Minggu, 14 Desember 2008

RIWAYAT SINGKAT TENTANG KORBAN MASAL
PASUKAN JEPANG
DI KALIMANTAN BARAT (1942-1945) *)

Seperti halnya dengan di daerah-daerah Indonesia lainnya, selama masa pendudukan pasukan Jepang antara tahun-tahun 1942-1945, di daerah Kalimantan Barat telah jatuh tidak sedikit korban di kalangan penduduk. Berapa jumlah seluruh korban yang terbunuh selama masa itu, belum terdapat angka yang pasti, tetapi menurut catatan sementara adalah sekitar 21.037 jiwa.

Dan yang lebih tragis adalah, bahwa di dalam jumlah tersebut terdapat hampir semua tokoh-tokoh kaum intelektuil dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada, sebagian dengan istrinya, termasuk 5 orang dokter, 11 panembahan/sultan (Kepala Swapraja) dari seluruh daerah Kalimantan Barat serta Sultan Pontianak dengan 60 orang keluarganya.

Surat Kabar Borneo Sinbun Pontianak terbitan tanggal 1 Juli 1944 memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebutnya sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan di bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Mereka, beserta yang lain-lainnya, ditembak mati pada tanggal 28 Juni 1944, dengan tidak disebutkan di mana hukuman mati itu dilaksanakan dan di mana jenazah para korban dimakamkan.

Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Pontianak **) yang terletak 88 Kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat, di mana sebagian dari para korban dikubur secara massal. Oleh sebab itu, bagaimana pun, Makam Mandor adalah suatu monumen sejarah, yang menandai adanya perlawanan terhadap pasukan pendudukan Jepang, dan tentang jatuhnya korban yang tidak sedikit di antara penduduk Kalimantan Barat, selama masa pendudukan pasukan Jepang di daerah ini, antara tahun-tahun 1942-1945.
Sewajarnyalah apabila monumen sejarah ini dipelihara untuk mengingatkan kita yang masih hidup ini, akan peristiwa sejarah yang perlu dicatat, dan akan pengorbanan yang telah diberikan oleh mereka yang telah gugur dan terkubur di sini, ataupun di mana saja di daerah Kalimantan Barat dan di seluruh Indonesia.

Sejak tanggal 1 Januari 1973, empat tahun yang lalu, dalam rangka memperingati Hari Pemerintahan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat yang ke-XVI, kita telah berusaha secara teratur mengadakan ziarah ke Makam Mandor ini. Kegiatan ziarah tersebut kita laksanakan tepat pada tanggal 28 Juni setiap tahunnya adalah untuk memperingati serta mengenang kembali peristiwa bersejarah yang terlah terjadi di tempat ini, yaitu pembunuhan masal terhadap pejuang-pejuang bangsa kita oleh balatentara pendudukan Jepang pada tanggal 28 Juni 1944, yang sebagian korbannya dimakamkan di Mandor.

Selanjutnya 28 Juni 1977 tiga puluh tiga tahun sesudahnya, kita resmikan sebagai monumen perjuangan tegasnya Monumen Perjuangan. Hal ini kita laksanakan bersama-sama sekali tidak dengan maksud untuk menyembah sesuatu makam atau menanamkan dan mengabadikan rasa benci atau rasa dendam kepada bangsa Jepang sebagai bekas penjajah, tetapi semata-mata berdasarkan keinginan mengabadikannya sebagai Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia di daerah ini yang mengandung nilai-nilai patriotisme dan semangat kepahlawanan serta abadinya pengorbanan yang pernah diberikan oleh pejuang-pejuang bangsa tersebut.

Untuk itu semua, marilah bersama kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa disamping doa, agar usaha kita ini mendapatkan ridho Nya, sehingga hikmah monumen yang bersejarah ini dapat meresap ke dalam lubuk hati bangsa Indonesia, generasi per generasi, di mana hikmah kepahlawanan dan patriotisme itu akan merupakan benteng mental yang tangguh, yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia di masa sekarang dan di masa mendatang.

Bung Hatta pernah mengatakan bahwa fakta adalah fakta, apalagi bila fakta itu fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Memungkiri fakta sejarah adalah penipuan. Fakta sejarah sering kali dipungkiri oknum yang masih hidup karena sesuatu kepentingan tertentu. Dus, memungkiri fakta sejarah merupakan penipuan ganda, pertama, menipu diri kita sendiri dan kedua, menipu orang lain dan menjadi lebih buruk lagi karena hal itu merupakan penipuan terhadap generasi muda bangsa sendiri. Fakta pertama, di samping fakta-fakta lain yang telah ada dan yang akan diusahakan adanya, merupakan sebab-sebab lain daripada perlunya Makam Mandor ini kita jadikan Monumen Sejarah yang Abadi.

Pada tanggal 28 Juni 1944, tiga puluh tiga tahun yang lalu, di daerah Kalimantan Barat ini terjadi suatu peristiwa pembunuhan masal yang dilakukan oleh balatentara pendudukan Jepang terhadap saudara-saudara kita. Mungkin orang tua, abang, kakak, adik atau suami dari sebagian para hadirin yang ikut berziarah pada hari ini. Pembunuhan massal itu telah diberitakan oleh Surat Kabar Borneo Shinbun yang terbit pada tanggal 1 Juli 1944 di Pontianak, sebagai suatu tindakan penghukuman oleh balatentara pendudukan Jepang terhadap apa yang mereka namakan dengan Kepala-kepala Komplotan yang sedang mempersiapkan rencana perlawanan bawah tanah, tanpa menyebutkan di mana hukuman mati itu dilaksanakan dan di mana jenazah para korban dimakamkan.

Belakangan barulah diketahui bahwa di Makam Mandor ini sebagian dari para korban tersebut telah dimakamkan secara massal. Sebagaimana halnya yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia selama masa pendudukan balatentara Jepang, di daerah Kalimantan Barat pun tidak sedikit korban yang telah jatuh, bahkan mungkin dapat dikatakan yang paling besar prosentasenya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada pada masa itu. Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir balatentara Jepang di daerah ini, jumlah korban tersebut meliputi angka 21.037 orang.

Sedangkan menurut kesaksian lain, pada waktu menjalani hukuman mati, Yamamoto Kepala Kempeitai di daerah ini mengatakan bahwa jumlah korban meliputi angka sekitar 50.000 orang. Di antara para korban tersebut sebagian besar merupakan tokoh-tokoh intelektuil dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk 11 panembahan dan sultan serta 5 orang dokter. Kalau pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kapten Westerling di daerah Sulawesi Selatan sempat menggugah hati nurani bangsa Indonesia, maka korban pembunuhan massal oleh balatentara pendudukan Jepang di daerah ini, setidak-tidaknya harus dapat menggugah hati nurani sebagian bangsa Indonesia yang ada di daerah ini, untuk dapat menerima arti dan makna pengorbanan yang telah mereka berikan dan dapat menerima hadirnya monumen sejarah perjuangan Mandor ini, sebagai milik mereka sendiri. Monumen sejarah ini bukan milik pemerintah, bukan milik para ahli waris korban. Pun bukan miliknya Gubernur Kepala Daerah, tetapi milik seluruh warga daerah Kalimantan Barat pada khususnya dan milik seluruh bangsa Indonesia pada umumnya.

Meninjau suatu sejarah, kita harus meletakkannya di dalam tiga dimensi. Dimensi masa lalu, dimensi masa kini dan dimensi masa mendatang. Untuk dimensi masa lalu, sejarah pembunuhan missal ini merupakan sejarah perjuangan dari orang-orang tua dan saudara-saudara kita yang berusaha menghapuskan penjajahan demi kesejahteraan anak cucunya. Untuk dimensi masa kini, sejarah pembunuhan masal ini harus dapat menjiwa perjoangan kita semua di dalam usaha pembangunan bangsa dewasa ini.

Kalau orang tua atau saudara-saudara kita mengorbankan jiwa raganya dengan semangat patriotisme dan semangat kepahlawanan untuk mencapai kemerdekaan, kiranya kita yang berkesempatan menikmati hasil-hasil perjoangan mereka, sudah sewajarnyalah harus menghargai pengorbanan para pejoang ini dengan sikap dan perbuatan yang sesuai dengan garis-garis yang selalu dipegang teguh oleh para pejoang, yaitu semangat patriotisme yang mendahulukan kepentingan tanah air dan bangsa daripada kepentingan pribadi.

Untuk dimensi masa mendatang, sejarah pembunuhan massal ini harus dapat merupakan peringatan yang abadi bagi generasi muda bangsa. Generasi mendatang harus dapat memetik pelajaran-pelajaran daripadanya sebagai salah satu landasan mental yang kokoh kuat di dalam menghadapi naik turunnya perjoangan dan menghadapi masalah-masalah yang membahayakan existensi bangsa Indonesia yang telah diperjoangkan oleh nenek moyangnya dengan pengorbanan jiwa raga yang cukup besar

Marilah monumen ini kita jadikan milik kita semua dan kita pelihara sebaik-baiknya. Bukan karena orang tua atau saudara kita dimakamkan di sini, tetapi karena kita mau dan mampu menghormati mereka sebagai pejoang-pejoang bangsa. Kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang memiliki falsafah dasar kehidupan yang disebut Pancasila, pasti mampu menghargai para pahlawannya. Sekian dan terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian.

*) Disunting oleh Syafaruddin Usman MHD dari sambutan yang disampaikan Gubernur Kalbar Kadarusno pada saat peresmian Monumen Juang Mandor tanggal 28 Juni 1977. Kadarusno menjabat Gubernur Kdh Tingkat I Kalbar tahun 1972-77
**) Sekarang dalam wilayah administratif Kabupaten Landak

1 komentar:

  1. saya sangat tergugah sekali dengan perkara yang terjadi di Pontianak ini. Sungguh kejam militer Jepang pada saat itu. Saya sangat menyesal sekali baru mengetahui sejarah ini. sekitar bulan agustus tahun lalu saya menyaksikan sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta yang menayangkan kisah kelam Mandor dan lalu saya angkat sebagai tema skripsi saya di bidang sejarah fakultas sastra Jepang. di Jakarta pun sedikit sekali yang mengetahui perkara ini bahkan dosen pembimbing skripsi saya sendiri. saking terkejutnya Dosen saya mengenai peristiwa ini, ia begitu semangat untuk mencari tahu isi perkaranya. sampai Ia memesan buku ke Jepang.
    dan benar dugaan saya, buku itu ditulis oleh Izeki Tsuneo dalam bahasa Jepang. Oleh sebab itu, saya sangat berterima kasih dan bersyukur bahwa buku bapak tentang Peristiwa mandor Berdarah itu telah membukakan mata hati saya,bahwa Indonesia itu tidak hanya di pulau Jawa saja, melainkan ada daerah2 lainnya. begitupun sejarahnya. tulisan bapak benar-benar menjadi acuan untuk skripsi saya sekarang ini.
    terima kasih.

    BalasHapus