Minggu, 28 Desember 2008

KISAH AWAL PENAMBANG EMAS DI “DISTRIK TIONGHOA” BORNEO BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

PESONA BUNGKAL EMAS
Di abad ke 19 lalu, Belanda di kepulauan Indonesia terlihat mengalami perubahan, dari sebuah kekuasaan dagang dengan hanya sekedar memiliki pos-pos dagang di beberapa pelabuhan besar saja dan penguasaan wilayah yang minimal (kecuali di Jawa dan Kepulauan Rempah-rempah Maluku) menjadi sebuah kekuasaan administratif yang menyatakan menguasai wilayah yang luas. Persaingan dengan Inggris dan karena kelemahan internal menyebabkan Perusahaan Dagang Hindia Belanda [VOC] Vereenigde Oostindische Compagnie mengalami kebangkrutan pada akhir abad ke 18. dan pemerintah Belanda mengambil alih semua aset dan usahanya. Meskipun VOC telah melakukan kontak dengan Borneo Barat, dan bahkan sudah mendirikan kantor perwakilan di sana secara sporadis, namun baru pada Juli 1818 Belanda mendirikan kantor yang permanen di Pontianak, dan mulai menyatakan kekuasaannya atas seluruh wilayah itu. Meskipun mereka dapat bekerja sama dengan para penguasa Melayu yang penting dalam melakukan usahanya tersebut, namun inisiatif politik dan ekonomi mereka itu segera saja membawa masuk ke dalam pertikaian dengan orang Tionghoa.

Sebelum masa pemerintahan sementara Inggris dari 1818 hingga 1816, Letnan Gubernur TS Raffles telah mengirimkan sebuah permintaan ke Pontianak untuk memberikan informasi mengenai keadaan di Borneo Barat. Di sana tinggal seorang kapten kapal atau pedagang Inggris J Burn yang sudah bermukim di Pontianak sekurang-kurangnya sejak 1808. burn menulis sebuah penuturan panjang mengenai kota tersebut dan daerah sekitarnya, tentang dua orang penguasanya dan perekonomiannya. Penuturannya ini sebagian diterbitkan di Batavia pada 1814, dan dicetak ulang di Singapura pada 1837. pemaparan Burn tersebut boleh jadi telah membuat Raffles terbit air liurnya, dan kemudian juga Belanda untuk segera masuk ke Borneo Barat, mengingat paparan Burn tersebut mencakup rincian dari wilayah yang penuh dengan kekayaan alam, dan diatas semua itu, terdapat emas.

Dua eksemplar penuturan Burn yang ditulis dalam 151 halaman manuskrip dan barangkali merupakan sumber informasi terbanyak, maupun misinformasi, bagi Raffles mengenai wilayah ini. Sebagian dari penuturan Burn tersebut dicetak ulang dalam Dr John Leyden. Di kemudian hari Raffles terinsipirasi, koloni besar orang Tionghoa yang dibangun oleh mereka sendiri di Borneo. Sejumlah besar emas yang mereka ekspor pertahunnya diperkirakan senilai tidak kurang dari setengah juta sterling. Monterado dilaporkan memiliki enam ribu pekerja, yang setiap tahunnya masing-masing pekerja menghasilkan lebih dari satu pon emas dan secara tidak realistis memperkirakan keberadaan 200.000 orang Tionghoa di Borneo.

Emas yang dikumpulkan di Borneo Barat, normalnya dalam bentuk serbuk emas, biasanya dijual dalam timbangan dollar perak, harganya tergantung dari takaran kemurnian dari emas tersebut, yang dibedakan berdasarkan tempat emas tersebut ditambang. Serbuk emas dijual seharga 23 hingga 25 dolar perak untuk satu bungkalnya. Satu bungkal kira-kira seberat dua keping uang dolar perak. Di hulu sungai, harganya serendah 16 dolar perak per satu bungkal. Satu aturan konversi menyatakan 550 bungkal adalah setara satu pikul, yaitu sekitar sekitar enam puluh kilogram, jadi satu bungkal memiliki berat sekitar 113 gram. Dari Tiongkok, jung-jung membawa muatan the, sutera mentah dan sutera halus, tembikar kasar, permen (gula-gula), periuk besi dan produk Tiongkok lainnya, dan sejumlah besar kertas bergambar barangkali kertas dewa, uang-uangan kelenteng yang dipergunakan oleh orang Tionghoa dalam upacara keagamaan. Jika muatan dari jung-jung yang berlayar dari Kanton (Guangzhou) dapat bernilai sebesar 25.000 sampai 30.000 dollar, sedangkan yang berlayar dari Amoy atau tempat lainnya bermuatan senilai kurang dari itu.

Bandingkan dengan datar ekspor 1830-an, rotan, lilin, kayu hitam (eboni) dan kayu besi, serbuk emas dari Mandor dan intan dari Landak. Komoditas ekspor, terutama ke Tiongkok, terdiri dari tempurung kura-kura, kapur barus, sarang burung dan lada, sementara intan kebanyakan dikirim ke Jawa dan emas ke Jawa, Singapura dan Tiongkok. Dari Tiongkok didatangkan sutera, nankin (katun), tembakau Tionghoa, the, sayur mayur yang diawetkan, buah-buahan, ikan, kertas sembahyang atau pembungkus wajan dan kuali besi, mangkuk tembikar, piring dan bejana air, serta barang-barang lainnya.

Para penambang bukanlah orang Dayak. Orang Dayak bermukim di komunitas kecil dan relatif terisolasi dan jarang memiliki hubungan dengan dunia luar, sehingga relatif sangat mudah untuk dikuasai. Sebaliknya para pekerja Tionghoa memiliki organisasi dan jejaring yang lebih baik. Kongsi-kongsi mereka, organisasi yang sama yang memungkinkan orang Tionghoa menambang secara lebih efisien, juga memungkinkan mereka untuk menentang penguasa Melayu, sedangkan ikatan mereka dengan luar negeri memberikan mereka keunggulan tambahan. Segera saja, mereka dengan terang-terangan meniadakan semua ketentuan dalam perjanjian dengan para penguasa pribumi.

Orang Tionghoa dapat menghindari pelabuhan para penguasa dengan cara menggunakan sungai-sungai yang sejajar dengan sungai utama untuk mencapai lautan, membawa masuk orang, barang-barang atau persenjataan, dan untuk mengekspor emas. Wilayah Sambas misalnya, dialiri oleh sejumlah sungai, bukan hanya Sambas Kecil tempat sultan tinggal. Tentu saja, pemukiman-pemukiman orang Tionghoa seperti Peniraman, Sungai Pinyuh, Sungai Raya, Selakau dan Sedau, bertumbuhan di sepanjang pantai berdekatan dengan muara dari sungai-sungai sekunder tersebut. Orang Tionghoa yang berada di daerah hulu telah membangun hilir mereka sendiri. Mereka juga mendayagunakan jejak orang Dayak, jalan setapak yang menghubungkan lembah-lembah sungai, dalam prakteknya mereka kemudian mengembangkan jalan-jalan setapak tersebut untuk mempermudah perjalanan melalui darat.

Dilaporkan di sepanjang satu jalan bahkan terdapat sebuah penginapan Tionghoa. Bertentangan dengan perjanjian yang ada, mereka menanam padi dan sayur mayur di lembah-lembah yang lebih subur sehingga mengurangi ketergantungan pada barang yang ditawarkan oleh istana, yang harganya terlalu mahal dan seringkali persediaannya tidak memadai. Monopoli yang dilakukan feodal Melayu terhadap distribusi beras menciptakan pondasi bagi kegiatan pertanian orang Tionghoa, namun dalam praktek, tambang-tambang Tionghoa seringkali membangun kebun sayur mayur dan kandang babi. Tentu saja, berkebun sayur mayur sudah menjadi tradisi turun temurun di Tiongkok. Mereka mengancam dan bahkan membunuh orang Dayak yang dikirim oleh penguasa untuk mengendalikan mereka, dan mereka menempatkan orang Dayak yang lainnya untuk bekerja di pertanian atau penambangan.

Intrik-intrik yang terjadi di istana juga tidak memandang pembagian etnis. Para penambang Tionghoa di Sambas membayar pajak mereka secara pantas selama beberapa tahun setelah kedatangan mereka, namun ketika seorang sultan yang baru naik tahta, saudara laki-laki tertuanya Pangeran Anom, yang sudah hidup di antara orang Tionghoa selama lima tahun, mengenakan pakaian Tionghoa, dan tampaknya juga agama dan tradisi mereka. Benar bahwa sangan pangeran adalah seorang muslim Melayu, namun dia adalah manusia abad ke 18 yang tidak berpandangan kaku dalam masalah etnis dan agama. Dia mempengaruhi orang Tionghoa di Monterado untuk berhenti membayar pajak kepada sultan. Di kemudian nanti, Pangeran Anom ini mengambil alih tahta, namun malang baginya, orang Tionghoa sekarang sudah begitu merdeka dan mereka hanya membayar pajak sebesar seribu dollar dalam bentuk emas kepada bekas sekutunya itu sekali saja.

KISAH AWAL KONGSI
Orang Tionghoa menyumbangkan kata kongsi (gongsi) yang sekarang ini secara luas dipergunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu untuk setiap usaha bersama atau kemitraan, terutama kemitraan yang para anggotanya mengumpulkan sumbangan keuangan mereka. Di Asia Tenggara masa kini, sebuah kongsi adalah sebuah firma atau perusahaan publik, setiap bentuk perkumpulan dari sebuah klub hingga ke sebuah perseroan terbatas. Di Borneo Barat, pada masa ketika Belanda datang, unit usaha bersama ini juga memiliki karakter negara.

Di wilayah pertambangan emas Borneo Barat, dan hal ini terlihat sebagai pengalaman orang Tionghoa yang unik, terdapat perkumpulan atau federasi dari kongsi pertambangan. Federasi ini dapat menyatukan ratusan bahkan ribuan orang pada beberapa areal penambangan. Mereka membangun balai sidang (tjoengthang, zongting, balai umum atau balai utama), balai atau aula merupakan terjemahan umum dari kata thang (ting), bangunan ini juga tampak jelas merupakan kelenteng leluhur. Dan para perwakilan dari kongsi-kongsi besar yang menjadi anggotanya bertanggung jawab atas pemerintahan sehari-hari. Mereka disebut sebagai republik dan demokrasi dalam sumber-sumber abad ke 19. tiga federasi besar di Borneo Barat adalah Fosjoen (Heshun) di Monterado, Lanfang di Mandor, dan Samtiaokioe (Santiaogou) yang pada suatu ketika adalah anggota dari Fosjoen di Monterado, namun memisahkan diri pada 1819.

Para penambang membentuk pengelompokan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari kongsi-kongsi kecil dalam rangka untuk melawan keganasan alam, sikap permusuhan dari orang Dayak, dan kebuasan para feodal Melayu. Konsolidasi ini tidak selalu melalui sebuah proses yang damai. Konflik internal di dalam satu kongsi dan konflik antar kongsi merupakan sebuah unsur yang permanen di kehidupan pesisir barat. Dari ketiga federasi besar kongsi yang ada di pesisir barat Borneo, federasi kongsi yang tangguh di Monterado, bernama Fosjoen Tjoengthang (Heshun Zonting), seringkali disebut musuh bebuyutan pemerintah kolonial, meskipun selama bertahun-tahun kedua belah pihak hidup berdampingan secara damai. Nama heshun mungkin berarti harmoni dan sejahtera, meskipun diterjemahkan juga kombinasi itu sebagai beradab dan ramah tamah atau menyenangkan. Zongting merupakan balai umum atau utama, namun mempunyai fungsi yang beragam, ada yang menggambarkannya sebagai sebuah parlemen, sebuah dewan ekskutif, sebuah kepresidenan, sebuah markas tentara dan sebuah gedung rapat umum, juga sebuah kelenteng. Kebanyakan sumber menyebutnya sebagai rumah kongsi dan dalam kenyataannya juga merupakan kediaman sang ketua dan keluarganya.

Kongsi-kongsi membangun balai umum untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan komunitas, sedikit sekali mendapat perhatian. Istilah kongsi juga terkadang dipakai untuk kelompok dengan moyang yang sama, jika, misalnya, mereka mendirikan sebuah kelentengarga. Kantor pusat kongsi bukanlah hanya sekedar bangunan yang berfungsi sebagai tempat administrasi umum, sebagai tempat tinggal sang ketua dan sebagai tempat pertemuan umum saja, namun juga sebagai tempat kediaman gambaran dari dewa atau dewi pelindung. Setiap perkumpulan besar memiliki dewa-dewinya masing-masing, sedangkan agama orang Tionghoa dan ikatan tata keagamaan yang merakyat mengukuhkan ikatan keanggotaan kongsi. Hanya organisasi yang memiliki balai, altar, dan dewanya sendirilah yang dapat mengukuhkan penerimaan pendatang dari Tiongkok sebagai anggota kongsi. Federasi yang lebih besar kemudian mengukuhkan para pekerja ke dalam kongsi untuk penambangan mereka sendiri, dan terkadang untuk penambangan independen yang lebih kecil.

Ritual pengukuhan bagi para penambang baru tampaknya mirip dengan ritual yang dipergunakan dalam upacara pendirian sebuah kelenteng Tao yang baru atau bagi pemukiman baru di Tiongkok, yangmenggabungkan unsur-unsur agama rakyat. Para imigran ke Borneo mungkin membawa abu pembakaran dupa dari kelenteng kampung halaman mereka, menambahkannya pada pembakaran dupa di tempat mereka yang baru. Tindakan ini, ditambah dengan pengambilan sumpah, membentuk satu keterikatan yang simbolis, menjadikan para anggota baru yang berada dalam diaspora tanpa sanak keluarga sebagai saudara rohani, mengingatkan pada persaudaraan melalui upacara yang mirip dengan perkumpulan rahasia.

Jika agama rakyat membentuk pengikat sosial dari kongsi, tetap saja tugas utamanya adalah untuk mendatangkan para penambang dan untuk mengekspor emas. Kualitas keagamaan dari kongsi tidaklah mengurangi fungsi ekonomi, politik dan administratif mereka. Tidak seperti orang barat modern, orang Tionghoa di abad ke 19 tidak berpola pikir yang memisahkan antara dunia religius dengan dunia sekuler, agama mereka adalah mengenai dunia ini seperti juga dunia ke depan dan para dewa, medium dan prosesi dapat mengekspresikan kekuasaan negara dan individu sama halnya dengan angkatan bersenjata, prosedur peradilan, atau struktur administrasi, kongsi-kongsi memiliki beragam fungsi.

Sejauhmana mereka bersifat demokratis, mereka hanya dapat tetap mempertahankan demokrasi tersebut dengan cara melawan kekuasaan dari luar. Akhirnya, menurut para pengamat kolonial, kongsi-kongsi telah memperluas pengaruhnya hingga ke perkampungan Dayak di sekitarnya, yang harus membayar upeti kepada kongsi atau membeli barang dari para pedagang Tionghoa secara berutang, sebuah sistem yang dengan mudah menjerumuskan orang Dayak menjadi budak hutang. Orang Tionghoa memanfaatkan jeratan hutang tadi untuk mengambil anak atau istri dari orang Dayak untuk dijadikan sebagai pelayan mereka. Dalam kacamata Belanda, kerajaan-kerajaan Melayu dapat dibiarkan ada, lebih dikarenakan kelemahan dari pada kebajikannya, organisasi-organisasi Tionghoa, apapun kebaikannya, tidak diperbolehkan hidup karena kekuatan mereka itu.

PARA PENDATANG AWAL
Para penambang Tionghoa pertama kemungkinan besar direkrut oleh para pedagang dan kapten kapal dari Tiongkok yang sudah memiliki kontak yang lama dengan Borneo Barat. Untuk mengerjakan penambangan-penambangan, pembentukan unit kerjasama benar-benar menjadi keharusan, memastikan agar kerja kasar namun relatif tidak membutuhkan keahlian dapat terlaksana, dan juga kebutuhan untuk membagi tanggung jawab dan keuntungan. Pertambangan berskala kecil di Tiongkok juga dijalankan berbasiskan kerjasama serupa, usaha dalam bentuk pembagian saham juga sudah menjadi tradisi yang lama di kalangan para pedagang dan pelaut Tiongkok Selatan.

Nama dari banyak kongsi di Borneo Barat mencerminkan asal mereka sebagai kelompok pemegang saham. Misalnya, Sjipngfoen (Shiwufen) atau Limabelas Saham, Sjipsamfoen (Shisanfen) Tigabelas Saham dan seterusnya. Para anggota terkadang mengikatkan diri mereka satusama lain dengan cara mengangkat sumpah, seperti yang dilakukan dalam perkumpulan rahasia Tionghoa, tidak seperti inisiasi perkumpulan, dalam kongsi tambang tidak ada darah yang diteteskan sebagai janji kesetiaan. Namun tujuan utama dari kongsi pertambangan adalah komersial, bukan persekongkolan.

Pertambangan juga membutuhkan modal untuk mendatangkan para pekerja. Pengeluaran terbesar dalam operasi pertambangan bukan untuk pengadaan teknologi sederhana yang digunakan, melainkan untuk perekrutan dan pengangkutan para pekerja. Keahlian khusus yang dibutuhkan sangat sedikit sekali, dan hampir semua mesin-mesin sederhana yang dipakai dapat dibangun dengan bahan baku setempat. Namun, ketersediaan terus menerus akan tenaga kerja yang masih segar merupakan hal yang benar-benar mutlak diperlukan bagi pengoperasian pertambangan, dikarenakan tingginya tingkat kematian, penyakit, banyaknya penambang memilih untuk kembali atau mudik ke Tiongkok, dan berbagai bentuk pengurangan lainnya. Hal ini benar-benar nyata, terutama sejalan dengan bertambah besarnya pertambangan dengan mempekerjakan seratus hingga duaratus pekerja dan bertambah pula investasi untuk pekerjaan perairan, bendungan dan pintu air.

Kebutuhan perekrutan tenaga kerja membatasi watak kerja sama dari pertambangan. Para penambang yang baru hanya dapatn menjadi pemegang saham, ketika mereka sudah melunasi semua biaya perjalananya tersebut. Mereka yang menyediakan biaya perjalanan dan memasok para pendatang baru bagi kongsi-kongsi, biasanya para pengusaha perkotaan yang menjalankan fungsi ini, dalam prakteknya meminjamkan modal pada para penambang. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan sejumlah saham di penambangan sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang mereka berikan. Dalam sejarah Monterado, penambangan-penambangan yang lebih kecil sangat tergantung pada kongsi-kongsi besar yang memiliki hubungan dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir dalam penyediaan pekerja baru.

Meskipun pertambangan kecil pada awalnya dimulai sebagai kerjasama, perusahaan kekeluargaan, namun setelah berjalan bertahun-tahun, mereka akan menjadi tergantung pada pihak luar dalam penyediaan tenaga kerja dan modal, sebagaimana masalah ekonomi di penamabngan yang lebih besar akan semakin rumit dan semakin berkurang watak egaliternya. Berdasarkan cerita seorang informan yang bekerja di Borneo Barat selama beberapa tahun, seorang pengamat pada 1820 ini mencatat perbedaan tersebut: … penambangan-penambangan besar dijalankan oleh perusahaan-perusahaan orang yang memiliki kekayaan dan modal, yang mempekerjakan para pekerja dengan upah bulanan. Sementara itu, penambangan-penambangan kecil dikerjakan oleh para pekerja yang semata-mata membuat belanja dan saling membagi keuntungan pengerjaan tersebut benar-benar secara sama rata.

Kongsi-kongsi baru terbentuk terus menerus, ada yang ditinggalkan karena daerah tambangnya kehabisan cadangan emasnya atau tidak lagi menguntungkan, dan para penambangnya memutuskan untuk mencoba mencari peruntungan di tempat yang lainnya. Akibatnya, daerah eksploitasi meluas jauh ke luar dari lokasi awal di wilayah Sambas dan Mempawah. Pada saat yang sama, pertarungan untuk memperebutkan cadangan emas, tanah dan sumber air terus berlanjut. Oleh karena perluasan dan habisnya cadangan emas dari lokasi tambang, kongsi-kongsi kecil seringkali bergabung dengan kongsi yang lebih besar. Hal ini terjadi pada 1776, ketika Fosjoen Tjoengthang menyatukan empas belas kongsi di wilayah Monterado menjadi satu kongsi tunggal. Dua anggota yang paling kuat dari federasi baru ini adalah Thaikong sebagaimana disebutkan terdahulu dengan ladang-ladang emas di bagian barat dan barat daya Monterado, dan Samtiaokioe yang ladang-ladang emasnya terletak lebih jauh di bagian utara.

Jika anggota dari kongsi-kongsi kecil berteman atau berkerabat satu sama lain, kongsi-kongsi yang besar lebih beragam. Bagaimanapun, beberapa kelompok atau keluarga mendominasi. Sebagai besar orang Tionghoa di Thaikong berasal dari Lufeng dan Huilai di pesisir Guangdong, nama-nama marganya antara lain Ng (Wu), Wong (Huang) dan Tjhang (Zheng), di Samtiaokioe, nama-nama yang dominan adalah Tjoe (Zhu) dan Woen (Wen). Seperti Thaikong, kebanyakan dari penambang Samtiaokioe juga berasal dari Lufeng dan Huilai, orang ini disebut pansanhok. Untuk menggarisbawahi kekuatan kalangan Hakka dari pesisir Guangdon atau pansanhok, pada 1915 sebuah daftar seratus orang penyumbang ke organisasi nasionalis Tionghoa di Capkala di jantung wilayah Thaikong, mencakup duapuluh dua orang dari Lufeng dan lima belas orang dari tetangganya Huilai, tiga orang hakka Hepo-Jieyang. Dari Meixian dan Dapu, semuanya tiga belas orang saja. Sedikit sekali penyumbang yang bukan dari daerah Hakka, orang Teochiu hanya seorang saja.

Kaum laki-laki Lanfang didominasi oleh orang yang berasal dari Meixian (jantung orang hakka) atau dari Dapu, keduanya terletak di dataran tinggi Guangdong. Namun demikian, tidak ada satu kongsi besar pun yang mengambil para pekerjanya dari satu sumber saja, orang Tionghoa lainnya, bahkan orang Hokkien atau Kanton juga cukup terwakili. Saat Fosjoen terbentuk, terdapat tujuh kongsi lain yang beroperasi di Lara, di dekat kota yang sekarang dikenal sebagai Bengkayang. Bengkayang berhubungan erat dengan Lara, namun menjadi bagian dari Samtiaokioe pada 1823. dalam tahun-tahun berikutnya yang makmur, kongsi Lara menjadi sekutu Monterado, meskipun mereka tetap independen setidak-tidaknya hingga 1837, pada saat mereka secara penuh melebur di bawah Thaikong. Bengkayang sebagai Larah Sam Thiaoe Keoe, sementara Lara sisanya sebagai Larah Thai Kong. Ketika lokasi-lokasi tambang yang ada habis cadangan emasnya, orang Tionghoa membuka penambangan baru di wilayah sekitar Seminis, Sepang dan Lumar. Sebuah kongsi baru bernama Kongsi Limthian (Lintian) yang didirikan oleh suku Hakka dari Hoppo (Hepo) di Jieyang terbentuk di Buduk beberapa saat setelah pembukaan areal penambangan baru tersebut. Hoppo terletak di Jieyang, Prefektorat Chaozhou. orang yang berasal dari tempat itu sebagai pansanhok. Orang Hakka bermigrasi ke Hoppo semenjak abad ke 15.

Pasokan bahan makanan juga menjadi sumber konflik antar pemukiman-pemukiman penambangan yang awal. Pada 1775, beberapa saat sebelum terbentuknya Fosjoen, Monterado berhasil mengalahkan satu upaya dari tetangganya, kongsi pertanian Tionghoa bernama Thien Thi Foei (Tiandihui) [nama dari perkumpulan rahasia atau persaudaraan orang Tionghoa yang terkenal yaitu perkumpulan langit dan bumi, untuk melakukan monopoli terhadap pasokan bahan makanan bagi para penambang. Kongsi pertanian ini lenyap, sementara usaha pertanian lainnya, Lanfanghui juga berseteru dengan para penambang Monterado, berpindah dari lingkungan tersebut, akhirnya menetap di Mandor dan memusatkan perhatian dalam pengelolaan pertambangan. Hakikat dari kongsi ini dan hubungannya dengan kelompok persaudaraan atas dasar sumpah atau perkumpulan rahasia. Kongsi pertanian yang disebut Tiandihui dan Lanfanghui terkait erat dengan sebuah perkumpulan rahasia pada awal-awal pendiriannya. Lanfang dan namanya Harum Anggrek dengan simbollisme dari perkumpulan langit dan bumi (Tiandihui) terhubungkan. Ritual dan simbol perkumpulan telah menjadi hidupnya sendiri, dipergunakan untuk menguatkan ikatan solidaritas internal kelompok, tanpa hubungan organisasional.

Para penguasa lokal Sambas dan Mempawah sudah lama sekali berhenti untuk mengendalikan perdagangan eksternal kongsi. Mereka tidak memiliki pengaruh terhadap kegiatan pertanian orang Tionghoa, mereka juga tidak sanggup mencegah orang Tionghoa untuk memiliki senjata api dan amunisi, di samping melakukan kegiatan pertanian, kongsi-kongsi juga perlu untuk mengimpor sejumlah beras dari luar negeri, termasuk juga tembakau, garam dan candu. Untuk keperluan ini, mereka mendayagunakan pemukiman pelabuhan yang mereka kuasai, terutama di lingkungan sekitar Singkawang.

ORANG TIONGHOA DI “DISTRIK TIONGHOA”
Sebagai pusat dari kehidupan kongsi, thang menyediakan ruang untuk pertemuan para penambang dan untuk upacara persembahan keagamaan. Banyak kota-kota masa kini, misalnya Pemangkat, mengikuti tata ruang ini. Di Pemangkat, wilayah perniagaan membujur sepanjang satu jalan dengan sedikit sekali simpangan, sementara di bukit yang mendominasi kota itu terdapat kelenteng bagi Dabogong dan lebih ke atas lagi terdapat kelenteng bagi Tianhou yang dahulunya barangkali merupakan tempat berdirinya balai kongsi terdahulu yang dihancurkan dalam pertempuran di 1851. dabogong adalah dewa kemakmuran dan kebajikan, seringkali sebagai pelindung dari suatu penambangan, Tianhou dan Mazu adalah pelindung para nelayan, pelaut dan mereka yang berdagang melalui laut. Di sebelah kelenteng berdiri sebuah gedung sekolah yang dahulunya adalah sebuah Sekolah Tionghoa.

Selain dari pemukiman-pemukiman yang dikuasai kongsi, terdapat juga beberapa pemukiman besar Tionghoa yang tinggal di Pontianak dan kota-kota kekuasaan Melayu lainnya. Laporan Burn pada 1811 juga memberikan satu daftar negeri-negeri yang terdapat di bagian hulu sungai dan jumlah penduduk Tionghoa di sana. Barangkali Burn mengandalkan cerita dari mulut ke mulut mengenai keterangan ini, namun penuturannya merupakan satu-satunya catatan dari waktu itu yang sangat rinci sedemikian. Dia menunjukkan, orang Tionghoa telah merambah masuk hingga ke pedalaman Borneo sebagai penambang dan pedagang. Sanggau, di hulu Sungai Kapuas, menghasilkan serbuk emas terbaik di pulau itu. Sekitar lima ratus hingga enam ratus orang Tionghoa menetap di wilayah tersebut, bersama-sama dengan orang Melayu yang jumlahnya hampir sama. Sanggau memproduksi dua pikul, di mana sepikul kira-kira seberat 62 kilogram, serbuk emas berkualitas tinggi setiap tahunnya, yang dijual seharga $52.800 uang dollar perak. Meskipun ada tarif cukai yang tinggi terhadap ekspor emas, penguasa Sanggau hanya dapat memungut beberapa ribu dollar dalam setiap tahunnya, dikarenakan para penghasil emas dengan mudah menghindar dari pengawasannya. Dia lebih beruntung dengan kegiatan dagangnya sendiri. Sebagian besar wilayah Sanggau masih tertutup oleh hutan, kecuali yang dibersihkan oleh orang Tionghoa untuk pertambangan. Tayan memiliki sejumlah emas dan beberapa lusin orang Tionghoa, yang melebur bijih besi yang ditemukan di sana menjadi kuali, wajan atau menjadi senjata-senjata sederhana.

Pemukiman-pemukiman lain yang berada di hulu sungai, termasuk Sekadau, merupakan sebuah pemukiman yang didominasi oleh orang Dayak, terdiri dari seratus orang Tionghoa, seribu orang Dayak dan sekitar lima puluh orang Melayu. Kota ini hanya memproduksi sejumlah kecil [lima puluh bungkal] emas. Billiton, bukan pulau Belitung melainkan Belitang, yang berada di atas Sekadau dan Sanggau di sepanjang Sungai Kapuas, tidak didiami oleh satupun orang Tionghoa. Sintang, jauh ke pedalaman Sungai Kapuas, diperkirakan didiami oleh enam puluh ribu orang Dayak, seribu orang Melayu, dan 1.700 orang Tionghoa sebagai penduduk dan menghasilkan sekitar empat pikul serbuk emas berharga sekitar $100.000 pertahunnya. Angka-angka jumlah penduduk dan perkiraan jumlah produksi tersebut kemungkinan dibesar-besarkan. Sintang terhubungkan oleh jalan setapak dengan sungai-sungai yang mengarah ke Banjarmasin dan ke Brunei. Meskipun terdapat pemukiman kecil orang Tionghoa lainnya di sepanjang Sungai Kapuas, namun tidak satupun yang masuk sampai ke dalam hingga daerah yang disebut sebagai distrik danau, di mana hanya orang Dayaklah yang menjadi penambang.

Para penambang Tionghoa juga menimbulkan permasalahan bagi sultan Sambas di 1811. menyadari bahwa Sambas sangat lemah, orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap sultan, yang sebagian disulut oleh duta dari Pontianak. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter feodal Melayu yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali, tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Mereka mengurangi pembayaran tahunan mereka ke Sambas menjadi $1.500 dan terkadang tidak membayar sama sekali. Burn berpandangan bahwa Sambas kehilangan kekuasaan atas pemukiman pertambangan emas di sekitar Monterado dikarenakan ketidakmampuan sang penguasa sendiri.

Komunitas Tionghoa dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Kelompok pertama terdiri dari para penambang emas yang menjadikan organisasi tambang atau kongsi sebagai tempat tinggal mereka. Kebanyakan dari mereka adalah kaum bujangan, tinggal di asrama bujangan di kantor pusat atau di pertambangan-pertambangan itu sendiri. Kebanyakan adalah para imigran dan penduduk sementara. Para boss pertambangan, meskipun tergolong lebih sejahtera dan hidup bersama istri dan keluarga mereka, juga tergolong dalam kelompok ini.

Kelompok kedua terdiri dari orang-orang Tionghoa yang mata pencahariannya terkait dengan kongsi pertambangan, namun bukan sebagai penambang. Mereka bekerja sebagai petani atau pedagang kecil, tinggal di pasar-pasar kecil yang melayani komunitas tambang. Para penduduk kongsi yang bukan penambang tersebut pada umumnya adalah kelahiran setempat dan keturunan dari perkawinan campuran, atau bisa juga bekas pekerja tambang. Mayoritas dari kedua kelompok ini adalah orang Hakka atau pansanhok. Komunitas perikanan atau perdagangan di sepanjang pesisir, seperti Singkawang, Pemangkat atau Sungai Pinyuh juga berperan bagi kongsi di pedalaman sebagai tempat pendaratan beras, garam dan barang impor lainnya atau barang selundupan menurut pengertian pemerintah Belanda. Pemukiman-pemukiman Tionghoa di Mempawah, Kuala Mempawah, berada di bawah kongsi Lanfang di Mandor, begitu pula Kampung Baru yang terletak di seberang sungai di Pontianak juga bergantung pada Lanfang. Organisasi-organisasi pertambangan lainnya juga memiliki pemukiman mereka sendiri, yang dipimpin oleh para pejabat mereka sendiri.

Van Prehn Wiese menggambarkan suatu kunungan ke kota-kota yang tergantung pada kongsi pada 1851-1852. sungai Pinyuh misalnya memiliki seorang kapitan dari Mandor yang dibantu oleh seorang laothai (laoda), Sungai Duri merupakan bagian dari Thaikong, memiliki seorang tjaktjoe (zhazhu) yang menjalankan fungsi serua dengan seorang laothai. Para petani Tionghoa sangat terampil, hemat dan cerdas, seluruh anggota keluarga turut serta dalam produksi. Meskipun kebanyakan petani hidup dari mata pencaharian mereka, pendapatan mereka seringkali berkaitan dengan produksi tanaman komoditas pasar, dan hubungan mereka dengan ekonomi keuangan membedakan mereka dengan kebanyakan penduduk lainnya di pulau ini.

Para penghuni di perkotaan, pedagang, tukang dan buruh membentuk kelompok ketiga. Semua sumber sepakat bahwa orang Tionghoa mendominasi perdagangan dan industri di keresidenan ini. Mereka tinggal di kampung-kampung Tionghoa di Pontianak dan Sambas dan terkadang di kota-kota kecil seperti Ngabang di Landak. Meskipun mereka sebagai para pedagang dan tukang perkotaan melayani komunitas perkotaan yang multi etnis dan terkadang memiliki koneksi dengan istana, mereka juga berhubungan dengan komunitas pertambangan. Kalangan Tionghoa perkotaan bisa meminjamkan uang atau menjual barang kelontong bagi para penambang di dataran tinggi. Mereka biasanya pemukim jangka panjang atau penduduk tetap. Kebanyakan dari mereka adalah orang Teochiu.

Orang Hakka merupakan kelompok dialek dari Tiongkok Selatan, penutur dalam bahasa Hakka kebanyakan tinggal di propinsi Guandong dan Fujian, dan karena mereka sering bermigrasi di dalam Tiongkok sendiri, mereka juga bisa ditemukan di beberapa propinsi Tiongkok lainnya serupa Guangxi, Sichuan. Di daerah-daerah perkampungan di Borneo Barat, orang dari daerah pusat orang Hakka seperti Meixian dan Dapu, bersama dengan mereka yang datang dari daerah berbahasa Teochiu, yang juga keturunan kalangan migran Hakka dan karenanya menggunakan dua bahasa, hakka dan Teochiu, begitu banyak dijumpai di sana. Kelompok dialek Tionghoa Selatan lainnya, seperti Hainan dan Hokkien, banyak terdapat di kelompok kuli, tetapi dengan begitu banyaknya orang Hakka di bidang pertambangan dan pertanian mereka ikut menjadi Hakka, bukan hanya bahasanya tetapi nilai-nilai mereka juga memegang peranan besar, apalagi karena orang Hakka dikenali khususnya atas dasar bahasa mereka. Pontianak tetap merupakan pemukiman bagi orang Teochiu, begitu juga dengan daerah di sebelah selatan, yang berada di luar Distrik Tionghoa.

Orang Hakka biasanya menyatakan bahwa mereka dipaksa keluar dari kampung jalaman mereka di bagian utara Tiongkok oleh serangan orang barbar di masa Dinasti Song, atau lebih awal lagi. Hal ini membuat mereka pindah ke arah selatan. Ketika tiba di daerah tenggara yang sudah pada penduduk, mereka menetap di dataran yang lebih tinggi, mengais nafkah dari tanah yang kurang subur, sesuatu hal yang menjadikan mereka pekerja keras, baik di mata mereka maupun bagi orang lain. Orang Hakka yang bermukim di Kalimantan Barat kini dan juga dulunya memang banyak tinggal di desa dan kebanyakan tetap miskin, sangat berbeda dengan orang Tionghoa lainnya di Indonesia, yang tinggal di perkotaan dan cenderng berkecukupan.

Di luar Tiongkok, orang Hakka biasanya menetap di daerah-daerah pertanian dan pertambangan, lebih jarang berada di kota-kota, sehingga mereka mendapat julukan perintis. Saat itu Borneo tentunya merupakan daratan yang tepat bagi para perintis seperti mereka, begitu juga pulau Bangka dan Belitung. Sejak abad ke 18 sampai abad ke 20 kebanyakan panambang timah di Bangka-Belitung adalah orang hakka. Pemukiman pertambangan awal lainnya dari orang Hakka, terletak di Pulai, Kelantan, Malaysia, dibangun pada abad ke 17 atau awal abad ke 18 oleh penambang emas yang kemudian beralih kerja ke bidang pertanian untuk bertahan hidup, menyunting istri lokal dari komunitas non-Muslim din sekitarnya. Di Pulai, orang hakka lebih konservatif secara ekonomi, tetapi radikal di bidang politik khususnya di tahun-tahun awal selepas Perang Dunia II kelak. Kebanyakan orang Hakka di daerah pedesaan tetap bekerja sebagai petani dan buruh, walaupun di kota-kota Malaysia tempat banyak dari mereka juga menetap, mereka bekerja sebagai tukang, ahli obat tradisional, atau pialang pegadaian. Mungkin juga tukang emas bisa ditambahkan ke dalam daftar ini, sebuah profesi yang tentu saja berkaitan dengan tambang emas.

Petani-petani Hakka di Borneo ada yang tinggal di pemukiman terpisah. Hanya di abad ke 20 mereka berpindah ke kampung-kampung yang lebih terpusat. Pada dekade-dekade awal abad ke 20 mereka dipaksa pindah oleh penguasa kolonial yang menginginkan orang Tionghoa tinggal di tempat yang mudah diawasi. Belakangan, pada 1960-an, pemerintah Indonesia memaksa mereka pindah lagi ke pemukiman yang terkelompok. Interaksi dengan kelompok-kelompok non-Han minoritas di pegunungan Guangdong dan Fujian telah membentuk identitas Hakka. Migrasi orang Hakka di dalam wilayah Tiongkok mendorong mereka berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas tersebut, terutama ketika mereka dipaksa menetap di daerah pinggiran yang jarang penduduk. Minoritas yang penting adalah kelompok orang She. Orang Hakka menyunting perempuan She sebagai istri, melibatkan mereka dalam kehidupan Hakka, dan memakai bantuan orang She, petani-petani tebang dan bakar itu, untuk membuka ladang di hutan-hutan pegunungan untuk bercocok tanam. Interaksi ini menunjukkan bahwa orang Hakka tidak terlalu tertutup, mengingat mereka terbukti sanggup bekerjasama dengan kelompok minoritas yang mereka temui dan belajar dari mereka.
PERSETERUSAN (PERSELINGKUHAN?) DENGAN BELANDA
Meskipun VOC sudah meninggalkan Borneo Barat selama 20 tahun, namun ternyata para penguasa Melayu di Borneo, terutama sultan Pontianak yang sedang berkuasa, tetap merasa tergantung kepada Belanda. Beberapa tahun kemudian setelah Inggris baru meninggalkan daerah milik Belanda, para penguasa Sambas dan Pontianak memohon kepada Belanda untuk kembali. Sultan Sambas menulis surat permohonan kepada Residen Semarang pada Maret 1817. surat tersebut memperlihatkan bahwa dia merasa terancam baik oleh para bangsawannya sendiri maupun oleh Pontianak tanpa menyebutkan hubungan buruknya dengan para penambang Tionghoa dan didorong oleh, seperti yang dikatakan sultan, keadaan yang menyengsarakan dan menyedihkan di sebuah negeri yang sejak lama berada dalam puing-puing.

Dalam suratnya, sultan Sambas berpendapat bahwa sekarang ini kompeni, sebutan para penduduk Hindia terhadap pemerintahan kolonial Belanda jauh setelah VOC dibubarkan, memiliki kesempatan untuk membuktikan itikad baiknya dengan memberikan padanya sebuah kapal perang yang kuat, persenjataan dan amunisi. Sultan juga mengundang Inggris untuk membantunya, namun dia tidak menyebutkan fakta ini dalam suratnya ke Batavia. Belanda menjawab surat tersebut dan menjanjikan perlindungan jika sultan bersedia menandatangani satu perjanjian yang layak dengan Belanda, namun tidak pernah menyinggung mengenai pengiriman persenjataan. Beberapa bulan kemudian sultan Pontianak mengikuti jejak langkah ini, berkehendak untuk memperbarui hubungan perkawanan lamanya dengan Belanda, dia juga mengundang Belanda untuk kembali.

Para penguasa feodal pesisir barat begitu bernafsu hendak berkawan (berselingkuh) dengan Belanda, jelas saja, keadaan mereka sudah sangat parah. Komisioner Belanda untuk Borneo pada 1819 menuliskan penguasa Sambas meminta bantuan Belanda untuk menduduki Sambas dalam rangka untuk menghindarkan diri dari ancaman kekuatan, kaum Tionghoa yang mungkin di suatu waktu akan menggulingkan dirinya di singasana. Keadaan di Sambas sangatlah buruk, namun keadaan di Pontianak tidaklah lebih baik, bahkan kekuasaan penguasa sudah dilemahkan oleh orang Tionghoa, di sanapun, semua kemakmuran telah punah.

Para feodal dan penguasa lokal berpaling ke Belanda dikarenakan kehadiran para penambang Tionghoa di pedalaman telah begitu melemahkan ikatan hulu dan hilir. Ketidasanggupan untuk memungut pajak dari orang Dayak dan ketidaksanggupan untuk memaksakan kekuasaannya terhadap orang Tionghoa, membuat pada penguasa tidak dapat mengakumulasi harta kekayaan yang dapat dipergunakan untuk mendamaikan para anggota keluarga bangsawan dan untuk membiayai pengeluaran mereka yang cukup besar. Kalangan Tionghoa yang sekarang ini sudah memiliki jalur yang mudah ke pesisir, menolak untuk membayar upeti dan mengelakkan monopoli kerajaan atas perdagangan. Para penguasa tidak mempunyai pilihan lain selain beralih menjadi perompak itu sendiri atau terlibat dalam tindakan perompakan yang dilakukan oleh keluarga istana mereka sendiri. Hal ini, pada gilirannya, mengakibatkan pertikaian dengan kekuasaan orang Eropa. Sultan Sambas dan para koleganya di Mempawah dan Pontianak berharap agar Belanda pada akhirnya dapat membantu mereka dalam menegakkan kekuasaan mereka terhadap orang Tionghoa.

Pada saat mereka sedang menunggu bantuan dari Belanda, sultan Sambas dan Pontianak juga mengundang Inggris untuk mendirikan kekuasaannya di wilayah mereka. Namun ternyata Belanda datang lebih dulu, mendarat di Pontianak pada 21 Juli 1818. pasukan Inggris tiba dua minggu kemudian, namun sultan segera memerintahkan mereka untuk berkemas pergi. Di tempat itu Belanda mendirikan markas mereka, mula-mula di bawah Komisioner J van Boeckholtz yang juga menempatkan garnisun kecil di Sambas dan Mempawah dan mengibarkan bendera di Landak. Sultan kedua Pontianak, Syarif Kassim sendirilah, sebagai bekas penguasa Mempawah yang menyambut dengan ekspresi yang hangat atas persahabatan dengan pihak Batavia.

Sepanjang masa 30 tahun pertama menjalankan administrasi di Borneo Barat, Belanda tidak pernah memiliki satu kekuatan yang memadai untuk menguasai wilayah mereka, bahkan tidak memadai untuk mengawasi hanya wilayah pesisir saja. Mereka tergantung pada kerjasama dari para penguasa pribumi, yang biasanya selalu mereka dapatkan, meskipun para penguasa tersebut sering menagguhkan pembantuannya. Belanda hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai wilayah tersebut, dan tidak ada seseorang pun yang dapat menerangkan kepada mereka mengenai kepentingan orang Dayak dan Tionghoa. Mutu para pejabat mereka seringkali begitu jauh dari yang diharapkan dan bahkan tujuan mereka pun sering diragukan.

Menurut perjanjian-perjanjian pertama yang dibuat antara Belanda dengan berbagai kerajaan setempat, yang ditandatangani segera setelah kedatangan Belanda, para penguasa Melayu menyerahkan seluruh kewenangan mengenai orang-orang Tionghoa kepada Belanda, yang membuat mereka kaula langsung kepada pemerintahan kolonial, namun tak pernah menyinggung mengenai kewenangan atas orang melayu dan Dayak. Untuk orang Tionghoa, dan orang asing lainnya kecuali Arab yang berada dalam daulat para sultan, Belanda secara praktis akan menerapkan kebijakan pemerintahan langsung yang selama ini mereka pergunakan untuk berhubungan dengan penduduk Tionghoa di Jawa dan mengharapkan dapat berlangsung baik di Borneo. Bahkan perjanjian VOC dengan Pontianak pada 1779 mensyaratkan kekuasaan langsung Belanda terhadap orang Tionghoa. Namun demikian pada 1819, Komisioner untuk Borneo, Nahuys, mengabaikan keberadaan dari perjanjian terdahulu. Model administrasi Jawa dalam berhubungan dengan orang Tionghoa termasuk mempergunakan kelembagaan opsir Tionghoa untuk memungut pajak dan mengurus masalah komunitas. Akan tetapi, di Borneo, tidak terdapat kalangan peranakan yang cukup besar dan berbahasa Melayu, untuk kerjasama dengan Belanda.

Pada masa itu, mereka menunjuk opsir-opsir Tionghoa untuk bertindak sebagai perantara dengan penduduk Yionghoa di kota-kota yang mereka kuasai, namun para pejabat ini ternyata tidak memiliki engaruh terhadap kongsi-kongsi pertambangan yang secara de facto memiliki kemerdekaan dari kekuasaan eksternal. Perjanjian-perjanjian berikutnya dengan penguasa lokal selalu diperbaharui, berulang-ulang diganti baik karena tidak dapat diterima oleh Belanda atau karena penguasa baru naik tahta, yang intinya berarti bahwa Batavia harus membeli kesetiaan para sultan dengan menawarkan mereka satu pembayaran yang memadai, yang diambil dari hasil pajak yang Belanda kumpulkan dari orang Tionghoa.

Belanda berencana untuk memungut cukai atas ekspor impor, meberlakukan suatu pajak kepala bagi penduduk Tionghoa, mengambil alih hak-hak monopoli penjualan (pacht), khususnya terhadap penggunaan candu yang umumnya dipergunakan oleh para pekerja Tionghoa, dan mengelola sendiri monopoli garam. Perjanjian pertama, yang disusul dengan perjanjian lainnya, beberapa di antaranya masih berlaku hingga Perang Dunia II, juga meninggalkan para penguasa lokal dengan sumber pemasukan yang kecil dari para pemegang hak upeti dan kedaulatan pribadi terhadap orang Melayu atau Dayak. Pachter istilah bahasa Belanda berhak untuk memungut cukai atau pajak atas barang atau kegiatan tertentu (candu, alokohol, perjudian, penjagalan babi, dan seterusnya). Pachter sebagai pemegang hak monopoli (pacht) membayar setoran yang telah disepakati kepada pemerintah atas hak tersebut, dan mengambil upah dari uang publik tersebut dengan mengantongi sisa pembayarannya. Biasanya, pacht ini dijual secara lelang kepada penawar tertinggi untuk jangka waktu tertentu.

Perencanaan itu tidak bisa terwujud. Pemerintah yang baru memiliki gagasan yang terlalu besar mengenai keuntungan yang diharapkan diperoleh dari pajak dan penghasilan monopoli, dan mereka salah perkiraan atas jumlah orang Tionghoa yang akan membayar pajak kepala. Batavia keliru mengharapkan bahwa monopoli garam saja akan menghasilkan ribuan gulden. Peraturan ini tertanggal 14 Mei 1819 dan memperluas monopoli garam yang sudah berlaku di Jawa ke Pontianak, Mempawah dan sambas. Semua garam harus dibeli dari pemerintah. Sangat sulit sekali untuk membuat garam dari air laut di Borneo karena kelembabannya yang tinggi. Banyak sungai yang mengalirkan terlalu banyak air tawar ke laut, sehingga misalnya, air tawar dapat ditemukan di tengah laut yang jaraknya beberapa kilometer dari muara Sungai Kapuas.

Prakiraan orang Belanda yang terlalu besar ini sangatlah mengejutkan, mengingat bahwa sejak awal pemerintah kolonial harus mengetahui, atau seharusnya mengetahui, bahwa para sultan sudah bertahun-tahun tidak sanggup memaksakan pungutan cukai terhadap orang Tionghoa. Dikatakan terdapat tujuh puluh lima ribu orang Tionghoa di sana, meskipun dalam perkiraan Raffles angka lima puluh ribu sudah terlalu tinggi. Belanda menawarkan sesuatu kepada para penguasa, tetapi kepada orang Tionghoa tampaknya tidak. Dikatakan sejarawan Belanda PJ Veth: … sulit untuk disangkal bahwa orang Tionghoa di pesisir barat Borneo hanya tergantung kepada diri mereka sendiri, industri mereka sendiri, dan tidak satupun kepada pemerintah, dan pada masa sebelum berlangsungnya pemulihan kekuasaan di pesisir barat Borneo, telah jelas-jelas mengajarkan bahwa mereka tidak membutuhkan perlindungan hendak [Belanda] jual kepada mereka dengan harga yang sangat tinggi. Seperti penulis kolonial umumnya, Veth berbicara mengenai pemulihan kekuasaan Belanda, mengasumsikan kekuasaan sudah berdiri kokoh di wilayah itu pada 1790-an.

Dalam rangka menjami kehidupan para penguasa lokal dan anggota kerajaan mereka yang jumlahnya banyak dan agar mereka bersedia mendukung sistem ini, dan untuk membiayai pengeluaran tambahan untuk pengawai administrasi barat, Belanda menghendaki agar orang Tionghoa yang menanggungnya, namun orang Tionghoa tidak berminat untuk melakukannya. Mereka segera menyadari bahwa mereka diharapkan untuk menanggung sejumlah biaya yang tak seimbang bagi administrasi Belanda dan Melayu, sementara mereka hanya menerima imbalan yang sangat sedikit. Yang paling memberatkan adalah pajak kepala perseorangan, terutama bagi orang Tionghoa di kongsi yang tidak terbiasa untuk membayar pajak. Sebelumnya, semua pengeluaran dan cukai, termasuk pembayaran kepada para sultan, secara sederhana dibayarkan dengan mengambilnya dari keuntungan kongsi, bukan dilakukan secara perseorangan.

Kongsi-kongsi pun secara internal terbagi antara para penambang dengan penduduk kota atau para petani. Tentu saja, sistem rekrutmen tenaga kerja dari wilayah-wilayah tertentu, dan ketergantungan pada upacara pengukuhan dan perjanjian kerjasama, yang kesemuanya dikuatkan dengan jalinan persaudaraan, mengikatkan hubungan para anggota dari sebuah kongsi satu dengan yang lainnya semakin erat dan cenderung menciptakan suasana yang mendorong persaingan di antara kongsi-kongsi yang berbeda. Catatan Burn mengenai penurunan perdagangan secara tajam dengan Tiongkok seharusnya dapat memperingatkan para pembacanya bahwa kongsi-kongsi sudah mulai mengalami penyusutan kandungan mineral pada lokasi-lokasi pertambangan.

Walaupun kongsi telah dilemahkan dengan menyusutnya persediaan sumber emas dan tenaga kerja, dalam hal tertentu mereka memiliki kekuatan yang memadai untuk menyusahkan kekuasaan kolonial yang berharap memerintah dan memajaki mereka. Kongsi tidak saja sudah biasa merdeka secara politik, mereka juga sudah semakin mampu menghidupkan diri mereka sendiri. Garam dan candu merupakan kebutuhan para penambang, yang diharapkan oleh Belanda akan menjadikannya mendapat keuntungan sudah memiliki jalur persediaannya sendiri. Mereka melangkahi Belanda sebagaimana mereka melangkahi para penguasa Melayu. Pembukaan Singapura sebagai pelabuhan bebas pada 1819 telah membuka sebuah sumber yang ideal untuk melakukan penyelundupan candu dan senjata, sementara garam banyak didatangkan dari Siam bagian selatan dan Semenanjung Malaya. Garam ini memiliki kualitas yang lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan garam yang disediakan dari pemerintah.

Singapura akan segera berkembang menjadi satu pelabuhan tempat penyaluran barang dagangan, sebuah terminal bagi kaum migram yang pergi dan keluar Tiongkok, dan sebagai pusat bagi identitas dan politik orang Tionghoa selain di daratan Tiongkok. Singapura memainkan peranan tersebut hingga abad ke 20, yang menyediakan titik pusat eksternal yang baru bagi orang Tionghoa di Borneo Barat. Hingga pertengahan abad ke 19, Belanda hanya cukup kuat untuk membangun pos-pos di tempat di mana orang memang menyambut baik kedatangannya. Di kota-kota seperti Pontianak dan Sambas, penduduk Tionghoa menyesuaikan diri dengan kekuasaan belanda. Pada 1848 diperkirakan lima ratus orang Tionghoa tinggal di Sambas dan sekitar 1700 di Pontianak. Orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok: di perkotaan, di pedalaman dan di kongsi. Namun demikian, orang tinggal di pedalaman maupun di beberapa kota kebanyakan adalah anggota kongsi pada masa tersebut.

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Dari berbagai sumber, koleksi dokumentasi dan arsip tempo doeloe

1 komentar:

  1. http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/03/5-tips-mudah-bangun-pagi-lebih-awal.html
    http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/03/8-alasan-lebih-baik-punya-di-apartemen.html
    http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/03/tak-suka-minum-air-nyawa-wanita-cantik.html

    QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus