkutuk itu dikeluarkan, dan di antaranya terdapat orang Melayu, Bugis, Jawa, Minangkabau, Batak, Manado, Indo-Eropa, dan Dayak. Nama-nama terkemuka yang ada di dalam daftar tersebut adalah para penguasa pribumi, sultan dan panembahan, yang semuanya telah dihabisi dalam kejadian ini. Pemerintah menyatakan bahwa kesemua tersangka dituduh sebagai peserta dalam persekongkolan multi etnis yang terdiri dari 13 organisasi ini, yang membangun hubungan rahasia dengan orang tahanan Belanda yang ada di penjara dan dengan Sekutu yang masih berada jauh dari sana. Sebanyak ribuan orang telah bersekongkol untuk membentuk sebuah pemerintahan sayap kiri Republik Rakyat Borneo Barat yang akan menghapuskan pemerintahan kerajaan pribumi dan menggantikan kekuasaan mereka.

Menurut teori persekongkolan ini, sultan dan para penguasa lokal lainnya dinyatakan ikut terlibat dalam peristiwa ini, meskipun menurut fakta Republik Rakyat Borneo Barat dituding bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan mereka. Kisah ini berlanjut: setelah pembubaran Nisshinkai yang lemah, kelompok pemuda Islam yaitu Pemuda Muhammadiyah terbukti menjadi pimpinan persekongkolan ini, dan pada pertengahan 1943 orang Tionghoa pun bergabung. Bahkan sekelompok batalion pekerja (Heiho) pun dilibatkan. Selanjutnya, surat kabar Borneo Shimbun menyebutkan bahwa orang Tionghoa telah melakukan sabotase perekonomian. Surat kabar ini menyalahkan orang Tionghoa atas kesengsaraan yang disebabkan oleh kebijakan Jepang.

Meskipun surat kabar tersebut menutup sejumlah pertanyaan, namun surat kabar ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain. Sangat diragukan. Mereka terdiri dari beraneka ragam kedudukan dalam masyarakat. Jadi juga mempunyai beraneka ragam kepentingan. Ada sultan, ada panembahan, di samping ada juga para pegawai dan pedagang. Jika benar ada rencana untuk suatu pemberontakan, maka itulah ragam latar belakangnya. Kalaupun tidak benar, maka suatu kenyataan adalah jelas, mereka adalah korban yang sangat mahal untuk disia-siakan dari suatu pendudukan dan penjajahan asing atah tanahair dan bangsa. (Din Osman)

DEMIKIANLAH KESUDAHANNYA
Sebuah penyelidikan selepas perang yang dilakukan oleh tentara Belanda dan Australia menegaskan dugaan bahwa mereka menyimpulkan bahwa isu pemberontakan itu hanya isapan jempol Jepang belaka ataupun alat untuk menyingkirkan para pemimpin setempat. Organisasi multi etnis tidak pernah dikenal di Borneo sebelum Perang Dunia II, dan Sekutu sendiri juga tidak mengetahui mengenai orang yang diduga sebagai kontak rahasia mereka di Borneo Barat. Beberapa waktu kemudian, seorang perwira Jepang menyatakan bahwa polisi telah menemukan beberapa senjata Sekutu, namun kalangan militer lainnya yang terlibat mengakui bahwa tuduhan tersebut hanya rekaan belaka. Sebenarnya tidak ada bukti yang menunjukkan berlangsungnya kegiatan perlawanan aktif terhadap Jepang.

Mustahil untuk menyusun kembali apa yang telah terjadi. Satu-satunya saksi yang ada hanyalah para pelaku dan para korbannya. Artikel dalam Borneo Shimbun merupakan satu-satunya penjelasan resmi atas peristiwa itu, selain pengakuan yang saling bertentang dari para perwira Jepang dalam pengadilan kejahatan perang yang dilakukan setelah perang berakhir. Satu-satunya pemberontakan fisik, yang berlainan dengan pemberontakan khayalan Jepang, menentang kekuasaan Jepang ialah pemberontakan orang Dayak di sekitar Sanggau Kapuas antara Mei—Juni 1945. di sana, orang Dayak membunuh sejumlah orang Jepang. Kekerasan menyebar, bahkan orang Melayu pun yang diduga berkolaborasi dengan Jepang diburu kepalanya sebagaimana terjadi di daerah Ngabang. Kapuas Hulu tetap dalam kondisi tidak aman selama berbulan-bulan.

Pembantaian yang dilakukan Jepang telah melenyapkan para elit Melayu setempat. Para penguasa pribumi Borneo Barat lainnya juga dihukum mati. Banyak pegawai dan mantan pegawai, para anggota organisasi nasionalis sebelum perang, wartawan, dokter terutama, guru, para istri orang Eropa, dan semua orang yang memiliki status hukum sebagai Golongan Eropa, ditangkapi dan dibunuh. Beberapa orang dari korban tersebut adalah para pengusaha kaya Tionghoa yang dituduh mengelak dari monopoli perdagangan resmi atau memiliki uang dalam jumlah besar. Ng Ngiap Soen yang memimpin Kakyo Toseikai tewas karena disiksa sebagaimana dijelaskan dalam Dokumen Laporan Interogasi Pontianak Februari 1946. ng Ngiap Kan (Mandarin: Huang Yejiang), pemilik pabrik es dan kepala sebuah organisasi di Singkawang, kemungkinan dia saudara atau sepupu laki-laki dari Ng Ngiap Soen, juga menjadi korban lainnya.

Sebuah pernyataan anonim menggambarkan metode yang digunakan dalam eksekusi tersebut. Dari sebuah pernyataan yang dikeluarkan dalam bahasa Belanda, Inggris dan Tionghoa dalam sebuah surat kabar Tionghoa di Pontianak menyebutkan bahwa anggota komplotan telah ditembak, namun ketika mayatnya digali pada 1947, terlihat bahwa mereka kebanyakan dipenggal kepalanya. Diuarikan di sana, setelah lewat tengah malam mereka diambil dari penjara. Kepala mereka ditutupi karung, dan digiring seperti hewan ke dalam sebuah truk tertutup dan mereka dibawa ke sebuah bandara yang belum jadi di sekitar Mandor. Di sana mereka dikubur hidup-hidup atau dipancung dan dibuang ke dalam lubang-lubang yang digali untuk keperluan ini.

Kebanyakan eksekusi tersebut dilakukan dekat Mandor. Terdapat sekurang-kurangnya 8 kali peristiwa ekskusi ini. Para algojo diambil dari Tokeitai atau polisi rahasia, penuturan-penuturan dalam bahasa Indonesia seringkali menyebutkan peran Kempeitai dalam pembunuhan ini, namun organisasi ini tidak pernah ada di Borneo. Tidak seperti Kempeitai yang dilatih secara rofesional, kebanyakan anggota Tokeitai adalah para pemuda desa dengan sedikit pendidikan atau pelatihan untuk pekerjaan ini. Mungkin karena inilah mereka nampaknya menurut begitu saja terhadap perintah untuk membunuh para korbannya, yang biasanya dilakukan dengan cara memenggal kepala para korban dengan pedang atau samurai.

Artikel dalam Borneo Shimbun menyebutkan bahwa kebanyakan penangkapan terjadi selama Oktober 1943. gelombang penagkapan kedua pada 24 Januari 1944 terjadi di Singkawang yang nampaknya diawali dengan tertangkapnya seorang Tionghoa yang membawa sebuah alat penerima radio terlarang, yang kemudian dirinya mendadak dikelilingi oleh sekumpulan sisa-sisa pesekongkolan, kebanyakan di antara mereka adalah para pengusaha Tionghoa. Korban yang tertangkap disiksa oleh orang Jepang dan polisi setempat dengan tuduhan terlibat dalam sebuah persekongkolan. Orang lainnya kemudian dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan berkalnjutan atau dengan surat beracun.

Di antara mereka yang ditangkap ini ialah Tjhen Tjhong-hin (Mandarin: Chen Changxing), bekas ketua Kamar Dagang yang juga menjabat sebagai pemimpin Kakyo Toseikai, sebuah organisasi yang pada mulanya disponsori Jepang bagi Tionghoa Perantauan. Dia dituduh mengorganisir persekongkolan untuk membentuk sebuah daerah otonomi Borneo Barat di bawah kekuasaan Chungking. Pemerintahan menyatakan bahwa komplotan di Singkawang ini berencana untuk meracuni orang Jepang. Dikatakan juga bahwa orang Tionghoa ini telah melakukan sabotase pereonomian dengan membeli bahan-bahan mentah dan tidak mau menjualnya ke orang Jepang. Peristiwa Tionghoa ini kembali mengkambinghitamkan orang Tionghoa, menyalahkan atas terjadinya kerusakan ekonomi ke pundak mereka, walaupun pada kenyataanya hal ini disebabkan oleh kebijakan yang diberlakukan oleh tentara pendudukan itu sendiri.

Para korban yang lainnya dipenggal kepalanya antara Desember 1944 dan Februari 1945 di dekat lapangan terbang Pontianak (Sungai Durian) oleh anggota Tokeitai dan Keibitai (polisi pengintai). Mereka dikuburkan dalam sebuah kuburan masal yang digali secara terpaksa oleh para korban itu sendiri. Pembunuhan tahap ini di sini dilakukan sekurang-kurangnya dua kali. Penggeledahan resmi terhadap senjata dan radio hanya menemukan dua pucuk revolver, namun dalam proses penggeledahan oleh Jepang tersebut juga dirampas berbagai barang berharga, uang, perhiasan dan emas. Banyak orang Tionghoa meninggalkan kota mengungsi ke pedalaman, banyak yang pindah ke kebun-kebun karet mereka, dan sebagian lainnya, seperti yang dilakukan orang Tionghoa yang berada di Malaya, menjadi penghuni liar. (Din Osman)

MENJADI SEBUAH SEJARAH
Pada 1945, sebelum mereka dipindahkan ke Sarawak oleh pasukan Australia, para perwira dan tentara Jepang membakar semua dokumen yang berhubungan dengan pembunuhan massal di Pontianak, dan mereka sepakat untuk membuat pengakuan yang konsisten tentang pemberontakan. Australia yang bertindak atas nama Sekutu tiba di Borneo Barat pada 17 Oktober 1945 dan didampingi oleh beberapa pegawai Belanda sebagai perwakilan awal NICA, pemerintahan sipil Hindia Belanda, yang bertugas untuk memulihkan pemerintahan kolonial pada bulan-bulan berikutnya.

Berita tentang pembunuhan massal menyebar dengan cepat. Surat kabar berbahasa Tionghoa, Chung Hwa Jit Pao dalam edisi ke-6 tanggal 16 Oktober 1945, menerbitkan di halaman pertamanya sebuah surat untuk pasukan Sekutu dan NICA tertanggal 14 Oktober, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda dan Tionghoa. Surat terbuka ini menjelaskan betapa ribuan manusia telah menjadi korban sebagai akibat penganiayaan yang dilakukan Jepang dan bagaimana para tahanan disiksa dan dibawa dengan truk ke sebuah lapangan udara yang belum selesai dibangun di sekitar Mandor untuk kemudian dibunuh. Surat kabar tersebut menuntut agar mereka yang bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut mendapat hukuman, dan menyatakan rasa senangnya karena Sekutu telah tiba.

Pada Januari dan Februari 1946, sejumlah 111 tentara tingkat rendahan Jepang diterbangkan dari Kuching ke Pontianak untuk disidangkan dalam sebuah mahkamah perang Sekutu sementara atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Kebanyakan pelaku terkemuka disidangkan di Tokyo. Sulit untuk melindungi para tahanan ini dari tindakan main hakim sendiri begitu mereka tiba di Pontianak. Meskipun begitu, sewaktu sidang dimulai hanya sedikit saksi yang maju ke depan persidangan dengan pengakuan yang memberatkan mereka. Namun demikian, para wartawan dan orang perorangan yang ada di sana mengeluhkan jalannya sidang yang menurut mereka berjalan terlalu lambat.

Para tahanan akhirnya menuntun pegawai Belanda ke kuburan massal tersebut. Beberapa orang bersikeras bahwa sebuah persekongkolan multi etnis memang benar-benar ada. Sementara yang lainnya mengakui bahwa mereka tidak menemukan bukti satupun juga. Pada Januari 1948 mahkamah perang menghukum mati tujuh orang atas keterlibatan mereka tersebut dan lima tahanan lainnya dihukum penjara selama 10 sampai 20 tahun. Para penuntut umum sendiri tidak dapat menjelaskan mengenai peristiwa kekejaman massal yang luar biasa dan benar-benar unik yang terjadi di Kalimantan Barat.

Etnis Tionghoa ditangkap karena kekayaan mereka bukan karena mereka telah melakukan suatu kejahatan. Kebanyakan dari mereka adalah hartawan dan orang terkemuka dan kerena itu lebih baik mereka dibunuh, mengutip pengakuan seorang Jepang yang terlibat. Hanya beberapa dari jenazah korban yang dapat dikenali. Sebuah rencana awal bagi pendirian tugu peringatan kemudian disusun dan dibentuklah sebuah panitia untuk tujuan tersebut yang terdiri atas orang pribumi dan Tionghoa. Panitia ini disebut Panitia Peringatan Kaum Malang dengan Sultan Pontianak yang baru, Hamid II sebagai ketua kehormatan, yang meletakkan batu pertama pembangunan tugu peringatan tersebut pada akhir 1946.

Ketika pada 15 Maret 1947 tugu tersebut diresmikan, jumlah korban seperti diucapkan dalam pidato Hamid II saat itu, diperkirakan sekitar seribu orang di Kopyang dekat Mandor, 270 orang di Sungai Durian, 150 orang lainnya di Ketapang, 13 orang dibunuh di belakang bekas rumah residen, 6 orang di dalam penjara, dan 13 lainnya di belakang sebuah gereja. Keseluruhannya ada 1.500 orang, 21 di antaranya dikenali sebagai orang Eropa, 559 orang ada pribumi Indonesia, 18 orang India, dan kemudian 854 orang Tionghoa sebagai kelompok korban terbanyak. Pemusnahan para pemimpin di daerah ini menyebabkan kekosongan di dalam pemerintahan setempat.

Dan semuanya telah menjadi sejarah … (Din Osman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar